Pengendalian tuberkulosis tidak bisa lagi dilakukan seperti biasa. Eliminasi bisa dicapai jika ada gerakan yang kuat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO
Hasil rongen salah seorang warga dalam kegiatan Active Case Finding TBC di kantor Kecamatan Larangan, Kota Tangerang, Banten, Kamis (5/1/2023).
Kasus tuberkulosis di Indonesia diestimasikan meningkat mencapai 1.060.000 kasus. Sebelumnya pada 2021, estimasi kasus tuberkulosis sebanyak 969.000 kasus. Peningkatan insidensi tuberkulosis ini 1,5 kali lipat lebih tinggi dibandingkan peningkatan yang terjadi secara global.
Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis menetapkan target eliminasi pada 2030. Dalam aturan itu telah diatur mengenai strategi apa saja yang harus dilakukan untuk mencapainya. Disebutkan pula bahwa penanganan tuberkulosis tidak hanya tugas dari sektor kesehatan, tetapi lintas sektor, baik di tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Namun, pengentasan tuberkulosis di Indonesia masih dihadapkan dengan tugas yang berat. Dari total estimasi kasus yang ada, baru 77 persen yang ditemukan. Sementara itu, dari total kasus yang ditemukan, baru 85 persen yang mendapatkan pengobatan. Tantangan lain yang dihadapi adalah tingginya angka putus obat. Kementerian Kesehatan mencatat, kasus putus obat mencapai 15 persen.
Padahal, kasus yang tidak mendapatkan pengobatan secara tuntas masih berisiko menularkan penyakit tuberkulosis. Hal itu pula yang terjadi pada kasus yang belum teridentifikasi. Kondisi ini menyebabkan upaya pemutusan rantai penularan tuberkulosis di Indonesia tidak kunjung tercapai.
Nana Rohmana (53), mantan pasien tuberkulosis resisten obat yang kini menjadi kelompok pendukung dari Peta TB-RO (Pejuang Tangguh Tuberkulosis-Resisten Obat), menuturkan, pengobatan tuberkulosis, terutama tuberkulosis resisten obat, tidak mudah. Pasien harus mengonsumsi obat setiap hari. Pada saat itu, Nana bahkan harus mengonsumsi obat sampai lima jenis obat untuk sekali minum.
Selama pengobatan, efek samping dari obat juga membuat pasien menjadi tidak nyaman. Efek itu mulai dari mual dan muntah, nyeri sendi, gatal-gatal, hingga perubahan warna kulit yang menjadi lebih gelap.
”Biaya selama pengobatan juga besar. Meskipun biaya obat ditanggung pemerintah, kita (pasien) tetap harus mengeluarkan ongkos untuk perjalanan ke fasilitas kesehatan. Dulu saya harus setiap hari ke rumah sakit. Sekarang sudah lebih baik karena pasien hanya perlu datang seminggu sekali,” kata Nana.
Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang seharusnya bisa disembuhkan. Pasien tuberkulosis bisa sembuh dengan mengonsumsi obat secara rutin sampai tuntas.
Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang seharusnya bisa disembuhkan. Pasien tuberkulosis bisa sembuh dengan mengonsumsi obat secara rutin sampai tuntas. Untuk pasien tuberkulosis sensitif obat (TB-SO), pengobatan membutuhkan waktu 6-12 bulan. Sementara tuberkulosis resisten obat (TB-RO) membutuhkan waktu 9-20 bulan.
Kaji ulang
Guru Besar bidang Ilmu Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Menaldi Rasmin dihubungi pada Jumat (17/5/2024) menuturkan, butuh revolusi yang menyeluruh dalam pengendalian tuberkulosis di Indonesia. Intervensi yang sudah dijalankan selama ini harus dikaji ulang, mulai dari intervensi pada upaya promotif, deteksi dini, kuratif, dan rehabilitatif.
”Indonesia sekarang ini menjadi negara nomor dua tertinggi dengan kasus tuberkulosis. Jika mau mencapai eliminasi tuberkulosis tidak bisa hanya melakukan intervensi business as usual. Modifikasi lokal bisa dilakukan berdasarkan panduan yang sudah ada dari WHO (Organisasi Kesehatan Dunia),” tuturnya.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Petugas Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon bersiap mengambil sampel darah warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II A Cirebon untuk pemeriksaan tuberkulosis dan HIV di Auditorium Adang Hamara Lapas Narkotika Cirebon, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Kamis (12/3/2020).
Dalam aspek promotif, pelibatan semua pihak harus diperkuat. Promosi dan edukasi tidak cukup dilakukan oleh pemerintah pusat, tetapi harus memastikan berjalan sampai ke pemerintah daerah. Akademisi dan masyarakat juga perlu dipastikan terlibat, termasuk pada tokoh agama, budayawan, dan tokoh masyarakat lainnya.
Sementara pada aspek deteksi dini, itu dilakukan dengan memastikan bahwa deteksi dini dilakukan secara tepat dan cepat. Pengobatan yang diberikan jangan lagi dilakukan berdasarkan pengobatan klinis, yakni pengobatan berdasarkan kecurigaan dari gejala. Hal ini membuat pengobatan tidak berbasis bukti. Selain membuat pengobatan tidak diberikan kepada pasien yang tepat, risiko resistensi obat pun menjadi tinggi.
Menaldi mengatakan, kajian intervensi dilakukan pula pada aspek terapi. Pasien tuberkulosis, khususnya pasien tuberkulosis resisten obat, dapat didorong kembali untuk menjalankan sanatorium tuberkulosis. Itu berarti, pasien dirawat di satu tempat sampai tuntas.
”Cara ini dapat memastikan pasien bisa mendapatkan pengobatan secara tuntas. Saat di sanatorium ini juga bisa sekaligus memberdayakan pasien agar tetap produktif. Dengan begitu, biaya-biaya lain seperti transportasi tidak perlu dikeluarkan, malah justru bisa mendapatkan tambahan dari hasil produktivitasnya di sanatorium,” tuturnya.
Praktik baik
Secara terpisah, Direktur Program Pascasarjana Universitas Yarsi yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Tjandra Yoga Aditama menyampaikan, praktik baik yang sudah dijalankan di negara lain dalam pengendalian tuberkulosis dapat dicontoh di Indonesia, misalnya penerapan klinik yang tetap buka di malam hari. Langkah ini dapat membantu pasien yang bekerja di siang hari untuk mengakses layanan kesehatan.
ABDULLAH FIKRI ASHRI
Sampel dahak warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II A Cirebon dalam pemeriksaan tuberkulosis di Auditorium Adang Hamara Lapas Narkotika Cirebon, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Kamis (12/3/2020).
Selain itu, ia mendorong pemerintah memastikan obat selalu tersedia di masyarakat. Ini termasuk obat-obatan untuk terapi pencegahan serta obat lepas TB yang digunakan pada kondisi khusus.
”Komitmen politik sangat menentukan, baik di pusat maupun daerah. Hanya saja, komitmen harus diikuti dengan pelaksanaan di lapangan dengan cara kesehatan masyarakat yang benar. Komitmen saja belum tentu berhasil,” tutur Tjandra.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Imran Pambudi menuturkan, pengendalian tuberkulosis untuk mencapai eliminasi pada 2030 akan dilakukan melalui penguatan setiap kepala daerah. Pengendalian tuberkulosis akan dimasukkan dalam standar pelayanan minimal (SPM) di daerah.
Upaya pengendalian akan difokuskan untuk menekan angka putus obat pada pasien tuberkulosis. Hal itu akan dilakukan di daerah prioritas di seluruh daerah di Jawa kecuali Yogyakarta, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, dan Sulawesi Selatan.
”Dengan menuntaskan tuberkulosis di daerah prioritas ini setidaknya sudah 70 persen bisa menangani kasus tuberkulosis di Indonesia. Kita juga mendorong penggunaan inovasi pengobatan yang kini bisa lebih singkat yang sebelumnya dari enam bulan menjadi empat bulan. Diharapkan angka putus obat bisa berkurang,” ujar Imran.
Ia mengatakan, uji coba penggunaan obat yang lebih singkat rencananya akan dimulai di 10 fasilitas pelayanan kesehatan. Itu, antara lain, RSUP Persahabatan, RSPI Sulianti Saroso, RSUP Dr Hasan Sadikin, RSUD Dr Soetomo, RSUP Dr Kariadi, RSUD Dr Saiful Anwar, RS Islam Jakarta Cempaka Putih, Puskesmas Duren Sawit Jakarta, dan Puskesmas Pulogadung Jakarta.