Tak Tahan Lihat Ibunya Disiksa, Anak Bunuh Ayah Tiri di Kolaka Timur
Seorang anak di Kolaka Timur bunuh ayah tiri karena marah ibunya disiksa. Kasus kekerasan rumah tangga terus melambung.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Seorang anak di Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara, menganiaya ayah tiri dengan parang hingga tewas. Ia tak kuasa menyaksikan sang ibu kerap disiksa.
Muhammadong (20), warga Desa Kesio, Lalolae, Kolaka Timur, meradang saat tengah nongkrong bersama rekan-rekannya. Ia mendapat kabar dari sang adik bahwa sang ibu kembali dipukuli di rumah mereka. Pelaku tidak lain adalah ayah tiri mereka, Heligus (52).
Ia segera memacu motor menembus malam, Selasa (2/4/2024), menuju kediaman. Di rumah, Muhammadong yang kerap dipanggil Dadong hanya bertemu Jusman (15), sang adik yang menghubunginya. Ibu mereka telah dibawa ke rumah kepala desa setelah dicekik dan ribut dengan suaminya.
”Dadong mengajak adiknya untuk mencari Heligus. Ia membawa dua buah parang,” kata Kapolres Kolaka Timur Ajun Komisaris Besar Yudhi Palmi, yang dihubungi dari Kendari, Rabu (3/4/2024) malam.
Setelah menyusuri kampung, Dadong melihat Heligus tengah berjalan menuju rumah kerabatnya. Ia lalu meletakkan parang di dekat motor, dan berjalan menghampiri Heligus. Di situ, ia bertanya mengapa Heligus kembali memukuli ibu mereka.
Infografik Perempuan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) menurut Provinsi Tahun 2020
Selama delapan tahun, Dadong kerap menyaksikan ayah tirinya melakukan kekerasan terhadap ibunya di dalam rumah mereka. Penyiksaan itu membuatnya tak tahan untuk berdiam diri.
Namun, Heligus malah balik marah dan memaki. Ia juga berusaha mendekati Dadong dan bersiap memukul. Melihat kondisi itu, Dadong berbalik ke motor dan mengambil parang yang telah disiapkan.
”Setelah menganiaya, pelaku lalu ke Polsek Lalolae menyerahkan diri. Sementara korban berusaha menuju rumah kerabatnya dengan luka parah. Korban meninggal dunia di Puskesmas Lalolae beberapa saat kemudian,” tambah Yudhi.
Berdasarkan keterangan yang dikumpulkan, katanya, pelaku membunuh karena dendam terhadap korban. Selama delapan tahun, Dadong kerap menyaksikan ayah tirinya melakukan kekerasan terhadap ibunya di dalam rumah mereka. Penyiksaan itu membuatnya tak tahan untuk berdiam diri.
Saat ini, pelaku ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka. Pelaku dijerat dengan Pasal 338 dan Pasal 351 KUHP dengan hukuman maksimal 15 tahun penjara.
Kekerasan berujung nyawa
Kasus di Kolaka Timur seakan membuka lembaran kekerasan dalam rumah tangga yang terus terjadi di Sultra. Kekerasan terhadap perempuan yang berujung hilangnya nyawa seakan tiada henti. Kasus demi kasus terjadi, di banyak tempat di wilayah ini.
Pada Desember 2023, seorang ibu hamil tewas di tangan suaminya sendiri. MS (19) dan janin yang berusia tiga bulan tidak tertolong.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Baubau Inspektur Satu Ismunandar saat itu mengatakan, korban meninggal karena ada patahan di leher. Sebelum meninggal, korban dipukuli beberapa kali pada Rabu siang dan petang. Sempat keluar rumah untuk bermain futsal, LN kembali memukul korban yang berujung kematian.
”Motifnya pelaku tidak ingin isi percakapan di ponselnya diketahui korban,” ujarnya.
Saat ini, LN yang masih di bawah umur telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Pelaku diancam Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara.
Sementara itu, Februari lalu, seorang anak TK di Buton Selatan dibunuh dan dibuang di sebuah jurang. SA (6) ditemukan meninggal di lubang kecil di Desa Kaofe, Kecamatan Kadatua, Buton Selatan, Sulawesi Tenggara. Bocah perempuan yang sebelumnya dilaporkan hilang itu diduga kuat dibunuh dan menjadi korban kekerasan seksual. Polisi masih memburu pelakunya.
Kepala Polsek Kadatua Inspektur Dua Wahid belum bisa berkomentar banyak terkait pengejaran terduga pelaku. ”Kami masih mencarinya,” katanya.
Kasus yang berulang ini menjadi tamparan keras untuk kita semua.
Yustina Fendritta, pemerhati masalah perempuan dari Lambu Ina, organisasi yang aktif mengadvokasi kasus kekerasan seksual di wilayah Kepulauan Sultra, menyampaikan, berbagai kasus yang terjadi, terlebih hingga adanya korban jiwa, merupakan tamparan keras bagi semua pihak. Perempuan, baik dewasa maupun anak, sangat rentan menjadi korban kekerasan.
”Kasus yang berulang ini menjadi tamparan keras untuk kita semua, karena kekerasan terus terjadi dan berujung pada hilangnya nyawa,” tuturnya.
Menurut Fendritta, berbagai kasus ini menunjukkan tidak adanya sistem perlindungan ideal bagi perempuan, baik di tingkat individu, keluarga, maupun komunitas. Padahal, berbagai lembaga telah dimandatkan menyadarkan hingga menyosialisasikan hal ini kepada semua lapisan masyarakat.
Upaya itu idealnya berlanjut dalam lingkup keluarga hingga komunitas. Dengan begitu, setiap orang akan mengambil peran ketika terjadi kasus kekerasan di sekitar mereka. Hal itu bisa menghindarkan dari dampak fatal dan kasus yang berulang.
Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Sultra Abdul Rahim yang dihubungi belum juga merespons panggilan dan pertanyaan yang dikirimkan hingga Kamis menjelang siang.