Gus Yahya membuat gebrakan dalam menyusun pengurus PBNU. Selain menjaga jarak yang sama dengan partai-partai politik, ia juga memasukkan sebelas perempuan dalam kepengurusan pada posisi-posisi strategis.
Oleh
Ahmad Najib Burhani
·5 menit baca
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Ahmad Najib Burhani
Pada Muktamar Ke-34 NU di Lampung, 22-23 Desember 2021, berbagai banner dan spanduk besar dengan wajah KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya ada di gerbang utama, sudut-sudut arena Muktamar, serta di sejumlah tempat di jalan raya kota Bandar Lampung. Hanya ada dua pesaing utama dari gambar Gus Yahya, yaitu KH Said Aqil Siroj dan Muhaimin Iskandar.
Hal yang paling ditonjolkan dari pesan-pesan di sejumlah spanduk itu adalah bahwa Gus Yahya merupakan The New Gus Dur atau reinkarnasi Gus Dur. Buku tentang Gus Yahya yang diluncurkan atau dibedah pada saat muktamar juga berjudul Menghidupkan Gus Dur: Catatan Kenangan Yahya Cholil Staquf. Tema ”Menghidupkan Gus Dur” juga menjadi poin yang ditekankannya pada wawancara dengan Kompas (26/12/2021) seusai terpilih menjadi Ketua Umum PBNU.
Memang, ada berbagai irisan karakter dan pengalaman antara Gus Yahya dan Gus Dur. Pertama, keduanya lebih sering dipanggil Gus daripada Kiai, hal yang membedakannya dari pesaing utamanya pada muktamar kemarin. Kedua, pada usia yang masih muda, Gus Yahya telah mendampingi Gus Dur ketika menjalankan tugas sebagai Presiden ke-4 Republik Indonesia. Bahkan, Alissa Wahid menyebut Gus Yahya sebagai orang yang ditemukan dan diangkat Gus Dur ke pentas nasional dengan menjadikannya sebagai juru bicara presiden. Ketiga, mirip dengan Gus Dur, Gus Yahya adalah orang yang berani menghadapi kontroversi dengan langkah dan pernyataan yang berbeda dari pandangan masyarakat umumnya.
Salah satu kontroversinya tentu saja adalah kehadirannya pada konferensi Komite Yahudi Amerika atau American Jewish Committee/AJC Global Forum di Israel tahun 2018. Ketika itu, ia berbicara tentang resolusi konflik keagamaan. Kontroversi terkait kunjungan pimpinan organisasi Islam ke Israel ini dulu juga pernah dialami Gus Dur ketika ia memenuhi undangan Perdana Menteri Yitzhak Rabin untuk menyaksikan penandatanganan perdamaian antara Israel dan Jordania tahun 1994.
Keberanian Gus Yahya dalam melawan arus juga ditunjukkannya ketika berbicara tentang radikalisme dan terorisme. Seperti disampaikan pada Simposium Nasional Islam Nusantara pada Februari 2020, umat Islam dan bangsa Indonesia akan sulit berhasil membendung arus radikalisme selama mereka tak mau mengakui adanya problem dalam diri sendiri. ”We are missing the obvious one,” tegas Gus Yahya.
Apa yang dimaksudkannya dengan ”the obvious one”, yang bisa menjadi tempat tumbuh berkembangnya radikalisme? Menurut dia, kita tidak mau mengakui bahwa memang ada ajaran Islam atau ayat-ayat Al Quran yang bisa dipakai untuk menjustifikasi radikalisme. Pernyataan ini merupakan respons terhadap penolakan sebagian tokoh agama terhadap tesis bahwa ada elemen agama atau teologis dalam berbagai aksi radikalisme. Pernyataan Gus Yahya itu tentu saja tidak disukai oleh sebagaian tokoh agama karena dianggap seakan-akan menyalahkan Islam atau menuduh Islam sebagai biang kerok dari radikalisme. Bagi mereka, agama selalu mengajarkan kebaikan, sementara para teroris itu dianggap tak beragama. Mereka menuduh faktor lainlah yang menjadi penyebab radikalisme.
Kompas/Hendra A Setyawan
Para peserta menunggu registrasi peserta Muktamar Ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) di Universitas Lampung, Bandar Lampung, Lampung, Selasa (21/12/2021).
Bagi Gus Yahya, selama kita tidak mengakui problem di atas, maka sulit untuk memberantas tuntas radikalisme. Sikap Gus Yahya ini telah disampaikan berulang kali, termasuk dalam video Islam Nusantara dan juga ketika berkunjung ke Israel.
Tidak hanya terkait dengan problem umat Islam secara umum, Gus Yahya juga melontarkan kritik yang berani. Terhadap NU pun, ia melontarkan kritik, di antaranya terkait sistem pengaderan. Pada rapat pleno menjelang penutupan Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (NU) di Kota Banjar 2019 lalu, ia mengkritik batas atas usia pengurus Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU). Menurut dia, jika batas atas usia pengurus IPNU mendekati 30 tahun, tak mengherankan jika jajaran pengurusnya diisi anak-anak yang akan menjadikan organisasi itu sebagai kendaraan politik. Ini yang menyebabkan kegiatan rohani Islam (rohis) di sejumlah SMP dan SMA dikuasai oleh gerakan Islam yang lebih radikal. Kader-kader NU lebih sibuk berpolitik dan menjadikan Senayan sebagai kiblat daripada mengurus kegiatan rohis di sekolah. Gus Yahya lantas bertanya, berapa SMA yang dimiliki NU dan di Indonesia secara umum yang ada IPNU dan IPPNU-nya? Ternyata jumlahnya kecil.
Apa yang diusung oleh Gus Yahya adalah mirip dengan semangat Gus Dur dulu, yaitu membawa NU kembali ke khittoh, menekankan bahwa NU merupakan ormas keagamaan dan bukan partai politik. Dalam salah satu wawancara seusai muktamar, Gus Yahya langsung menegaskan bahwa presiden dan wakil presiden Indonesia pada Pemilu 2024 nanti tidak dari NU. Ia juga tak hanya melibatkan PKB dalam kepengurusan PBNU, tetapi juga partai-partai lain, termasuk PDI-P.
Selama ini memang ada gejala bahwa berbagai ormas Islam telah berubah perannya menjadi organisasi politik atau didominasi para politikus. Kantor ormas sering dituduh tak ubahnya seperti kantor parpol. Ada juga tuduhan bahwa ormas tertentu sudah under payroll dari suatu partai sehingga didikte setiap langkah dan geraknya. Kondisi ini sudah sering menjadi pembicaraan, tetapi tak ada yang berani berbicara lantang, apalagi mengubahnya. Gus Yahya hadir di antara misinya, yakni menata ormas Islam untuk kembali ke jati dirinya.
Kompas/Hendra A Setyawan
Nahdliyin menunggu registrasi peserta Muktamar Ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) di Universitas Lampung, Bandar Lampung, Lampung, Selasa (21/12/2021).
Langkah-langkah yang diambil Gus Yahya dalam menyusun pengurus PBNU juga merupakan gebrakan baru. Selain menjaga jarak yang sama dengan partai-partai politik, ia juga memasukkan sebelas perempuan dalam kepengurusan. Bukan hanya sebagai anggota ataupun secara simbolis, melainkan pada posisi-posisi yang cukup strategis. Tentu saja perempuan sudah mendapat tempat penting di NU dan PBNU, tetapi baru kali ini mereka masuk dalam kepengurusan dan pada posisi menentukan. Bahkan, pada masa Gus Dur pun perempuan belum masuk dalam kepengurusan di PBNU. Selain perempuan, beberapa non-gawagis (plural dari gus ataupun keturunan kiai) dan aktivis non-Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII, sayap NU dalam gerakan kemahasiswaan) juga masuk dalam kepengurusan.
Terakhir, Gus Yahya membawa NU keluar dari basis utamanya di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Ia merencanakan pembangunan kantor baru di luar Jawa dan melakukan pelantikan di kota yang akan menjadi ibu kota negara yang baru, di Balikpapan Sport and Convention Center Kalimantan Timur. Ini bisa menjawab kritik yang menyebutkan bahwa selama ini NU tak bisa mengklaim sebagai representasi Islam Nusantara karena keanggotaannya hanya terpusat di dua provinsi. Sekarang, Gus Yahya mengajak NU keluar dari Jawa dan mencoba merepresentasikan Indonesia secara utuh.
Ahmad Najib Burhani
Profesor Riset di BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional)