Daya Beli Melemah, Indeks Keyakinan Industri Melambat
Perlambatan kinerja industri manufaktur mulai terlihat. Inovasi dan strategi diperlukan untuk mendorong pertumbuhan.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indeks Keyakinan Industri atau IKI pada Oktober 2023 ada di level 50,70, atau melambat 1,81 poin dibandingkan dengan September 2023. Perlambatan ini dipicu melemahnya daya beli masyarakat, termasuk pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Penurunan daya beli menyebabkan pelaku industri mengerem produksi.
Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Febri Hendri Antoni Arif, Selasa (31/10/2023), menyampaikan, terdapat 16 subsektor yang mengalami penurunan nilai IKI. Penurunan terbesar ialah subsektor mesin dan perlengkapan, pengolahan tembakau, serta komputer, barang elektronik, dan optik. Mayoritas subsektor menyebut masih banyak persediaan produk, sedangkan yang lain menyampaikan tingginya biaya produksi, ketersediaan bahan baku, dan faktor musiman.
Febri mengemukakan, penurunan nilai IKI dipicu penurunan daya beli dalam dan luar negeri, serta melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Selain itu, banjirnya produk impor, peredaran barang ilegal, dan kenaikan harga energi pada Oktober 2023.
”Aparat penegak hukum dan kementerian/lembaga terkait belum bisa meredam banjirnya barang-barang impor dan barang ilegal yang menggerogoti pasar produsen domestik,” ujar Febri, dalam keterangan pers.
Adapun faktor pembentuk IKI bulan Oktober 2023 yang mengalami penurunan ekspansi ialah variabel pesanan baru dan produksi. Alasan yang diungkapkan dari beberapa responden pelaku usaha antara lain penurunan pesanan serta daya saing harga di pasar domestik.
Ia menjelaskan, tren perlambatan pertumbuhan global, khususnya pada negara mitra dagang utama Indonesia, seperti China dan Eropa, menyebabkan permintaan atas produk manufaktur Indonesia menurun drastis. Di pasar domestik, penurunan daya beli disebabkan kenaikan harga energi, khususnya bahan bakar minyak, serta kenaikan suku bunga acuan.
Di dalam negeri, penurunan daya beli masyarakat ditandai dengan turunnya Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) sejak bulan September 2023, khususnya untuk kelompok penghasilan di bawah Rp 3 juta per bulan. Kenaikan harga bahan pokok menyebabkan masyarakat lebih berhati-hati dalam konsumsi.
”Suku bunga acuan yang naik membuat masyarakat cenderung lebih berhati-hati khususnya dalam mengambil pinjaman. Hal ini mengurangi pengeluaran masyarakat untuk berbagai keperluan,” kata Febri.
Sementara itu, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menyebabkan biaya produk dengan bahan baku impor semakin tinggi sehingga berdampak pada kenaikan biaya produksi. Selama bulan September 2023, impor bahan baku/penolong menurun 4,86 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya, serta impor barang modal turun 12,27 persen.
Di sisi lain, pelemahan rupiah dinilai juga dapat menjadi peluang bagi produsen yang menggunakan bahan baku lokal untuk dapat bersaing dengan produsen pengguna bahan baku impor. Sebagian besar pelaku usaha dinilai masih optimistis terhadap kondisi usaha selama 6 bulan ke depan, dengan tingkat optimisme mencapai 61 persen.
Kepala Ekonom Bank Permata Joshua Pardede, secara terpisah, mengemukakan, meningkatnya ketegangan geopolitik turut berdampak pada harga energi. Harga minyak mentah global terus meningkat dibandingkan dengan komoditas batubara dan minyak kelapa sawit. Hal ini memicu kekhawatiran industri yang sangat membutuhkan komponen energi, serta menurunkan kinerja industri.
Industri manufaktur memiliki kontribusi besar terhadap keseluruhan ekonomi, yakni 18-19 persen. Pemerintah dinilai perlu terus menjaga keberlanjutan sektor industri manufaktur dengan tidak melakukan penyesuaian tarif, seperti listrik dan gas industri, dengan tujuan tidak memengaruhi kinerja ekonomi keseluruhan.
Ia menambahkan, ketidakpastian ekonomi dan geopolitik global perlu disikapi dengan mengoptimalkan kinerja ekspor. Dari sisi industri manufaktur, seperti makanan minuman, petrokimia, otomotif, atau pengolahan mineral dasar menjadi peluang. Hilirisasi bahan mentah mendorong kebangkitan industri manufaktur domestik, serta meningkatkan nilai tambah ekspor.
Industri manufaktur yang memiliki potensi besar perekonomian menjadi penggerak Indonesia untuk melangkah menjadi negara maju. Sejak krisis ekonomi tahun 1998, pertumbuhan industri manufaktur melambat dan rata-rata di bawah pertumbuhan ekonomi nasional.
”Diperlukan inovasi dan strategi bisnis sehingga industri pengolahan atau manufaktur tetap menjadi andalan untuk pertumbuhan ekonomi dan nilai tambah ekspor,” katanya.