Beban Ganda Industrialisasi di RI
Masalah struktural memperburuk gejala deindustrialisasi dini. Indonesia butuh industri manufaktur yang tangguh.
Pekerja berada di antara konstruksi baja pada proyek pembangunan sebuah pabrik manufaktur di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Senin (24/10/2022). Sepanjang kawasan pesisir utara jawa di Jawa Tengah ini tumbuh menjadi kawasan industri seiring dengan kemudahan akses bagi investor.
JAKARTA, KOMPAS – Indonesia butuh industri manufaktur yang tangguh untuk naik kelas menjadi negara maju. Namun, tantangan untuk menghidupkan sektor pengolahan semakin berat di tengah gejala deindustrialisasi dini dan ketidakpastian ekonomi dunia yang menjadi-jadi. Pelaku industri dan pemerintah harus sama-sama memutar otak untuk menjaga momentum pertumbuhan.
Gejala deindustrialisasi dini, yang salah satunya bisa dilihat lewat menurunnya kontribusi industri manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional, mulai terlihat sejak tahun 2002 dan semakin signifikan sejak 2009.
Sebagai perbandingan, pada 2008, porsi industri pengolahan non-migas terhadap PDB nasional masih 27,8 persen. Sejak 2010, kontribusinya turun ke 22 persen, dan selama lima tahun terakhir selalu bertengger di bawah 20 persen. Terakhir, pada triwulan II tahun 2023, industri manufaktur hanya mampu menyumbangkan 18,25 persen dari total perekonomian nasional.
Baca juga: Menahan Deindustrialisasi Dini
Di luar persoalan struktural yang terjadi di pekarangan rumah sendiri, perekonomian dunia juga semakin tak pasti. Akhir-akhir ini, akibat berbagai faktor global, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS melemah hingga nyaris menyentuh Rp 16.000 per dollar AS, berdampak pada kenaikan beban biaya produksi bagi industri. Melemahnya ekonomi sejumlah negara maju juga membuat lesu ekspor manufaktur.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani, di tengah iklim perekonomian global dan domestik yang sama-sama tidak kondusif itu, tidak heran bila ekspansi industri manufaktur nasional cenderung berjalan di tempat.
Meskipun kinerja sektor pengolahan masih di zona ekspansif seperti ditunjukkan data Indeks Kepercayaan Industri (IKI) dan Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia, pengembangannya sangat terbatas. “Masih ada ekspansi dunia usaha, tetapi ekspansinya lebih moderat, tidak eksponensial (konsisten tumbuh semakin tinggi),” kata Shinta, Kamis (26/10/2023).
Dari dalam negeri, problem inefisiensi iklim usaha yang tak kunjung diatasi membuat kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB terus menurun. Investasi di sektor manufaktur menurun akibat iklim investasi yang kurang bersahabat, sehingga memperburuk gejala deindustrialisasi dini.
Dampak pelemahan rupiah dan kenaikan suku bunga pinjaman perbankan mulai berdampak pada naiknya biaya produksi.
Inefisiensi itu, menurut Shinta, bisa terlihat dari berbagai komponen beban pokok usaha di Indonesia yang tergolong tinggi, mulai dari beban biaya energi, logistik, tenaga kerja, rantai pasokan, dan pembiayaan.
“Indonesia semakin tidak efisien dibandingkan negara lain yang setara. Ini harus dibenahi secara struktural, tidak bisa melulu bergantung pada Undang-Undang Cipta Kerja yang hanya memudahkan izin investasi, tetapi belum menyentuh isu peningkatan efisiensi beban usaha,” ujarnya.
Akibat iklim usaha yang tidak efisien, berbagai upaya mendorong industrialisasi pun tidak berjalan efektif. Shinta menyoroti kebijakan hilirisasi yang tidak diiringi mekanisme dan logika ekonomi yang mendukung kelangsungan usaha. Hilirisasi lebih banyak bergantung pada aturan restriktif seperti larangan ekspor mentah, ketimbang lewat perbaikan efisiensi dan daya saing iklim investasi.
“Akhirnya, efek multiplier hilirisasi ke pertumbuhan industri manufaktur nasional secara masif juga terbatas, karena logika ekonominya masih rapuh,” katanya.
Biaya produksi naik
Di luar problem struktural itu, ekonomi global yang semakin tidak pasti juga menambah beban industri manufaktur. Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri mengatakan, dampak pelemahan rupiah dan kenaikan suku bunga pinjaman perbankan mulai berdampak pada naiknya biaya produksi. Terutama, untuk industri yang mengimpor bahan baku tetapi menjual produknya di pasar domestik.
Baca juga: Suku Bunga Naik, Manufaktur Waswas
Dampaknya, ada pelaku industri yang memangkas margin keuntungannya untuk menanggung selisih kenaikan ongkos produksi itu. Ada juga yang akhirnya menaikkan harga produk jadi di pasaran.
“Untuk industri yang mengimpor bahan baku tapi mengekspor produknya, kami masih optimistis. Begitu juga industri yang bahan baku dan pasarnya di dalam negeri. Yang sulit itu kalau mengimpor bahan baku tapi pasarnya domestik. Masalahnya, ini jumlahnya banyak, mayoritas industri kita seperti ini,” kata Febri.
Perkiraan Apindo, jika suatu perusahaan manufaktur mengimpor bahan baku senilai 100.000 dollar AS per bulan, penguatan dollar AS akan menaikkan beban konversi mata uang dan menambah biaya impor bulanan hingga lebih dari Rp 1 miliar dibandingkan tahun lalu. Itu belum menghitung faktor lain seperti kenaikan biaya logistik dan harga komoditas global.
Saat ini, banyak perusahaan yang meminimalisasi frekuensi konversi mata uang untuk menekan beban transaksi, terutama yang tidak berorientasi ekspor. Sementara, eksportir atau industri yang arus kasnya melimpah melakukan hedgingmata uang, alias menukarkan uangnya dalam jumlah besar untuk kebutuhan jangka pendek-menengah ketika rupiah sedang sedikit menguat.
Bukan manufaktur yang melambat, tetapi sektor lain yang tumbuh lebih cepat.
“Namun, ini pun tidak banyak dilakukan karena berisiko tinggi terhadap kelancaran cash flow.Tidak banyak yang bisa dilakukan karena kita juga tidak tahu sampai kapan pelemahan ini akan terjadi,” ujar Shinta.
Wakil Ketua Umum Bidang Perindustrian Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bobby Gafur Umar menilai, beban biaya produksi yang dihadapi industri manufaktur memang bertambah akibat penguatan dollar dan volatilitas pasar keuangan. Namun, selama daya beli masyarakat dan pasar domestik terjaga, imbas gejolak ekonomi global itu diyakini bisa dimitigasi.
“Sekarang ini yang masih bisa kita andalkan itu pasar domestik, karena ekspornya sedang lemah, jadi ini yang harus dipelihara. Caranya bisa lewat menjaga daya beli masyarakat, meningkatkan belanja APBN dan APBD, dan melindungi pasar kita dari serbuan barang impor,” kata Bobby.
Mengamankan pasar
Pemerintah sedang menyiapkan sejumlah instrumen untuk mendukung industri manufaktur. Pertama, menerapkan larangan dan pembatasan impor barang jadi terhadap kelompok barang dan sektor tertentu, seperti elektronika, makanan-minuman, dan besi baja.
Baca juga: Deindustrialisasi Dini Tak Cukup Diatasi dengan Hilirisasi
Aturan baru itu ditargetkan selesai akhir Oktober 2023. “Sektornya sedang dihimpun, tetapi intinya ini ditujukan untuk sektor yang bahan bakunya diimpor tapi penjualan produknya di dalam negeri. Kami harap bisa mengamankan pasar domestik dan produk kita bisa bersaing di pasar sendiri,” kata Febri.
Kedua, mempercepat penyerapan belanja pemerintah atas produk manufaktur dalam negeri. Per 23 Oktober 2023, rata-rata realisasi belanja produk nasional oleh pemerintah dan BUMN mencapai 66,78 persen dari target Rp 1.157,47 triliun. Penyerapan produk manufaktur lewat belanja negara itu juga diharapkan bisa meningkatkan permintaan domestik.
Di tengah kondisi yang penuh ketidakpastian, tingkat kepercayaan industri diperkirakan bisa turun pada Oktober 2023, meski masih di zona ekspansif (di atas level 50). Kemenperin rencananya akan merilis IKI terbaru pada Selasa (31/10/2023). Sebelumnya, IKI September 2023 masih menunjukkan ekspansi di level 52,51, meski melambat 0,71 poin dibandingkan IKI Agustus 2023.
Kemenperin menolak anggapan Indonesia mengalami gejala deindustrialisasi dini. Menurut Febri, industri pengolahan tetap tumbuh positif dari tahun ke tahun. Data IKI dan PMI Manufaktur juga masih di zona ekspansif, ketika negara lain terkontraksi. Tenaga kerja pun masih banyak yang terserap di sektor manufaktur.
“Bukan manufaktur yang melambat, tetapi sektor lain yang tumbuh lebih cepat. Lagi pula, pertumbuhan sektor lain seperti jasa dan logistik itu juga tidak bisa dipisahkan dari pertumbuhan manufaktur. Semua masih dalam satu rantai pasok,” kata Febri.