Sedikitnya 31 anggota kepolisian diduga melanggar kode etik karena tak profesional dalam menangani kasus pembunuhan Brigadir J. Sungguh solidaritas yang tidak main-main. Kasus ini mengingatkan akan film ”A Few Good Men”.
Oleh
OKKI SUTANTO
·5 menit baca
Jiwa korsa antarpolisi patut diacungi jempol. Dalam kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, empat orang telah ditetapkan sebagai tersangka, termasuk Irjen Ferdy Sambo, atasan Brigadir J. Sedikitnya 31 anggpta kepolisian ditengarai melanggar kode etik karena tidak profesional dalam penanganan kasus ini. Ini solidaritas yang tidak main-main. Sungguh-sungguh peduli lindungi!
Kasus ini mengingatkan akan film A Few Good Men yang dibintangi Tom Cruise, Demi Moore, dan Jack Nicholson. Seorang prajurit muda yang dibunuh, perwira tinggi yang merekayasa kasus, anak buah yang dikambinghitamkan, hingga pengacara yang tidak kenal lelah mengungkap kebenaran. Banyak kemiripan antara film ini dan kasus pembunuhan Brigadir J.
Budaya kekerasan dan saling melindungi bukan fenomena baru atau tunggal. Tempo dalam laporannya menuliskan bahwa Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat ada 1.328 kasus kekerasan yang diduga dilakukan polisi sepanjang 2020 hingga Juni 2022. Terdapat 1.240 orang yang ditangkap disertai kekerasan oleh polisi. Hanya sedikit dari kasus ini yang diusut tuntas sesuai prosedur yang berlaku.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Amerika Serikat, dikenal konsep blue wall of silence dalam institusi kepolisian. Blue wall of silence adalah aturan tak tertulis antar-anggota kepolisian untuk saling menutupi kesalahan, saling melindungi, serta diam seribu bahasa saat tahu polisi lain melakukan kejahatan. Jiwa korsa yang tinggi dalam institusi kepolisian turut berkontribusi menciptakan budaya saling melindungi antar-anggotanya.
Carol Tavris dan Elliot Aronson, dua psikolog sosial ternama, menuliskan dengan baik soal fenomena ini dalam buku Mistakes Were Made (but not by me). Mereka menjelaskan bagaimana justru di institusi penegak hukum seperti polisi, kekerasan dan pelanggaran hukum lumrah terjadi. Ada masalah sistemik dan kultural yang perlu dibenahi. Berlindung di balik penjelasan ”oknum” tidak akan menyelesaikan akar masalah.
Disonansi kognitif
Penjelasan pertama adalah disonansi kognitif. Disonansi kognitif terjadi saat ada ketidakselarasan antara sikap, pemikiran, dan perilaku. Misalnya ketika seseorang tahu bahwa menerobos lampu merah itu salah, tetapi di sisi lain dia kerap melakukannya. Pertentangan antara sikap dan perilaku ini akan memunculkan perasaan tidak nyaman.
Untuk mengelola hal tersebut, umumnya orang akan mencari pembenaran atas tindakannya. Misalnya dengan mengatakan bahwa menerobos lampu merah itu wajar karena banyak yang melakukannya. Atau dengan mengubah keyakinan awalnya dengan berpikir bahwa jangan-jangan aturannya yang perlu direvisi.
Hal serupa terjadi juga pada institusi kepolisian. Mereka tahu apa yang salah menurut hukum, tetapi justru kerap melakukan pelanggaran hukum.
Hal serupa terjadi juga pada institusi kepolisian. Mereka tahu apa yang salah menurut hukum, tetapi justru kerap melakukan pelanggaran hukum. Alih-alih mengubah perilaku salah tersebut, polisi akan cenderung mencari pembenaran atau mengubah keyakinan awalnya. Akhirnya, perilaku salah pun terus dilakukan dan diwajarkan.
"Confirmation bias"
Penjelasan kedua adalah confirmation bias. Sebuah kecenderungan yang kita miliki untuk menyaring dan memilah informasi secara bias. Menerima data dan informasi yang sejalan dengan keyakinan kita, dan di saat yang sama meremehkan atau menolak informasi yang tidak sejalan dengan keyakinan kita.
Hal ini yang kerap membuat polisi sulit percaya bahwa ada yang tidak beres di dalam organisasinya. Ketika ada informasi atau berita baik soal citra organisasinya, mereka akan segera menerimanya dengan senang hati.
Ketika ada hal buruk yang terjadi di dalam organisasinya, mereka akan berlindung di balik kata ”oknum”, meyakini bahwa ini adalah konspirasi untuk menjatuhkan citra kepolisian, atau bahkan menolak sama sekali informasi tersebut. Akhirnya, masalah tidak benar-benar terselesaikan.
"Pyramid of choice"
Konsep lain yang dijelaskan Tavris dan Aronson adalah pyramid of choice. Seseorang tidak secara tiba-tiba menjadi polisi brengsek. Namun, satu demi satu keputusan buruk membuat sang polisi menuruni puncak piramida secara perlahan. Keputusan buruk yang terus terakumulasi dan dijustifikasi akhirnya membuatnya turun ke dasar piramida.
Dari yang awalnya sekadar menerima pungli, bisa terus berkembang menjadi menerima sogokan dan korupsi. Dari yang awalnya sekadar melakukan kekerasan terhadap demonstran, bisa terus berkembang ke menyiksa tahanan atau membunuh orang lain. Ketika sudah berada di dasar piramida, batasan moralitas dan kebenaran pun kian kabur.
Deindividuasi dan "obedience"
Dalam konteks psikologi sosial, kita juga mengenal konsep deindividuasi dan obedience yang berkontribusi terhadap agresi dan kekerasan. Deindividuasi terjadi ketika seseorang kehilangan identitas individunya dan melebur ke dalam identitas kelompok.
Obedience atau kepatuhan jamak terjadi dalam institusi yang mengedepankan rantai komando tegas dan atasan penuh otoritas seperti kepolisian.
Hal tersebut lantas menghilangkan rasa takut, malu, atau bersalah karena ia merasa tidak lagi memiliki tanggung jawab sebagai pribadi. Ketika ini terjadi, perilaku brutal dan tak beradab lumrah terjadi. Hal ini ditemui dalam aksi tawuran, hooliganism, dan dalam police brutality.
Obedience atau kepatuhan jamak terjadi dalam institusi yang mengedepankan rantai komando tegas dan atasan penuh otoritas seperti kepolisian. Seorang bawahan akan patuh mengikuti perintah yang diberikan atasannya tanpa banyak bertanya.
Kultur organisasi yang melanggengkan obedience akan mereduksi kemampuan individu untuk bertanggung jawab atas tindakannya. Seseorang yang memiliki jabatan atau kekuasaan jauh lebih rendah tidak lagi berdaya menjadi individu yang merdeka dalam berpikir atau bertindak.
Semoga uraian perspektif psikologi sosial di atas bisa menjadi acuan yang membantu usaha pembenahan Polri ke depan. Semoga kasus ini bisa dijadikan momentum pembenahan di kepolisian. Sudah saatnya reformasi Polri tak sebatas jargon.
Penanganan kasus pembunuhan Brigadir J tentu belum selesai dan perlu tetap dikawal. Motif pembunuhan hingga kini belum dibuka ke publik dengan berbagai alasan. Hal ini kembali mengingatkan saya pada kalimat legendaris Jack Nicholson di pengujung film A Few Good Men, ”You can’t handle the truth!”.
Bisa jadi, rakyat sebenarnya sanggup-sanggup saja menerima kebenaran. Namun, pejabat dan negara saja yang belum siap memberikan kebenaran bagi rakyatnya.
Okki Sutanto, Alumnus Magister Sains Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta