Ah, Absurditas Pentas Teater Mandiri
Keruwetan dan absurditas menjadi tema yang kerap digarap oleh Teater Mandiri selama ini. Sekali lagi, tema itu diangkat dalam lakon Ah karya Putu Wijaya dalam pentas daring lima babak.
Di tengah masyarakat yang absurd, akal sehat kerap kali harus dipaksa untuk memilih. Pilihan yang menghadirkan situasi bak makan buah simalakama.
Memilih untuk berkompromi, memilih untuk mengalah, atau memilih untuk bertahan, tetapi dengan konsekuensi nyawa terancam, tidak ada yang benar-benar merupakan keputusan bijak.
Mengalah atau berkompromi kadang dilakukan demi menjaga keutuhan atau membuat nyawa tetap di kandung badan. Namun dalam konteks tertentu, mengalah dan berkompromi punya dampak mengerikan, bahkan lebih mengerikan ketimbang risiko kematian. Selain mengabaikan hati nurani, opsi mengalah bisa memajalkan kewarasan, yang pada ujungnya membuat orang tak berdaya setiap kali menghadapi keabsurdan lain.
Keruwetan dan absurditas menjadi tema yang kerap digarap oleh Teater Mandiri selama ini. Sekali lagi, tema itu diangkat dalam lakon Ah karya Putu Wijaya dalam pentas daring lima babak. Pentas ini telah ditayangkan perdana dua pekan lalu di akun kanal Youtube, Budaya Saya.
Dihubungi lewat telepon, Rabu (2/3/2022), Putu bercerita, kisahnya itu terinspirasi sebuah kejadian nyata dari pengalaman seorang dokter muda yang dikenalnya. Sang dokter, menurut Putu, seperti juga dikisahkan dalam lakonnya, ditempatkan di sebuah desa terpencil di salah satu provinsi di Indonesia. Daerah pelosok, yang relatif tak terjangkau kemajuan teknologi kedokteran.
”Tempatnya bertugas ada di pelosok dan kondisinya sangat bersahaja. Sementara yang namanya orang sakit kan selalu ada di mana-mana,” ujar Putu.
Sekali waktu, tambah Putu, dokter muda kenalannya itu harus mengambil tindakan darurat berupa pembedahan demi menyelamatkan nyawa pasien yang datang kepadanya. Lantaran ketiadaan alat medis memadai, sang dokter terpaksa mengoperasi pasiennya dengan alat seadanya tanpa pembiusan.
Dia mengoperasi pasiennya menggunakan pisau silet. Operasi sebetulnya berhasil dan si pasien terselamatkan. Namun, kabar tentang itu sampai juga ke Jakarta. Si dokter muda ini lantas dipanggil pulang lalu diberi sanksi karena dianggap malapraktik. ”Cerita tadi menginspirasi saya membuat Ah ini,” tambah Putu.
Dokter vs dukun Dalam Ah, Putu juga bercerita soal perjalanan seorang dokter muda perempuan (Laila Uliel El Na’ma), yang ditempatkan di pelosok daerah terpencil. Masyarakat di tempat penugasan sang dokter sebenarnya masih terbilang terbelakang.
Mereka masih percaya hal-hal berbau klenik, mistik, serta perdukunan. Awalnya sang dokter diceritakan tak terlalu bermasalah dengan kondisi tadi. Satu-satunya masalah hanyalah soal gajinya, yang baru bisa diterima setiap tiga bulan sekali.
Bersama asistennya, seorang pemuda cerdas bernama Pao (Ari Sumitro), sang dokter menjalani hari-harinya dengan tenang. Masalah baru muncul saat istri seorang warga desa (Bambang Ismantoro) dikabarkan sakit keras.
Oleh dukun setempat (Jose Rizal Manua) si pasien sakit itu disebut menderita lantaran ada dua ekor ular kobra yang masuk ke perutnya. Diagnosa sang dukun tadi jelas ditentang oleh sang dokter. Sayangnya si pasien dibawa sudah dalam keadaan terlambat alias meninggal dunia.
Namun, suami pasien serta sang dukun mengaku tak bisa terima jika pasien tersebut dikatakan telah meninggal dunia. Mereka mengamuk dan mengancam akan membunuh sang dokter berikut asistennya.
Kemarahan mereka ternyata baru reda saat dokter itu memberikan sejumlah uang, yang diambil dari gajinya. Hal itu berlanjut jadi kebiasaan. Sampai-sampai sang dokter terpaksa menjual apa saja yang dimilikinya.
Warga kampung terus berdatangan membawa anggota keluarga mereka yang sebetulnya telah meninggal dunia dan meminta untuk disembuhkan. Mereka baru mau pulang setelah mendapat sejumlah uang dan kemudian memakamkan jenazah keluarganya itu. ”Saya terharu. Saya sedih. Saya menangis. Alangkah miskinnya kita. Kematian bisa dihibur dengan uang,” ujar sang dokter sambil meratapi nasibnya.
Baca juga : Konspirasi Orang-orang yang Mengaku Suci
Absurditas lain juga dialami dokter itu saat dipanggil untuk mengobati seorang kepala suku, yang katanya sakit keras. Kepala suku itu dianggap pahlawan lantaran telah berjasa mempersatukan seluruh suku yang ada di daerah itu.
Masalahnya sang kepala suku ternyata juga sudah meninggal, malah dengan kepala terpenggal dan tubuh tertukar. Akan tetapi anak kepala suku (Taksu Wijaya) malah murka dan juga mengancam sang dokter saat diberi tahu ayahnya telah meninggal dunia dengan kepala terpenggal dan tubuh tertukar.
Kemarahannya baru terhenti saat asisten dokter mengacungkan bendera Merah Putih kecil aksesori hiasan kendaraan bermotornya yang rusak akibat tabrakan saat terburu-buru mendatangi rumah kepala suku.
Anak kepala suku terkesan dengan kalimat yang disampaikan sang dokter, yang menyebut pahlawan tak akan pernah mati lantaran akan terus hidup abadi dalam hati setiap orang. Dia pergi baik-baik menerima kematian bapaknya sambil terus mengulang-ulang kalimat tadi di depan anggota sukunya yang lain.
”Sebetulnya dia seorang pemuda yang cerdas. Makanya dia tergugah rasa kebangsaannya saat melihat bendera Merah Putih tadi. Dia juga terkesan dengan kalimat yang disampaikan sang dokter,” ujar Putu.
Lewat karakter dokter muda itu, Putu juga berpetuah. Sebagai sesama anak bangsa kita, menurut Putu, harus menyayangi dan menjaga anggota masyarakat kita yang masih tertinggal dan hidup serba terbatas di pelosok-pelosok.
”Kekurangan mereka kan kekurangan kita juga sebetulnya. Kalau ada kesalahan jangan mereka dijelek-jelekkan. Kita harus kasih tahu ke mereka di mana letak kesalahannya secara baik-baik. Bukan dengan menyebut mereka bodoh, kurang pendidikan, atau malas,” ujar Putu.
Terkait pementasannya kali ini, Putu kembali memberi judul unik, yang sekaligus juga mengundang tanda tanya dan multi-interpretasi. Dalam karya-karya terdahulunya hal serupa juga dilakukan. Judul pementasan atau naskah hanya terdiri dari satu kata berupa kata seru, seringnya bersuku kata hanya satu seperti Wah, Hah, Lho, Dor, Tai, Aum, Aduh, Ayo, dan Awas.
”Saya suka judul-judul yang bisa multi-interpretable karena saya tidak ingin memaksakan pemaknaan. Judul seperti itu memang untuk memancing rasa penasaran dan interpretasi. Jadi kata ah bisa diartikan apa saja. Mau ah, kaget boleh, ah jelek boleh, atau ah apa saja. Saya memang suka memulung kata-kata yang jarang dipakai orang,” ujarnya.
Putu kini tengah mempersiapkan pementasan baru berjudul Ha-ha-ha, bercerita tentang kehidupan pasangan suami istri yang sudah berumur. Direncanakan April mendatang pementasan itu juga akan ditayangkan secara daring.
Putu tidak terlalu mempersoalkan pentas secara daring. Baik pentas daring maupun luring buat Putu sama-sama punya kekurangan dan kelebihan. ”Cuma dalam kondisi sekarang yang sulit bagaimana meyakinkan sponsor,” ujarnya.