Pemerintah menaikkan royalti batubara secara progresif atau menyesuaikan dengan harga jual batubara. Penerimaan negara dan keekonomian perusahaan dipertimbangkan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengatur penerimaan negara bukan pajak produksi batubara progresif untuk pemegang izin usaha pertambangan khusus sebagai kelanjutan dari Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara atau PKP2B. Lewat regulasi itu, tarif royalti batubara mengikuti harga batubara acuan. Penerimaan negara pun akan lebih optimal.
Ketentuan itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2022 tentang Perpajakan dan PNBP di Bidang Usaha Pertambangan Batubara yang diundangkan pada 11 April 2022. Dalam kewajiban penerimaan negara bukan pajak (PNBP) produksi bagi pemegang izin usaha pertambangan khusus (IUPK) sebagai kelanjutan PKP2B, tarifnya terbagi dalam lima jenjang. Sebelumnya, tarif royalti ditetapkan 13,5 persen.
Pada IUPK dari PKP2B generasi 1, tarif PNBP produksi 14-28 persen sesuai harga batubara acuan (HBA). Sementara IUPK dari PKP2B generasi 1+, tarif 20-27 persen sesuai HBA. Namun, untuk penjualan tertentu, seperti pemenuhan kebutuhan dalam negeri (DMO), baik generasi 1 maupun 1+, tarif dikunci 14 persen.
Sebagai contoh, apabila HBA lebih kecil dari 70 dollar AS per ton, tarif PNBP produksi bagi IUPK dari PKP2B generasi 1 ialah 14 persen, sedangkan saat HBA lebih besar atau sama dengan 100 dollar AS per ton, tarifnya 28 persen. Namun, berapa pun harga HBA, baik generasi 1 maupun 1+, tarif untuk penjualan tertentu, seperti DMO, yakni 14 persen.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Ridwan Djamaluddin dalam telekonferensi pers, Senin (18/4/2022), mengatakan, pengaturan itu dilakukan agar pemanfaatan batubara memberi manfaat maksimal, baik bagi negara, badan usaha, maupun publik secara keseluruhan.
”Semangatnya adalah negara mendapat sebesar-besarnya hak negara dan badan usaha tidak dirugikan,” kata Ridwan.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara pada Ditjen Mineral dan Batubara Lana Saria menambahkan, PP itu disusun sejak 2018. Hasil akhirnya merupakan penyesuaian dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja, dan UU No 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Apabila HBA lebih kecil dari 70 dollar AS per ton, tarif PNBP produksi bagi IUPK dari PKP2B generasi 1 ialah 14 persen, sedangkan saat HBA lebih besar atau sama dengan 100 dollar AS per ton, tarifnya 28 persen.
Menurut Lana, tarif berjenjang tersebut bertujuan menjaga stabilitas keekonomian kegiatan pertambangan. Dengan demikian, saat harga batubara sedang tinggi, negara dapat meningkatkan penerimaan. Namun, saat harga batubara rendah, pelaku usaha tidak terbebani tarif PNBP yang tinggi.
Berdampak positif
Presiden Direktur PT Adaro Energy Indonesia Tbk Garibaldi Tohir dalam silaturahmi virtual dengan media, Senin, menuturkan, PP itu bukan hal baru karena prosesnya telah berjalan beberapa tahun. Pihaknya pun dilibatkan dan mengikuti perkembangannya. Bagaimanapun, ujarnya, batubara dan sawit menjadi penopang utama ekspor Indonesia.
Ia mengakui, dampak kebijakan itu terhadap Adaro tetap akan ada. Namun, di sisi lain, pihaknya bersyukur karena mendapat berkah dari meningkatnya permintaan dan harga batubara, yang meningkatkan laba perusahaan pada 2021. Harga batubara ke depan, menurut dia, tak bisa ditebak, tetapi ia yakin batubara tetap memiliki prospek baik karena masih merupakan sumber energi paling efisien.
Catatan Trading Economics, harga batubara dunia merangkak mulai akhir 2020. Dari 62,053 dollar AS per ton pada 5 November 2020 lalu mencapai 269,69 dollar AS per ton pada 5 Oktober 2021. Situasi geopolitik dunia menyebabkan harga menyentuh 422,67 dollar AS per ton pada 7 Maret 2022. Sementara per 14 April 2022 yakni 313,90 dollar AS per ton.
Pakar hukum pertambangan dari Universitas Tarumanagara, Ahmad Redi, menilai, penerapan PP No 15/2022 sebagai hal positif. Menurut dia, lantaran bukan merupakan sumber daya yang tidak dapat diperbarui, negara harus dapat memanfaatkan ekonomi yang tinggi dari batubara. Selama ini, royalti 13,5 persen terbilang rendah.
”Saya pikir ini berkeadilan dan cukup fair bagi perusahaan pertambangan karena ada patokannya, sesuai harga batubara acuan. Batubara bisa menambah penerimaan negara yang cukup besar. Lalu, nanti ada pajak karbon. Jadi, komoditas ini dikuras betul manfaat ekonominya. Negara harus memanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat,” ujarnya.
Pada 2021, realisasi PNBP sektor mineral dan batubara sebesar Rp 75,5 triliun. Tahun ini, pemerintah menargetkan PNBP di sektor tersebut sebesar Rp 28 triliun.