WHO Bongkar Praktik Agresif Produsen Susu Formula Gantikan ASI untuk Bayi
Laporan WHO mengungkap praktik-praktik produsen susu formula yang agresif beriklan untuk memengaruhi pikiran para ibu hamil dan menyusui agar beralih dari memberikan ASI eksklusif pada bayi mereka dengan susu formula.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·5 menit baca
Stephanie Labarta (31), perempuan analis senior di sebuah perusahaan nirlaba di New York, Amerika Serikat, sedang hamil enam bulan saat pertama kali mencermati iklan susu formula untuk bayi di Instagram dan Facebook. Kini, setahun kemudian, ia ”dipaksa” melihat tiga atau empat kali iklan serupa dalam sehari, umumnya berupa Enfamil produksi Reckitt Benckiser atau Gerber Good Start dari Nestle.
”Gerber muncul di akun saya pagi hari, dimulai kontes dengan cara mendaftarkan bayi Anda yang lagi tersenyum, dan lalu (saya) diantarkan masuk pada link berbagai tipe susu formula dan jenis yang tersedia,” tutur Labarta.
Tak lama kemudian, akun media sosial Labarta dibanjiri iklan produk tersebut. Ia juga menerima paket perawatan melalui pendaftaran daring. Termasuk dalam paket perawatan itu adalah sampel susu formula.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam laporan yang dirilis, Jumat (29/4/2022), menyebut model pemasaran susu formula, seperti yang dialami Labarta tersebut, sebagai ”promosi yang tidak pantas terhadap pengganti air susu ibu (ASI)” melalui medsos. Akibatnya, ibu-ibu yang baru melahirkan bayi menjadi enggan menyusui anak mereka hingga usia enam bulan.
Penelitian WHO dilakukan dengan metode menelusuri 4 juta unggahan di media sosial yang berkisar mengenai gizi dan makanan untuk bayi. Terungkap, unggahan-unggahan mengenai susu formula disukai oleh 2,74 miliar warganet dan disebarluaskan sekitar 12 juta kali.
Promosi agresif
Produsen susu formula rata-rata mengunggah konten ke laman media sosial sebanyak 90 kali sehari dan menjangkau 229 juta warganet. Ini tiga kali lebih cepat dibandingkan peredaran informasi mengenai pentingnya ASI bagi bayi, setidaknya hingga usia enam bulan.
”Kampanye-kampanye perusahaan susu formula sangat agresif. Mereka juga banyak memakai jasa pemengaruh (influencer) sehingga warganet tidak bisa membedakan bahwa konten di akun media sosial pemengaruh itu sebenarnya iklan karena cara penuturannya sama sekali berbeda dari promosi,” kata Direktur Departemen Nutrisi dan Keamanan Pangan WHO Francesco Branca.
Di dalam laporan WHO itu juga dijelaskan bahwa perusahaan-perusahaan susu formula memakai teknologi untuk meneliti algoritma unggahan media sosial ibu hamil dan ibu yang baru melahirkan. Mereka secara spesifik membombardir laman media sosial perempuan-perempuan ini dengan iklan ataupun unggahan dari pemengaruh.
Laporan WHO tersebut juga mengangkat hasil riset WHO, yang dipublikasikan pada Februari 2022 dan mengungkap bahwa para produsen dalam industri susu formula menggunakan taktik pemasaran yang agresif. Menurut Euromonitor, industri susu formula tahun ini diperkirakan akan mencatat pertumbuhan dalam penjualan menjadi lebih dari 54 miliar dollar AS atau sekitar Rp 782,5 triliun.
”Perusahaan-perusahaan produsen pengganti ASI membeli akses langsung terhadap para perempuan dan ibu hamil pada saat-saat mereka paling rentan dari platform-platform media sosial dan para pemengaruh,” demikian laporan riset WHO. ”Mereka menggunakan apps, klub-klub perawat bayi, layanan saran, dan pendaftaran daring guna mengumpulkan data pribadi serta mengirimkan promosi-promosi produk pengganti ASI kepada para ibu.”
Di negara-negara Barat, kasus yang dialami Labarta ”sangat sering terjadi”, ujar Laurence Grummer-Strawn, salah satu penulis laporan WHO. ”Mereka memanfaatkan teknologi digital untuk memperoleh alamat ibu-ibu; mengidentifikasi bahwa mereka sedang hamil; memasukkan mereka dalam daftar dan semacam daftar untuk distribusi (informasi produk-produk mereka).”
Untuk menopang kampanye dan promosi yang agresif itu, industri susu formula menggelontorkan dana iklan secara besar-besaran. Menurut Nielsen, di Amerika Serikat saja, dana yang mereka gelontorkan untuk beriklan melalui Reddit, Facebook, Instagram, dan Twitter pada 2021 hampir dua kali lipat menjadi 3,82 juta dollar AS atau sekitar Rp 55,5 miliar dibandingkan tahun 2017. Belanja iklan perusahaan-perusahaan produsen susu formula itu banyak dikucurkan pada pemasaran digital.
”Dua atau tiga tahun lalu kurang dari 5 persen belanja iklan mereka dialokasikan di pasar pemengaruh, kini meningkat dari 25 persen hingga 50 persen dari belanja iklan mereka,” ujar Maria Sipka, salah satu pendiri agen pemasaran pemengaruh, Linqia, yang sudah 20 tahun lebih mempromosikan lebih dari 20 kali produk-produk nutrisi untuk bayi, termasuk Gerber Good Start dari Nestle. Pemengaruh dipilih karena promosi yang dibuatnya, kata Sipka, ”tidak terasa seperti promosi”.
Menebar mitos
Selain itu, para produsen susu formula global beroperasi dengan menebar mitos-mitos mengenai ASI. Misalnya, ada tampilan-tampilan tertentu pada ASI yang menandakan bahwa susu itu tidak banyak mengandung gizi.
Di Inggris, Australia, dan AS, produsen susu formula mengiklankan bahwa produk mereka mampu meningkatkan daya tahan bayi. Alasan yang disampaikan, yakni susu formula terbuat dari susu sapi atau susu nabati yang telah menjalani proses hidrolisasi atau pemecahan protein sehingga tidak menimbulkan sembelit ataupun diare. Sejatinya, belum ada penelitian mendalam mengenai klaim ini.
Akibatnya, ibu-ibu menjadi minder ataupun enggan menyusui bayi mereka. Padahal, ASI merupakan asupan terbaik bagi bayi untuk enam bulan pertama karena steril dan mengandung antibodi untuk melindungi bayi dari berbagai penyakit yang berisiko menyerang di masa kanak-kanak.
Ketakutan menyusui ini semakin meningkat selama pandemi Covid-19. Ibu-ibu mengkhawatirkan virus korona jenis baru bisa ditularkan melalui ASI. Menurut WHO, ketakutan masyarakat ini dimanfaatkan oleh produsen susu formula untuk semakin gencar mengiklankan produk mereka. Susu formula bagi bayi berumur enam bulan ke bawah idealnya diberikan atas anjuran dokter apabila ada masalah kesehatan pada ibu ataupun bayi dan membutuhkan suplemen.
Data WHO mencatat, baru 44 persen anak di negara-negara anggota PBB yang menerima ASI eksklusif sampai umur enam bulan. Komitmen global juga tidak menunjukkan antusiasme karena hanya menjanjikan kenaikan hingga 50 persen per tahun 2025.
Sejatinya, pada 1981, negara-negara anggota PBB telah menandatangani kesepakatan pengendalian promosi dan penjualan susu formula. Menurut Branca, setiap negara harus mengatur ulang pengawasan peredaran susu formula di wilayah masing-masing.
Beberapa produsen susu formula mengeluarkan tanggapan atas laporan WHO ini. Danone mengeluarkan pernyataan bahwa mereka tidak pernah mengiklankan susu formula mereka sebagai pengganti ASI. Menurut Danone, susu formula itu harus digunakan dengan arahan dari dokter ataupun ahli gizi anak.
Komentar serupa juga diutarakan oleh Kepala Bidang Makanan dan Industri Nestle Marie Chantal Messier. ”Kami sudah menghentikan semua iklan susu formula untuk bayi. Kami hanya mengiklankan susu formula untuk anak berusia 12 bulan ke atas. Itu pun sebagai nutrisi tambahan,” tuturnya kepada Bloomberg. (REUTERS/SAM)