Pemerintah Siapkan Insentif Impor Bahan Baku Industri dari Timur Tengah
Mengantisipasi gangguan di Timur Tengah, Kementerian Perindustrian menyiapkan insentif untuk impor bahan baku industri.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Perindustrian tengah menyiapkan insentif impor bahan baku industri domestik dari Timur Tengah. Kebijakan ini sebagai antisipasi risiko gangguan distribusi logistik dari Timur Tengah menyusul konflik Iran-Israel. Salah satu industri yang membutuhkan bahan baku dari kawasan ini adalah industri kimia hulu.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, pihaknya menyiapkan kebijakan insentif bagi industri dalam negeri yang bahan bakunya impor dari Timur Tengah. Sebab, kemungkinan pasokan bahan baku itu terganggu karena ketegangan geopolitik Israel melawan Iran.
”Relaksasi impor bahan baku tertentu juga dibutuhkan untuk kemudahan memperoleh bahan baku mengingat negara-negara lain juga berlomba mendapatkan supplier alternatif untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industrinya,” ujar Agus, Kamis (18/4/2024).
Relaksasi impor bahan baku tertentu juga dibutuhkan untuk kemudahan memperoleh bahan baku.
Ia menambahkan, Kementerian Perindustrian terus memantau situasi geopolitik dunia yang tengah bergejolak. Pemerintah perlu menganalisis dan menyiapkan kebijakan untuk memitigasi pengaruh terhadap sektor manufaktur di dalam negeri.
Kementerian Perindustrian juga akan segera melakukan koordinasi dengan para pelaku industri. ”Saat ini, Kemenperin telah memetakan permasalahan dan berupaya melakukan mitigasi solusi-solusi dalam rangka mengamankan sektor industri dari dampak konflik yang tengah terjadi,” ujar Agus.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas), Fajar Budiono, Jumat (19/4/2024), mengatakan, salah satu industri yang sangat bergantung pada pasokan bahan baku dari kawasan Timur Tengah ini adalah industri kimia hulu.
Bahan baku produksi industri kimia hulu adalah nafta, sejenis minyak yang bisa diolah sehingga menghasilkan produk industri hilirnya. Beberapa produk hilirnya antara lain plastik, kemasan, mainan anak, dan komponen otomotif.
Ia menjelaskan, industri ini membutuhkan nafta sekitar 3 juta ton. Saat ini, 100 persen kebutuhan nafta untuk industri kimia hulu domestik masih impor dari negara-negara kawasan Timur Tengah. Perusahaan minyak dalam negeri memproduksi nafta, tetapi bukan untuk memasok industri. Nafta dalam negeri dipakai untuk diolah menjadi bahan bakar minyak bersubsidi.
Saat ini, Fajar menjelaskan, industri kimia hulu dihadapkan berbagai tantangan. Depresiasi rupiah membuat harga bahan baku yang harus diimpor ini ikut terkerek naik. Ongkos produksi pun jadi lebih mahal.
Konflik Iran-Israel juga membuat pasokan bahan baku sulit diperoleh. Sebab, perdagangan dan pengiriman barang lewat perairan di sekitar Timur Tengah langsung terganggu.
Fajar memperkirakan, pengiriman nafta akan memakan waktu lebih lama. Kapal yang beroperasi juga menjadi lebih terbatas. Apalagi, para pengusaha berebut jasa pengiriman barang.
Situasi itu akan menyebaban kenaikan ongkos produksi. Pada Februari 2024, misalnya, saat terjadi ketegangan di Terusan Suez, pengiriman barang molor dua pekan dari jadwal. Biaya pengiriman pun meningkat 20-40 dollar AS per ton lebih mahal ketimbang saat kondisi normal.
Terkait rencana kebijakan insentif impor bahan baku industri dari Timur Tengah, Fajar menyambut baik. Namun, ia belum tahu skemanya. Hal yang pasti, saat ini bea masuk impor nafta sudah nol persen.
Ia mengusulkan, pemerintah bisa memberikan insentif keringanan bea masuk gas alam (liquid petroleum gas/LPG) yang bisa jadi alternatif bahan baku industri kimia hulu. Saat ini, tarif bea masuk LPG masih 5 persen.
Fajar menjelaskan, Amerika Serikat (AS) memasok LPG yang bisa diolah untuk jadi bahan baku industri petrokimia. Di Indonesia, semua pabrik masih menggunakan nafta sebagai bahan baku produksi. Namun, mesin pabrik di Indonesia bisa dimodifikasi sehingga bisa menampung hingga setidaknya 30 persen LPG untuk diolah menjadi bahan baku produksi petrokimia.
Dihubungi secara terpisah, analis Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani, mengatakan, konflik geopolitik dan ketidakstabilan ekonomi global berdampak pada terganggunnya rantai pasok ekonomi. Ini bisa mengakibatkan kenaikan harga komoditas impor, termasuk bahan baku, minyak, ataupun ongkos logistik.
Hal ini akan memicu kenaikan harga pokok penjualan (HPP) sehingga akan mendongkrak inflasi. Sepanjang 2023, inflasi di Indonesia sebesar 2,6 persen, sesuai dengan kerangka ekonomi makro yang disusun.
Inflasi sepanjang 2024 diproyeksikan 1,5-3,5 persen. Kondisi kenaikan harga komoditas impor akan memberikan sentimen negatif dalam inflasi. ”Menjaga psikologi pasar seperti ini sangat dibutuhkan untuk menjaga stabilitas ekonomi,” ujar Ajib.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasjid mengatakan, dunia usaha terus beradaptasi dengan adanya berbagai tantangan eksternal, terutama pada sektor dan industri yang paling terdampak peningkatan biaya bahan baku impor, melalui beberapa langkah antisipatif.
Dalam jangka pendek, yang dapat dilakukan antara lain melakukan kalkulasi dalam mengurangi beban usaha dengan efisiensi, menunda ekspansi atau investasi, melakukan lindung nilai mata uang yang meminimalkan risiko fluktuasi nilai tukar, serta mencari alternatif sumber bahan baku lainnya untuk mengurangi ketergantungan.
”Dalam jangka panjang, langkah antisipatif juga dilakukan dunia usaha dengan mendorong pemerintah untuk memberikan berbagai insentif untuk mengantisipasi kenaikan biaya, termasuk relaksasi ataupun fasilitasi impor bahan baku yang dibutuhkan,” ujar Arsjad.