Pandemi korona malah membuat para desainer rajin berkarya, salah satunya desainer kawakan Edward Hutabarat. Jumat (11/2/2022), ia menggelar 24 karya busana terbaru yang mencerminkan dirinya sendiri.
Oleh
SOELASTRI SOEKIRNO, RIANA AFIFAH
·6 menit baca
Pandemi korona malah membuat para desainer rajin berkarya, salah satunya desainer kawakan Edward Hutabarat. Jumat (11/2/2022), ia menggelar 24 karya busana terbaru yang mencerminkan dirinya sendiri, orang yang sejak lama hidup harmoni dengan alam.
Bukan Edward—biasa disapa Edo—namanya jika tak membuat karya menarik dan ditata apik sehingga memesona penontonnya. Demikian pula besutan teranyar bertajuk ”Forest Is The Future” yang ia tampilkan lewat peragaan busana virtual di Youtube pekan lalu. Tak hanya motif batik atau kain dari alat tenun bukan mesin saja yang memikat, tetapi dekorasi dan tempat pengambilan gambarnya sungguh spesial.
Edo yang khusus membuat peragaan busananya dalam bentuk film itu memilih lokasi di tengah hutan Cikole, Lembang, Jawa Barat. Dua model berlenggak-lenggok di taman dalam hotel dan jalanan dari paving yang rapi di bawah tanaman pinus usia puluhan hingga ratusan tahun yang menjulang tinggi. Pemandangan hijau segar di sekitar area pemotretan tampak kontras dengan busana warna coklat, merah, biru-putih, hijau-kemerahan karya Edo.
”Bagi saya, ini peristiwa paling berkesan selama 42 tahun berkarya, karena pagi pukul 8 saya tinggal bawa gunting untuk memilih aneka bunga. Ada bunga hortensia yang bagus dan mawar, semua bunga lokal. Lihat ketika saya taruh di keranjang, keindahannya tak kalah dari bunga impor,” tutur Edo, Kamis (17/2/2022), lewat telepon dari Surabaya, Jawa Timur.
Ia menjelaskan, memakai benda yang tersedia di sekitar kita merupakan bentuk harmonisasi. Bunga lokal itu harganya hanya Rp 5.000 setangkai. Sementara jika bunga impor, harganya bisa mencapai Rp 50.000 per tangkai. Jauh lebih murah, tetapi lebih indah dan yang penting ada harmoni dengan petani bunga lokal. Mereka pula yang memasok bunga ke pasar bunga Rawa Belong, Jakarta Barat.
Konsep harmoni dalam kepala Edo adalah mendayagunakan apa yang ada di sekelilingnya dan membuat hal sederhana menjadi luar biasa. Harmoni biasanya juga tak lepas dari warna hijau yang menandakan alam. Jika antara manusia dan alam terjadi relasi yang harmonis, alam akan memberi sukacita kepada manusia. Itu sebabnya lewat film berisi fashion show karyanya di hutan Cikole dengan judul hutan adalah masa depan, ia bermaksud membagikan apa yang selama ini ia lakukan dalam kehidupan sehari-hari, menjaga harmonisasi dengan alam di tempat ia tinggal.
Serba longgar
Dalam kaitan dengan batik yang ia sulap menjadi setelan rok-blus, celana panjang, atasan model kimono dan gaun, ia juga menunjukkan karya maestro pembatik dari tiga daerah yang ia ajak berkolaborasi dengannya sejak 15 tahun lalu.
”Ini saya memakai batik Cirebon karya Bu Nunik, Mas Nur Cahyo (batik Pekalongan) dan Bu Maemunah (batik Gentongan, Tanjungbumi, Madura). Bahannya ada yang dibatik, tetapi ada juga yang ditenun. Itu batik Gentongan, usia kain-kain itu 15 tahun. Saya baru sempat membuatnya,” jelasnya.
Selama ini batik-batik karya para maestro pembatik itu, juga kain dari berbagai daerah yang merupakan hasil kolaborasi perajin dengan dirinya, tersimpan di dalam lemari rumah Edo. Pandemi Covid-19 membuat ia harus membongkar kain-kain simpanannya untuk ia buat busana.
Karya tiga perajin yang ia tampilkan kali ini pun tak lepas dari unsur harmoni dengan alam, sebab semua bahan pewarnanya terbuat dari pewarna alam yang aman buat bumi dan manusia, bukan pewarna pabrikan. Ia mencontohkan, gaun warna kemerahan dari batik Pekalongan terbuat dari pewarna alam akar mengkudu. ”Kain harus dicelup sampai 10 kali. Kalau pewarna pabrik, sekali dicelup sudah langsung keluar warnanya,” kata Edo.
Motif kain yang Edo tampilkan sebenarnya tak seasli motif sebelumnya. ”Banyak proses yang harus dihilangkan sebab selain menjadi lebih indah, juga mempercepat pengerjaan kainnya,” tambahnya.
Ia menyebut bagian yang ia hilangkan namanya tanahan atau latar belakang motif di kain batik. Semula para pembatik yang sudah puluhan tahun membatik tak bisa menerima masukan Edo. Namun, lewat proses membuat perubahan sampai kira-kira dua tahun, barulah mereka menyadari motif menjadi tampak lebih bagus, warnanya indah, dan tata letak motif lebih pas dan aman buat lingkungan.
”Saya sampai harus bawa boneka maneken naik kereta ke rumah mereka untuk menunjukkan jika dipakai baju menjadi sangat indah. Tetapi, konsekuensinya, percobaan membuat batik seperti yang saya inginkan tetap ada kegagalan dan itu saya tetap harus bayar ke mereka,” ujar lelaki asal Tarutung, Sumatera Utara, yang fasih berbahasa Jawa itu.
Sengaja ia membuat koleksi baju serba longgar karena pandemi membuat orang lebih memilih baju agak longgar sehingga nyaman di badan. Selain itu juga faktor badan yang agak menggemuk atau ada juga yang malah menjadi kurus. Koleksi gaun, celana, atasan model kimono, rok panjang, blus dari bahan sutera satin, katun sampai tenun, cocok baik untuk yang berbadan kurus maupun gemuk.
Pada koleksi kali ini, batik motif mega mendung dari Cirebon, Jawa Barat, menjadi andalannya. Lebih dari lima tahun, ia memilih motif ini untuk busana besutannya. Bahkan, batik mega mendung yang ia bawa ke pergelaran Batik For The World di Kantor UNESCO, Paris, pada 2018, beserta batik pekalongan motif Sawung Galing, ia tampilkan juga di koleksi spring-summer 2022 ini.
Namun, ia juga menggunakan batik Gentongan Madura dan batik Pekalongan dengan motif flora dan fauna. Kombinasi motif garis yang menjadi ciri khasnya pun tetap muncul. Bahkan, tak berhenti pada motif garis, Edo juga menggabungkan batik dengan motif polkadot kecil di sejumlah tampilan.
Salah satunya pada atasan oversized yang juga dapat diubah peruntukannya menjadi blazer dipadukan dengan celana lebar bermotif garis. Kemudian, setelan polkadot putih berwarna dasar hitam dipadukan dengan luaran panjang batik.
Ada juga setelan bermotif garis dipasangkan dengan luaran dari batik Pekalongan. Sementara untuk implementasi dari batik mega mendung tak banyak bergeser dari pola yang selama ini dibuatnya. Hanya saja pada koleksi ini, muncul beberapa tampilan yang kasual berupa setelan dengan atasan tanpa lengan dan berpotongan semi crop dipadukan dengan rok lebar.
Gaun panjang tanpa lengan dengan detail ruffle pada lingkar lengan atas juga perwujudan dari tampilan kasual yang cocok sekali dikenakan ketika piknik di alam terbuka. Selanjutnya, ada setelan dengan atasan berdetail lengan pendek gelembung dengan potongan leher agak rendah yang menguatkan tampilan kesan santai, tetapi juga layak digunakan dalam acara formal.
Pemilihan warna biru putih pada batik mega mendung pun tetap dilakukannya. Meski di beberapa busana, ia mengambil warna tosca dan merah atau biru dan hitam untuk motif mega mendungnya. Sementara untuk batik Pekalongan, selain warna merah, Edo lebih cenderung bermain dengan warna tanah yang hangat dan biru muda yang lembut sesuai dengan tema yang mengajak untuk kembali menjaga alam dan menjadi pengingat bahwa hutan merupakan masa depan umat manusia. Adapun untuk batik Gentongan, Edo memilih kain bergambar gajah yang lucu warna biru dengan dasar putih. Lagi-lagi warna dan motifnya selaras dan harmoni dengan alam.