Pemerintah Kabupaten Bogor Bangun 2.500 Hunian Tetap bagi Warga Terdampak Bencana
DPKPP Kabupaten Bagor mendata ada kebutuhan sekitar 4.600 hunian tetap untuk warga. Huntap itu untuk menampung sekitar 2.000 keluarga yang terdampak bencana longsor dan banjir bandang.
Oleh
AGUIDO ADRI
·4 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Pemerintah Kabupaten Bogor, Jawa Barat, akan melanjutkan pembangunan 2.500 hunian tetap atau huntap untuk warga yang terdampak bencana longsor dan banjir bandang pada awal 2020 silam. Kondisi geografis dan topografi lahan yang labil serta kawasan yang dilalui aliran sungai membuat Bogor rentan bencana. Oleh karena itu, dalam pembangunan hunian perlu kajian dan memperhatikan kondisi lingkungan.
Kepala Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Pertanahan (DPKPP) Kabupaten Bogor Ajat Rohmat Jatnika mengatakan, dari bencana longsor dan banjir bandang pada 2020, DPKPP mendata ada kebutuhan sekitar 4.600 huntap untuk warga. Hunian itu untuk menampung sekitar 2.000 keluarga yang terdampak. Adapun dana yang disiapkan Pemkab Bogor melalui anggaran APBD 2023 mencapai Rp 155 miliar
”Sekarang 2023 kami akan membangun 2.500, tersebar di empat kecamatan di Nanggung, Sukajaya, Cigudeg, dan Sukamakmur, itu tersebar di 17 desa,” kata Ajat, Rabu (24/5/2023).
Setelah bencana, kata Ajat, pemerintah daerah dan pusat mulai membangun huntap. Pada 2021, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat membantu sekitar 500 rumah. Pada 2022, Badan Nasional Penanggulangan Bencana membantu 467 rumah dan Pemkab Bogor membangun 187 rumah. Lalu, pada 2023 Pemkab Bogor membangun 500 rumah dan ditargetkan pada Oktober 2023 ini akan terbangun 2.000 huntap untuk warga.
Ajat menuturkan, pihaknya terus berupaya relokasi warga terdampak bencana longsor dan banjir dengan membangun huntap dan mengedukasi warga untuk tidak kembali ke zona merah bencana.
Dalam memenuhi pembangunan hunian itu, ada beberapa tantangan yang harus disiapkan, seperti anggaran dan mencari lokasi yang aman dari bencana. Salah satu tanah relokasi yang sudah dibangun adalah di tanah perkebunan sawit milik PT Perkebunan Nusantara VII di perbatasan Desa Cigudeg dan Desa Sukaraksa, Kecamatan Cigudeg.
Pada peristiwa bencana pada awal 2020 itu, tercatat ada sembilan desa dan 9.768 jiwa terdampak banjir. Sementara warga yang terdampak longsor mencapai 19.821 orang. Di Kecamatan Sukajaya ada 14.233 orang, di Kecamatan Nanggung terdapat 4.217 orang, di Kecamatan Cigudeg 1.212 orang, dan di Jasinga 159 orang. Total kerugian bencana itu mencapai Rp 1,4 triliun. Dampak lain ada delapan orang meninggal dan tiga orang hilang.
Rawan bencana
Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bogor Agus Suyatna menjelaskan, dari pemetaan mitigasi bencana, daerah Kabupaten Bogor bagian barat, seperti di Kecamatan Jasinga, Nanggung, Cigudeg, dan Sukajaya, memang masuk daerah rawan bencana longsor. Daerah lain yang juga harus diwaspadai adalah Temjolaya, Tenjo, Leuwiliang, dan Rumpin.
Selain di bagian barat, daerah rawan bencana juga berada di bagian selatan Kabupaten Bogor, seperti di Kecamatan Cisarua, Megamendung, Ciawi, Caringin, Cigombong, Cijeruk, Ciawi, dan Tamansari.
”Dari 40 kecamatan ada sebanyak 24 kecamatan yang masuk kawasan rawan bencana banjir, tanah longsor, tanah bergerak, hingga puting beliung. Selain karena perubahan iklim, ancaman potensi bencana semakin juga karena dampak dari pembangunan,” kata Agus.
Oleh karena itu, untuk membangun rumah atau huntap di kawasan tersebut perlu memperhatikan kondisi lingkungan, geografis, dan kajian oleh para ahli agar jangan ada lagi jatuh korban jiwa yang banyak seperti pada bencana 2020 silam.
Berdasarkan data BPBD Kabupaten Bogor, tanah longsor merupakan salah satu bencana yang paling sering dan berbahaya menimbulkan korban. Tingkat kerentanan longsor tinggi terdapat di bagian selatan dan bagian tengah dengan luasan 11.773,82 hektar. Daerah dengan kerentanan menengah ada di bagian selatan, barat, dan timur dengan luasan 83.675,27 hektar.
Sepanjang 2014-2020, tercatat terjadi 1.442 tanah longsor di Kabupaten Bogor. Pada 2020 bencana longsor tercatat terjadi sebanyak 428 kali.
Sementara pada 2021, BPBD kabupaten Bogor mencatat ada 1.283 bencana alam yang tersebar di 320 desa dan kelurahan dengan 74.084 keluarga terdampak, 28 meninggal, serta 19 luka ringan dan berat. Longsor menjadi bencana paling tinggi dengan 513 kejadian. Selanjutnya, angin kencang 449 kejadian, 112 bencana banjir, 56 pergeseran tanah, 27 kebakaran, 20 kekeringan, 2 gempa, dan 104 kejadian lainnya.
Sementara pada 2022, total peristiwa bencana 564 kejadian. Bencana angin kencang menjadi peristiwa terbanyak, yaitu 192 kejadian. Disusul tanah longsor 176 kejadian, banjir 55 kejadian, pergeseran tanah 34 kejadian, kebakaran 17 kejadian, gempa 10 kejadian, dan bencana lain-lain sebanyak 72 kejadian. Dari peristiwa itu, 34 jiwa meninggal, 718 orang mengungsi, dan 56.791 jiwa atau 15.736 keluarga terdampak.
Agus menjelaskan, kondisi geografis dan topografi lahan yang labil membuat daerah Bogor memiliki tingkat rentan tinggi longsor dan pergerakan tanah.
Dari sisi geografis, sebagian kawasan Kabupaten Bogor berupa dataran tinggi. Lebih dari seperempat bagian wilayah adalah perbukitan dan pegunungan. Bahkan, 8,43 persen wilayah berada pada ketinggian 1.000-2.000 meter di atas permukaan laut (mdpl) dan 0,22 persen berada di ketinggian 2.000-2.500 mdpl.
Berada di wilayah tinggi yang masuk kategori hulu membuat daerah ini rentan longsor. Terlebih, tipe batuan penyusun tanahnya didominasi hasil letusan gunung yang relatif rawan terhadap gerakan tanah apabila mendapat curahan hujan deras.
Tingkat kerawanan ini ditambah dengan karakter jenis tanah penutup yang didominasi material vulkanik lepas yang sangat peka terhadap erosi. Itulah mengapa beberapa wilayah di Bogor rawan longsor.