Penurunan persentase bayi di Indonesia yang mendapatkan air susu ibu (ASI) dalam tiga tahun terakhir diduga kuat akibat keterlibatan dokter dan bidan.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Tim investigasi Kompas mengungkap praktik pemasaran susu formula yang melanggar aturan, tepatnya secara masif dipasarkan untuk bayi berusia 0-6 bulan, yang seharusnya menikmati ASI eksklusif. Selain dokter dan bidan, influencer dari tenaga kesehatan ikut aktif memasarkan susu formula.
Pelanggaran itu menghambat ibu yang baru melahirkan untuk menyusui bayinya. Susu formula itu juga kerap diberikan tanpa indikasi medis. Fenomena ini terjadi di sejumlah rumah sakit yang diinvestigasi ( Kompas, 29/9/2022).
Ketergantungan bayi dengan susu formula sejak lahir membuat banyak keluarga di Indonesia kalang kabut secara ekonomi karena harus rutin berbelanja susu formula. Terlebih, sejak pandemi mulai melanda pada 2020 hingga kini, banyak keluarga yang terdampak secara ekonomi.
Di lingkup nasional, belanja susu formula per tahun mencapai Rp 3 triliun. Sesuai data yang diolah, terdapat lima provinsi dengan belanja susu formula paling banyak sepanjang 2021, yakni Jawa Barat (Rp 541,4 miliar), Jawa Timur (Rp 426,5 miliar ), Sumatera Utara (Rp 284,8 miliar), Jawa Tengah (Rp 185,4 miliar), dan Banten (Rp 124,2 miliar) (Kompas, 30/9/2022).
Meluasnya pemasaran susu formula untuk bayi 0-6 bulan berdampak pada penurunan persentase bayi dengan ASI eksklusif dalam tiga tahun terakhir. Bayi dengan ASI eksklusif pada 2018 sekitar 68,7 persen, lantas menurun pada 2019 yang hanya 65,8 persen. Penurunan berlanjut pada 2020 yang tercatat cuma 53,9 persen sebagaimana dikutip dari Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan tahun 2021.
Bayi tanpa ASI eksklusif mengundang risiko. Pemberian ASI yang tidak memadai mengakibatkan anak-anak berisiko lebih tinggi terkena penyakit dan kematian. Sementara ibu yang tidak menyusui lebih rentan terkena kanker.
Penurunan persentase bayi dengan ASI eksklusif sepatutnya menjadi keprihatinan kita bersama. Fenomena ini seharusnya segera ditelusuri sumber masalahnya, diatasi penyebabnya, dan ditemukan solusinya guna mencegah kejadian serupa terulang lagi.
Dokter dan bidan, sebagai pihak yang punya tanggung jawab moral dan profesional dalam penggunaan ASI, berperan sangat strategis dalam mengatasi masalah ini. Informasi terkait urgensi penggunaan ASI pada bayi berusia 0-6 bulan sudah sewajarnya disosialisasikan dengan sebenar-benarnya demi mencegah kemungkinan mispersepsi.
Bahkan, pemerintah perlu menyusun strategi komunikasi yang lebih serius dan berkelanjutan tentang penggunaan ASI eksklusif. Seluruh daya upaya ada baiknya dikerahkan untuk kampanye ASI eksklusif ini.
Ironis jika dokter yang berwenang menyampaikan informasi, menyarankan, dan menerbitkan resep justru menyembunyikan fakta sesungguhnya. Kita sungguh-sungguh memerlukan pejuang ASI di berbagai lini. Sumber utamanya tentu dari kalangan dokter, bidan, dan tenaga kesehatan.