Moratorium Pembangunan Fisik di Daerah Potensi Pergerakan Tanah
Selain faktor hujan berintensitas tinggi, pergerakan tanah diperparah karena adanya alih fungsi lahan menjadi hunian dan lahan pertanian.
Oleh
AGUIDO ADRI
·5 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Bencana pergerakan tanah di Desa Bojong Koneng, Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, kembali terjadi. Meski tak menimbulkan korban jiwa, pemerintah perlu mengambil kebijakan moratorium pembangunan rumah dan infrastruktur fisik di wilayah rawan pergerakan tanah.
Pergerakan tanah terjadi beruntun di Kampung Garungsang, Cibingbin, dan Tapos, di Desa Bojong Koneng, pada Sabtu (6/5/2023), Jumat (19/5), Senin (22/5), hingga laporan terakhir pada Senin (28/5). Fenomena alam itu menyebabkan 26 rumah rusak dan 106 jiwa warga terdampak.
Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Kabupaten Bogor Agus Suyatna mengatakan, pergerakan tanah di Desa Bojong Koneng berpotensi terus terjadi beberapa hari ke depan. Apalagi jika hujan berintensitas tinggi melanda Bogor.
”Tidak ada korban jiwa dan luka dari fenomena bencana itu. Kecamatan Babakan Madang, seperti di Desa Bojong Koneng, rawan dan potensi pergerakan tanah. Potensi wilayah lainnya di Sukamakmur dan Tanjungsari perlu kesiapsiagaan. Fenomena ini disebabkan rayapan tanah. Setiap harinya terjadi pergeseran 50 sentimeter,” kata Agus, Minggu (28/5/2023).
Selain faktor hujan berintensitas tinggi, kata Agus, pergerakan tanah diperparah karena adanya alih fungsi lahan menjadi hunian dan lahan pertanian. Hal itu semakin memicu pergerakan tanah. Kendati kejadian fenomena pergerakan tanah di Desa Bojong Koneng sudah terjadi beberapa kali, banyak warga sekitar enggan untuk pindah lokasi. Warga memilih bertahan dan kembali memperbaiki rumah mereka yang rusak.
Sebagai langkah antisipasi dan menghindari risiko korban, BPBD Kabupaten Bogor terus mengawasi, mengedukasi, dan memantau lokasi-lokasi rawan bencana pergerakan tanah. BPBD Kabupaten Bogor juga mengusulkan kepada pemerintah agar moratorium pembangunan rumah dan infrastruktur fisik di wilayah rawan pergerakan tanah.
”Perlu pula ada kajian lebih lanjut dari para ahli dan pemerintah untuk melihat kekuatan struktur bangunan rumah warga saat ini agar tidak ada korban ke depannya. Mitigasi dari pemerintah dan warga,” ujar Agus.
Upaya mitigasi lainnya, seperti memetakan titik rawan bencana pergerakan tanah. Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Kabupaten Bogor Aris Nurjatmiko mengatakan, berdasarkan kajian Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), skala bencana tanah bergerak itu bervariasi, mulai dari menengah hingga tinggi di 40 kecamatan di Kabupaten Bogor.
Dari 40 kecamatan, ada 4 kecamatan berpotensi menengah dan 26 kecamatan berpotensi terjadi pergerakan tanah menengah hingga tinggi. Adapun 26 titik itu berada di Babakan Madang, Bojonggede, Cariu, Ciawi, Cibinong, Cigudeg, Cileungsi, Cisarua, Ciseeng, Citeureup, Gunung Putri, Gunung Sindur, Jasinga, Jonggol, Klapanunggal, Leuwisadeng, Megamendung, Nanggung, Parung, Sukajaya, Parung Panjang, Sukamakmur, Sukaraja, Tajurhalang, Tanjungsari, dan Tenjo.
Aris mengimbau masyarakat meningkatkan kewaspadaan ketika cuaca ekstrem yang rentan menimbulkan pergerakan tanah. Masyarakat juga perlu mengenali kerentanan di wilayah masing-masing dengan cara melihat peta gerakan tanah yang diunggah secara berkala oleh BPBD Kabupaten Bogor sehingga mereka bisa mengantisipasinya.
”Kami pun edukasi warga untuk siaga. Bagi wilayah berpotensi selalu siaga menghadapi bencana. Siapkan tas siaga bencana agar selalu tanggap dalam menghadapi bencana yang datang secara tiba-tiba,” katanya.
Fenomena pergerakan tanah di Desa Bojong Koneng, Babakan Madang, dan Desa Banyuwangi, Cigudeg, sebelumnya terjadi pada September 2022 silam dengan jumlah warga dan rumah terdampak yang lebih besar.
”Ada tercatat 1.020 jiwa atau 278 keluarga terdampak dan 328 rumah warga rusak. Korban turut terdampak sebanyak 147 keluarga atau 572 jiwa. Korban terancam sebanyak 131 keluarga atau 448 jiwa,” kata Aris.
Rayapan tanah
Dalam pemberitaan Kompas.id (4/10/2022), dari hasil kajian Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) bersama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), bencana pergerakan tanah di Kecamatan Babakan Madang dan dan sekitarnya di Kabupaten Bogor disebabkan rayapan tanah. Fenomena rayapan tanah ialah bergeraknya tanah secara perlahan.
Kondisi rayapan tanah berbeda dengan longsor yang terjadi dalam waktu seketika, terutama saat hujan dengan intensitas tinggi. Sementara rayapan tanah terjadi secara perlahan meski tidak terjadi hujan ekstrem.
Kami pun edukasi warga untuk siaga. Bagi wilayah berpotensi selalu siaga menghadapi bencana. Siapkan tas siaga bencana agar selalu tanggap dalam menghadapi bencana yang datang secara tiba-tiba.
Peneliti Ahli Utama Bidang Geoteknik Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN Adrin Tohari melanjutkan, selain rayapan tanah, penyebab pergerakan tanah ialah perubahan tata guna lahan dan faktor geologis.
Faktor geologis yang dimaksud adalah adanya lapisan batu lempung di bawah lapisan tanah yang menyebabkan air tidak dapat masuk sehingga terjadi perubahan kondisi air di dalam lapisan tanah.
”Ketika air masuk ke dalam lapisan tanah dan bersentuhan dengan lapisan batu lempung, maka air akan berhenti dan membentuk lapisan air tanah yang menyebabkan terjadinya rayapan tanah hingga terjadi pergerakan tanah,” kata Adrin.
Kondisi rayapan tanah itu bisa menimbulkan retakan atau tanah ambles karena topografinya tidak terlalu terjal dan juga kontak antara batu lempung dan lapisan tanah di atasnya tidak curam atau landai.
”Oleh karena itu, tanah bergeraknya perlahan, maka itu disebut fenomena gerakan tanah tipe nendatan. Bergeraknya perlahan, seperti merayap,” ujar Adrin.
Dalam kondisi geologis seperti itu, lanjutnya, dampak pergerakan tanah pun menjadi sangat luas hingga menimbulkan bencana di tingkat kampung, seperti di Desa Bojong Koneng.
Tidak hanya itu, faktor tata guna lahan turut memengaruhi fenomena pergerakan tanah tipe nendatan. Faktor tata guna lahan yang dimaksud, di antaranya, meliputi keberadaan lahan persawahan, kolam ikan, atau adanya aliran air yang cukup deras di bagian kaki lereng perbukitan, hingga keberadaan bangunan.
”Perubahan tata guna lahan bisa berkontribusi terhadap luasan rayapan sehingga menimbulkan bencana berulang kali di daerah terdampak. Pernah terjadi pada 1982, 2007, dan sekarang,” ujarnya.