Pengungsi asal Irak menerima kebaikan warga Indonesia. Akan tetapi, mereka berharap di Ramadhan ini benar-benar bisa mendapatkan kemerdekaan lahir dan batin.
Oleh Tim Harian Kompas
27 Mar 2024 04:00 WIB · Internasional
Namanya Baseem Hadi Abdulmohsin Al-Anbagi. Lelaki 61 tahun itu berjalan tertatih. Kaki kanannya tak bisa digunakan berjalan optimal karena penyakit polio yang menyerangnya satu tahun terakhir.
Ia menghampiri istrinya, Aseel Salah Mahdi Al-Anbagi (36) yang mulai menyiapkan hidangan untuk berbuka puasa di dapur. Di dapur itu hanya ada sedikit perkakas, termasuk satu tabung gas elpiji tiga kilogram dan kompor bermata dua.
Sore itu, Selasa (26/3/2024), mereka akan memasak kabsah. Ini adalah hidangan khas Timur Tengah berupa nasi berbumbu kuning kaya rempah yang biasanya dihidangkan dengan daging sapi, domba, atau kambing.
“Kami pakai bumbu instan seadanya dan ayam. Bumbu lain susah dicari. Bumbu masakan Arab mahal,” kata Aseel dengan bahasa Indonesia yang tidak fasih.
Pasangan itu kini tinggal di salah satu rumah kontrakan di Kota Depok, Jawa Barat. Kontrakan berukuran 3 meter x 7 meter itu dihuni oleh mereka dan enam anak, paling kecil berusia empat tahun.
Namanya Baseem Hadi Abdulmohsin Al-Anbagi. Lelaki 61 tahun itu berjalan tertatih. Kaki kanannya tak bisa digunakan berjalan optimal karena penyakit polio yang menyerangnya satu tahun terakhir.
Ia menghampiri istrinya, Aseel Salah Mahdi Al-Anbagi (36) yang mulai menyiapkan hidangan untuk berbuka puasa di dapur. Di dapur itu hanya ada sedikit perkakas, termasuk satu tabung gas elpiji tiga kilogram dan kompor bermata dua.
Sore itu, Selasa (26/3/2024), mereka akan memasak kabsah. Ini adalah hidangan khas Timur Tengah berupa nasi berbumbu kuning kaya rempah yang biasanya dihidangkan dengan daging sapi, domba, atau kambing.
“Kami pakai bumbu instan seadanya dan ayam. Bumbu lain susah dicari. Bumbu masakan Arab mahal,” kata Aseel dengan bahasa Indonesia yang tidak fasih.
Pasangan itu kini tinggal di salah satu rumah kontrakan di Kota Depok, Jawa Barat. Kontrakan berukuran 3 meter x 7 meter itu dihuni oleh mereka dan enam anak, paling kecil berusia empat tahun.
Keluarga Baseem dan Aseel adalah pengungsi asal Baghdad, Irak. Mereka mengungsi di Indonesia sejak tahun 2017. Mereka meninggalkan tanah air tak tahan dengan konflik di Irak yang penuh kekerasan. Saat itu, terjadi konflik bersenjata yang kerap disebut Perang Saudara Irak.
“Saya yang saat itu bekerja sebagai tenaga medis ditangkap dan disiksa selama sepuluh hari,” kata Baseem dalam bahasa Inggris.
Bahkan, Sajood (12), anak keempat mereka, harus kehilangan kualitas pendengarannya karena mendengar dentuman bom yang amat dekat dari rumah. Insiden itu terjadi ketika Sajood belum genap berumur delapan tahun.
Baca juga: Mudik Lebaran, Cuaca Ekstrem Penyeberangan Merak-Bakauheni Diantisipasi
Sajood beberapa kali mendapat bantuan untuk berobat di Indonesia. Akan tetapi, belum sampai setahun digunakan, alat bantu dengar itu rusak. Itu pula yang membuat Sajood sulit berbicara karena harga alat bantu dengar itu mahal, yaitu sekitar Rp 2,8 juta.
Lantaran sejumlah hal, mereka mesti menunggu untuk mendapat alat bantu dengar. Keluarga mereka sebenarnya mendapat bantuan biaya hidup sesuai jumlah anggotanya. Namun, itu hanya cukup untuk kebutuhan makan sehari-hari dan tempat tinggal.
Mereka tidak bersedia menyebutkan nominal bantuan yang mereka terima. Sebab, setiap pengungsi yang tinggal di Indonesia menerima bantuan biaya hidup yang berbeda-beda, sesuai jumlah anggota keluarga dan sesuai kebutuhan masing-masing.
“Tapi kami merasa nyaman tinggal di Indonesia karena orang di sini baik-baik dan sering bantu kami,” kata Baseem tersenyum.
Wujud kebaikan yang diutarakan oleh Baseem itu tampak saat Sajood bermain-main di sekitar masjid. Seorang ibu berbincang dan bergurau dengan bocah itu. Beberapa saat kemudian, ibu itu memberinya satu lembar Rp 5.000. Gestur itu dihargai oleh Baseem sekeluarga.
Sajood dan ibu itu, Mei Rahayu (66), sama-sama tersenyum. Mei mengatakan, ia tidak mengerti konflik di Palestina yang sekarang ramai dibicarakan dunia maupun cara membantunya. Sejak keluarga Baseem tinggal di lingkungan itu, ia merasa tidak perlu jauh-jauh membantu dan memikirkan konflik di Palestina.
“Ternyata, tetangga kita juga ada korban konflik. Mereka juga manusia, baik, dan sesama Muslim. Kami bantu sebisa mungkin,” kata dia, memegang dada.
Baca juga: Antisipasi Balik ke Perantauan dengan Ragam Opsi Moda Transportasi
Aseel mengatakan, Mei adalah salah satu warga yang sangat baik kepada keluarganya. Saat keluarga mereka mesti pindah kontrakan beberapa meter saja, ia memberikan pakaian baru, alat shalat, dan sejumlah makanan.
Ia merasa bersyukur warga di Indonesia amat menerima mereka. Namun, saat ia dan Baseem ditanya apa harapan mereka, keduanya menangis.
“Kami ingin kemerdekaan yang sesungguhnya. Tidak ingin ada konflik seperti di kampung halaman,” kata Baseem terisak.
Indonesia memang bukan negara yang meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa 1951 Terkait Status Pengungsi yang mengatur mengenai perlindungan pengungsi dan pencari suaka dari luar negeri. Oleh karenanya, status Indonesia bisa disebut sebagai negara transit bagi pengungsi seperti keluarga Baseem.
Para pengungsi bisa menunggu di Indonesia untuk ditempatkan ke negara ketiga. Ini adalah istilah untuk negara tujuan utama para pengungsi. Umumnya negara tersebut merativikasi Konvensi sehingga memiliki kebijakan menerima pengungsi, walaupun dengan sejumlah persyaratan. Di Indonesia, mandat perlindungan terhadap pengungsi berada pada Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR).
Baseem sendiri berharap ia bisa sesegera mungkin mendapat penempatan ke negara ketiga. Ia membayangkan bisa tinggal di Kanada. Namun, tentu saja ia tak bisa memilih begitu saja.
“Saya akan kembali ke Indonesia lagi setelah dapat penempatan ke negara ketiga. Orang Indonesia baik-baik, suka membantu,” katanya.
Keluarga Baseem memang tidak bisa memilih negara tujuan agar mereka bisa hidup lebih baik dan merasa aman. Berstatus sebagai pengungsi, Baseem tidak bisa bebas bekerja layaknya warga Indonesia. Sehari-hari, ia hanya menghabiskan waktu mengurus rumah tangga.
Anak-anaknya memang bisa bersekolah di sekolah formal dengan berbagai bantuan. Kendati demikian, ia tak bisa bekerja formal karena kondisi kesehatan dan aturan yang mengikat pengungsi.
Juru Bicara UNHCR Indonesia Mitra Salima Suryono ketika dihubungi melalui telepon mengatakan, keputusan untuk menerima atau menolak kedatangan pengungsi ada pada negara-negara yang menandatangani Konvensi 1951.
Baca juga: Masih Ada Kesempatan untuk Dapat Tiket Mudik
Negara-negara itu pun punya proses panjang untuk menerima para pengungsi, seperti wawancara, tes kesehatan, dan seterusnya. Secara global, UNHCR mencatat ada 36 juta orang pengungsi. Kurang dari satu persen yang bisa mendapatkan resettlement atau pemukiman kembali di negara ketiga.
Sebagai gambaran, ada 193 negara di dunia yang diakui oleh PBB. Dari jumlah tersebut, hanya ada 20 negara menerima pemukiman kembali untuk pengungsi.
“UNHCR hanya memfasilitasi atau mendaftarkan mereka ke negara tersebut,” kata Mitra.
Profesor Riset Bidang Keamanan Nasional dan Isu-isu Strategis Badan Riset dan Inovasi Nasional Tri Nuke Pudjiastuti menuturkan, masa transit para pengungsi di Indonesia memang cenderung lama. Menurut catatannya, mereka menunggu di Indonesia antara 4-10 tahun, bahkan ada yang lebih.
Di Indonesia, tugas untuk mengurus pengungsi itu ada pada UNHCR dan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM ). Akan tetapi, menurut Nuke, kedua lembaga itu mempunyai kemampuan terbatas. Pemerintah Indonesia berkewajiban membantu para pengungsi karena Indonesia meratifikasi hampir semua konvensi hak asasi manusia internasional, termasuk Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Sebenarnya, ada sejumlah program yang sudah dijalankan pemerintah dalam menangani pengungsi. Salah satunya ialah memberi peluang mereka “bekerja”. Istilah bekerja diberi tanda kutip karena pengungsi tidak memungkinkan untuk mencari nafkah secara formal layaknya pemegang visa kerja.
Menurut Nuke, keluarga seperti Baseem bisa diberdayakan agar siap bekerja di negara ketiga. Mereka bisa dilatih keterampilan khusus, tetapi bukan untuk tinggal di Indonesia.
“Namun, untuk memudahkan mereka bisa ke negara ketiga. Mereka idealnya mempunyai keterampilan selama masa tunggu untuk digunakan di negara tujuan yang sekaligus bisa memberi manfaat kepada masyarakat Indonesia juga,” ujar Nuke.
Rekomendasi Artikel Pilihan
Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.