Sepak Bola dan Naluri Psikologis Manusia
Sepak bola adalah 'perang' yang menggantikan konflik mematikan di masa lalu dan mewadahi naluri psikologis manusia.
Laga sepak bola, baik antarkampung, klub, hingga negara, merupakan lanjutan dari ritual perang antarsuku manusia di masa lalu. Karena itu, memenangi pertandingan bukan hanya penting untuk pemain, tetapi juga bagi pendukungnya. Keberhasilan tim favorit bukan hanya meningkatkan kegembiraan dan kebahagiaan, tetapi juga harga diri sosial.
Sejak kemenangan tim nasional U-23 Indonesia melawan Korea Selatan dalam babak perempat final Piala Asia U-23 Qatar pekan lalu, kebanggaan dan kebahagiaan menyeruak di hati penggemar bola Tanah Air. Meski datang sebagai tim debutan dengan ranking dunia paling rendah dan usia rata-rata pemain termuda, ”Garuda Muda” mampu mengimbangi permainan raksasa-raksasa bola Asia.
Dukungan pun terus berlanjut ke pertandingan semifinal dengan Uzbekistan, Senin (29/4/2024). Acara nonton bareng alias nobar digelar makin luas di berbagai daerah dari Sumatera sampai Papua. Sokongan warga Indonesia yang tinggal di Qatar dan negara Timur Tengah lainnya tak kalah penting yang menjadikan tim Indonesia layaknya bermain di negeri sendiri.
Baca juga: Diaspora Indonesia Isi Hampir Seluruh Stadion Abdullah bin Khalifa
Situasi serupa pasti juga terjadi di hampir semua negara yang timnya mampu memenangi pertandingan sepak bola di tingkat internasional. Karena itu, wajar jika profesor psikologi evolusi dan psikologi organisasi di Universitas Vrije Amsterdam Belanda Mark van Vught di Psychology Today, 7 April 2023, menyebut, ”Sepak bola masa kini berakar pada peperangan antarsuku di masa lalu.”
Model awal dari pertandingan sepak bola ini ditemukan di China, Yunani, dan Romawi sebagai sarana latihan prajurit sebelum berperang. Sedang sepak bola modern yang kita kenal sekarang berasal dari sekolah berasrama di Inggris pada pertengahan abad ke-19 untuk melatih fisik dan mental remaja laki-laki guna melindungi kepentingan Inggris di luar negeri.
Pandangan van Vught tentang bola ini berasal dari penilaian sastrawan Inggris George Orwell (1903-1950) yang menyebut pertandingan sepak bola sebagai peperangan tanpa senjata. Bahkan, manajer sepak bola Belanda yang juga pencetus total football, Rinus Michels (1928-2005) dengan tegas menyebut sepak bola adalah perang.
Tak hanya bagi pemain, sepak bola juga menyatukan masyarakat yang mendukungnya. Di Indonesia, capaian timnas U-23 ini membuat masyarakat yang terpecah pascapemilu menjadi bersatu kembali. Apa pun pilihan partai politiknya, siapa pun calon presidennya, semua mengaku satu, pencinta sepak bola Indonesia.
Evolusi perilaku
Model dan aturan permainan sepak bola, lanjut van Vught yang merupakan penulis buku FC Sapiens (2022) bersama Kees Opmeer, dirancang dengan memanfaatkan naluri psikologis manusia yang berkembang untuk berperang dalam skala kecil. Naluri kesukuan itu disalurkan sedemikian rupa di lapangan sehingga menciptakan persaingan yang setara.
”Sepak bola menjadi pengganti yang baik untuk konflik yang mematikan,” tambahnya.
Tak hanya menjadi media baru untuk menyalurkan hasrat manusia berperang, sepak bola nyatanya mampu mewadahi naluri psikologis kesukuan dengan cara yang bisa diterima secara sosial. Berbagai evolusi perilaku manusia dalam kelompok terpampang jelas dalam sepak bola, baik di dalam maupun di luar lapangan.
Data situs pornografi Pornhub mengalami peningkatan akses dari negara-negara yang timnya menang dalam pertandingan.
Sepak bola menciptakan optimisme yang tidak realistis. Tim mana pun yang bertanding, tentu tidak ingin mengalami kekalahan. Namun, adat pertandingan, tentu akan ada yang menang dan kalah. Situasi itu pula yang dialami leluhur kita saat berperang. Apa pun kondisinya, mereka tentu yakin akan menang. Jika tidak optimistis menang, lantas mengapa harus berperang?
Keyakinan itu pula yang dirasakan suporter sepak bola. Dalam perempat final Piala Dunia Qatar 2022, tim Belanda dan Argentina beradu. Sebanyak 75 persen pendukung tim Belanda dan 80 persen penyokong Argentina yakin tim idola mereka akan menang. Nyatanya saat itu, Argentina akhirnya memenangi pertandingan melalui drama adu penalti.
Psikologi tim sepak bola yang bermain juga akan sangat dipengaruhi oleh kondisi dalam negeri negara yang bersangkutan. Negara peserta yang tengah dilanda konflik internal maupun eksternal di negara mereka tampil kurang mengesankan di Piala Dunia Qatar 2022.
Menurut van Vught, negara yang performa timnya tidak menggembirakan itu, antara lain Iran yang mengalami sejumlah kasus kekerasan setelah tewasnya Mahsa Amini, Serbia terkait masalah Kosovo, dan Brasil yang tengah menggelar pemilu. Kondisi serupa dialami Jerman, Denmark, dan Belanda yang sama-sama menghadapi masalah politik dalam negeri, khususnya pasca-serangan Rusia ke Ukraina.
Tak hanya psikologi pemain yang berkembang, psikologi penggemar mereka juga berevolusi cukup menarik. Psikolog klinis yang juga profesor di Universitas West Chester, Pennsylvania, Amerika Serikat Lynn Zubernis di Psychology Today 10 Feburari 2023 menyatakan menjadi suporter tim tertentu berarti menjadi bagian dari satu komunitas.
Baca juga: Komunitas dan Blusukan Sejarah Bola
Perasaan diterima ini penting karena setiap manusia punya kebutuhan agar bisa diterima. Dengan menjadi bagian dari satu komunitas, mereka bisa memuaskan kebutuhan akan rasa memiliki dan menemukan kelompok orang yang memiliki pola pikir atau minat sama sehingga muncul rasa kebersamaan.
Kesamaan identitas suporter sepak bola ini bisa meningkatkan harga diri sosial lebih tinggi. Penerimaan komunitas itu juga mampu menurunkan derajat kesepian dan keterasingan yang dialami seseorang. Pada manusia modern di sejumlah negara maju, kesepian dan keterasingan ini telah menjadi masalah serius yang menurunkan derajat kesehatan mereka, bahkan memicu kematian.
Tingkat kedalaman identifikasi seseorang dengan tim favoritnya ditentukan oleh seberapa kuat hubungan psikologis yang mereka dapatkan dengan timnya. Suporter yang memiliki tingkat identifikasi mendalam akan memiliki relasi psikologis yang kuat dan sikap yang lebih optimistis terhadap tim sepak bola idolanya.
Identifikasi suporter dengan tim sepak bola idolanya itu memunculkan fenomena yang dinamakan kemuliaan yang dipantulkan alias basking-in-reflected glory (BIRG), yaitu kepuasan seseorang atas kesuksesan yang dialami orang lain. Saat tim mereka menang, maka lonjakan hormonal yang mereka alami dan peningkatan emosi positif yang mereka dapat juga lebih tinggi dibandingkan dengan suporter yang identifikasinya dengan tim lebih rendah.
Sebaliknya saat tim mereka kalah, kesedihan yang mereka alami juga bisa sangat mendalam. Peningkatan emosi negatifnya pun bisa lebih besar, baik perasaan marah, terhina, hingga kebencian terhadap pendukung tim lain.
Baca juga: Emosi dan Kesehatan Mental
Karena itu, tambah Zubernis, suporter sepak bola cenderung mengasosiasikan diri mereka dengan tim-tim yang memiliki rekam jejak kemenangan lebih besar atau mempunyai performa tim baik. Sebaliknya, mereka akan cenderung menghindari tim yang kemungkinan kekalahannya besar dan fenomena ini disebut cutting-off-reflected failure (CORF).
Fenomena CORF inilah yang cenderung membuat pendukung yang timnya kalah akan menyebut timnya sebagai ”mereka”, bukan lagi ”kita” seperti saat sebelum pertandingan di mulai. Kondisi ini terlihat dari reaksi suporter Korea Selatan yang cenderung menyalahkan pemainnya atau pengurus Federasi Sepak Bola Korea (KFA) yang dianggap tidak berkinerja baik.
Lonjakan hormon
Selain soal penerimaan dan identitas sosial, pemain dan pendukung sama-sama menghadapi lonjakan hormonal yang sama ketika tim mereka menang atau kalah. Di masa lalu, menurut van Vught, baik yang berkelahi maupun menonton perkelahian, sama-sama terlibat dalam perkelahian tersebut dalam batas tertentu yang hasilnya memiliki konsekuensi kepada suku mereka.
”Kondisi itu menjelaskan bagaimana efek pemenang dan pecundang (dalam pertandingan) terhadap penggemar sepak bola,” katanya.
Gaya suporter Indonesia saat mendukung tim Indonesia yang bertanding melawan Irak di penyisihan Grup D Piala Asia 2023 di Stadion Ahmad bin Ali, Al Rayyan, Qatar, Senin (15/1/2024). Mereka adalah para diaspora Indonesia yang selama ini tinggal dan bekerja di Qatar.
Saat tim kesayangan mereka menang, maka suporter akan mengalami lonjakan hormon testosteron, yaitu hormon yang terkait maskulinitas dan meningkatkan gairah seksual. Kenaikan hormon inilah yang meningkatkan harga diri suporter, khususnya laki-laki.
Meningkatnya gairah seksual suporter akibat lonjakan hormon testosteron itu juga terlihat pada Piala Dunia Brasil 2014. Saat itu, data situs pornografi Pornhub mengalami peningkatan akses dari negara-negara yang timnya menang dalam pertandingan.
Sebaliknya saat timnya sedang bertanding atau kalah, maka hormon kortisol atau hormon stres lah yang naik. Makin dalam identifikasi mereka dengan tim, makin besar pula stres yang mereka tanggung. Situasi inilah yang dialami sebagian besar suporter Indonesia saat adu penalti Indonesia dan Korea Selatan berlangsung, apalagi saat tendangan Justin Hubner gagal yang kemudian diulang karena penjaga gawang Korea Selatan melakukan pelanggaran.
Meski demikian, sebagian besar suporter sepak bola adalah pendukung yang patuh pada norma sosial. Meski tim mereka kalah, mereka bisa meluapkan emosinya dengan cara-cara yang tidak merugikan atau melanggar hak orang lain. Hanya ada sebagian kecil penggemar disfungsional yang berperilaku agresif, kasar, hingga menghina pemain, wasit, hingga suporter tim lain.
”Studi menunjukkan suporter yang gemar menyerang verbal dan fisik penggemar lain itu bukan hanya karena identifikasi mereka yang terlalu dalam dengan timnya, tetapi umumnya juga memiliki masalah kepribadian,” tambah Zubernis. Suporter yang agresif itu cenderung memiliki kepribadian narsistik serta harga dirinya rendah. Agresivitas yang dilakukan sejatinya justru menunjukkan rapuhnya konsep diri mereka.
Di Indonesia, kekerasan antarsuporter sepak bola yang sering terjadi, menurut psikolog sosial di Departemen Psikologi Universitas Brawijaya Malang, Ali Mashuri, seperti dikutip Kompas, 12 Oktober 2022, sangat terkait dengan pandangan suporter terhadap tim kesayangan dan sepak bola.
Bagi sebagian suporter, sepak bola menjadi representasi terdekat atas identitas sosiokultural mereka. Menonton sepak bola adalah sarana melepas kepenatan hidup yang mereka hadapi. Mereka umumnya datang ke stadion dengan membawa identifikasi destruktif atau kontraproduktif. Jika mereka bertemu dengan suporter lain yang memiliki masalah sama, kehadiran mereka bisa menjadi kekuatan sosial masif dan berpotensi menghasilkan kekerasan.
Selain itu dalam kumpulan suporter yang besar, tambah Zubernis, sebagian suporter akan menunjukkan perilaku ”mencari status”, yaitu orang-orang yang tiba-tiba merasa berjasa besar bagi tim dan komunitas serta ingin lebih dihormati dan dihargai. ”Manusia memang makhluk sosial yang ingin menjadi bagian dari sebuah kelompok. Namun, saat bersamaan, mereka juga ingin menjadi lebih tinggi dalam jenjang sosial tertentu,” katanya.
Meski muncul berbagai perilaku dalam pertandingan sepak bola dan kelompok suporter mereka, sejatinya sebagian besar penggemar sepak bola hanya ingin bergembira dan bahagia bersama tim favorit mereka. Menonton bola tetap bisa dijadikan sarana menikmati waktu senggang, melepas beban hidup, atau sekadar berkumpul bersama keluarga, teman, dan anggota komunitas yang sama.
Baca juga: Menonton Pertandingan Olahraga Tingkatkan Kesehatan dan Mutu Hidup
Seusai menyaksikan pertandingan, mereka tentu akan merasa senang jika tim mereka menang. Inilah yang membuat pentingnya kehadiran negara dalam membina tim sepak bola mereka agar mampu bersaing di kancah global. Sepak bola terbukti tidak hanya mampu menyatukan masyarakat, tetapi juga membuat mereka lebih bahagia dan meningkat kesejahteraannya.
Kalaupun tim idola mereka kalah atau belum beruntung, itu adalah hal biasa karena roda kehidupan tidak selamanya berada di atas. Namun, perlu diingat bahwa harga diri manusia berasal dari banyak sumber, bukan hanya dari capaian tim sepak bola favorit kita saja. Karena itu, mari kita nikmati dan terus mendukung permainan Timnas Indonesia U-23 yang sudah meningkat pesat dibanding beberapa tahun terakhir dengan santai dan hati yang gembira.