Jam menunjuk pukul 07.00 tetapi belum juga ada pengumuman berangkat. Pikiran saya mulai kacau. ”Jangan-jangan pesawat ditunda atau batal berangkat. Kalau sampa ditunda dan tiba di sana GMT sudah lewat, sia-sia sudah.”
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·6 menit baca
Kepastian tugas peliputan gerhana matahari total (GMT) di Pulau Kisar saya terima pada Senin (10/4/2023) atau sepuluh hari menjelang datangnya momen tersebut. Saya pun merasa bersyukur karena itu artinya saya mendapat kesempatan kedua menyaksikan GMT setelah sebelumnya meliput momen serupa di Kota Ternate, Maluku Utara, tahun 2016.
Namun, tantangan pertama langsung muncul, yakni bagaimana cara mencapai Kisar dari kota asal saya, Kupang, Nusa Tenggara Timur. Kisar, pulau kecil dengan luas 81,8 kilometer persegi, masuk wilayah Kabupaten Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku. Letaknya di dekat garis batas negara yang memisahkan Indonesia dengan negara Timor Leste.
Untuk mencapai Kisar dari Kupang, bisa menggunakan kapal laut atau pesawat udara. Dengan kapal laut, butuh waktu paling cepat 48 jam pelayaran sebab kapal akan singgah di beberapa pelabuhan di sejumlah pulau. Begitulah alur pelayaran perintis. Tak ada pelayaran komersial di jalur itu.
Saya langsung mengecek jadwal kapal. Kebetulan ada empat kapal perintis yang melayani rute Kupang-Kisar. Kapal pertama sudah berangkat tiga hari sebelumnya dan baru akan kembali paling cepat 14 hari kemudian. Jelas tidak terkejar.
Kapal kedua berangkat tanggal 12 April. Jika naik kapal itu, artinya saya akan tiba di Kisar enam hari sebelum momen GMT. Ini terlalu cepat. Banyak waktu terbuang. Idealnya, saya tiba dua hari sebelum momen itu.
Kapal ketiga saat itu dijadwalkan berangkat tanggal 17 April dan tiba tanggal 19 April malam. Ini ideal tetapi terlalu berisiko jika terjadi cuaca buruk karena dapat berakibat penundaan pelayaran. Saya coba cek di situs BKMG, ada potensi terjadi gelombang tinggi di sana.
Tinggal satu kapal yang tersisa. Suara kapten kapal di seberang telepon menginformasikan bahwa kapal keempat akan berangkat tanggal 18 April malam dan tiba tanggal 20 April malam. Wah, ketinggalan momen.
Saya pun ganti mengecek alternatif jalur udara. Rute Kupang-Kisar dilayani penerbangan perintis dengan pesawat kecil berpenumpang maksimal 10 orang. Frekuensi penerbangan sekali dalam seminggu.
Sesuai jadwal, penerbangan terdekat pada 20 April pukul 7 Wita dan diperkirakan tiba di Kisar pukul 10 WIT. Mepet. Tapi apa boleh buat. Itu satu-satunya pilihan yang tersisa.
Sayangnya, tiket pesawat perintis yang tidak dijual di aplikasi penjualan tiket daring ini, membuat saya kesulitan mendapat kepastian. Kondisi ini sering kali dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk meraup untung. Saya pun mencoba bermanuver.
Saya menghubungi beberapa ”jalur” sekaligus. Karena merupakan penerbangan perintis yang disubsidi pemerintah, tiket pesawat ini selalu habis dipesan paling lambat satu bulan sebelumnya. Sudah begitu, tidak jarang, pemesan harus merelakan kursinya digunakan oleh pejabat daerah yang tiba-tiba hendak terbang.
Kurang dari 10 menit, dua ”jalur” yang saya mintai tolong mengonfirmasi masih ada kursi kosong. Saya diminta mengirim foto kartu tanda penduduk. Tak lama, saya terhubung dengan maskapai penerbangan yang meminta saya segera melakukan pembayaran paling lambat satu jam.
Pembayaran selesai, saya menerima tiket penerbangan. Tertulis, penerbangan dari Bandar Udara Eltari Kupang ke Bandar Udara John Becker Kisar. Berangkat pukul 07.00 Wita dan tiba pukul 10.00 WIT. Estimasi waktu penerbangan sekitar dua jam.
Sebelum berangkat, saya menyusun rencana liputan selama di Kisar. Perjalanan yang dimulai hanya beberapa jam sebelum peristiwa GMT, rasanya akan menjadi cerita menarik. Saya pun menghayal, seandainya saja ada orang asing yang ikut dalam penerbangan demi mengejar momen gerhana tersebut, pasti akan membuat cerita lebih menarik.
Kamis (20/4/2022) sekitar pukul 06.00 Wita, saya sudah tiba di Bandara Eltari, Kupang. Setelah check in, saya langsung menuju ruang tunggu di dekat pintu keberangkatan. Di sana, saya mencari-cari penumpang yang akan satu penerbangan tapi tidak bertemu. Beberapa penumpang yang saya ajak ngobrol ternyata akan terbang dengan pesawat lain.
Jam menunjuk pukul 07.00, tetapi belum juga ada pengumuman keberangkatan. Pikiran saya mulai kacau. ”Jangan-jangan pesawat ditunda atau batal berangkat. Kalau sampa ditunda dan tiba di sana GMT sudah lewat, sia-sialah sudah,” kata saya dalam hati.
Saya putuskan bertanya kepada beberapa petugas di pintu keberangkatan. Mereka meyakinkan pesawat akan terbang sebentar lagi. Akhirnya, tepat pukul 07.10, kami dipersilakan naik pesawat. Lega.
Dari 10 penumpang termasuk saya, ada satu yang mencolok. Tampaknya warga negara asing. Saya ajak dia mengobrol. Ia pun memperkenalkan diri. Namanya Jeremy Beck (37) dari Perancis. Lalu apa tujuan dia ke Kisar? ”Melihat gerhana matahari,” jawabnya sambil menunjukkan perlengkapan memotret yang dibawanya.
Perjalanan Jeremy kali ini untuk mengejar mimpinya yang berulang kali gagal. Sejak kecil, pencinta ilmu astronomi yang kini berprofesi sebagai pilot itu ingin sekali melihat gerhana matahari total yang pada dua kesempatan sebelumnya selalu buyar ditelan awan.
Pertama, pada tahun 1999, saat beberapa negara Eropa dilewati gerhana matahari total. Jeremy yang masih berusia 13 tahun turut menjadi saksi momen itu tetapi tidak dapat melihat dengan sempurna lantaran gerhana terhalang awan. Jeremy pun penasaran.
Tepat 17 tahun kemudian, yakni 2016, Jeremy mendapat kabar, gerhana matahari total akan melewati beberapa kota di Indonesia. Salah satunya Palembang, Sumatera Selatan. Ia memutuskan terbang ke ”Kota Pempek” untuk menyaksikan momen itu.
Ia berharap dapat melihat gerhana matahari total dengan sempurna. Sayangnya, di Palembang, gerhana terhalang awan. Lagi-lagi, Jeremy gagal melihat tampilan sempurna gerhana matahari total. ”Saya tidak puas karena melewati dua kesempatan itu,” ujarnya.
Cerita Jeremy itu membuat pikiran saya sejenak bak melayang ke awan. Hayalan saya untuk mendapatkan cerita semacam itu terwujud menjadi kenyataan. Ini bukan lagi mimpi. Saya merasa sangat beruntung memperoleh fakta itu. Fakta yang diberikan Tuhan dan ”eksklusif” untuk saya.
Pesawat terbang 1 jam 50 menit sebelum mendarat dengan sempurna di Kisar. Namun, kami baru keluar dari areal bandara sekitar pukul 10.50 WIT atau kurang satu jam dari waktu dimulainya gerhana pada pukul 11.47 WIT. Saya langsung menuju Lapangan Maka Wonrel. Di sana ribuan orang telah berkumpul untuk menyaksikan gerhana.
Akhirnya fase GMT pun tiba, yakni pada pukul 13.22 WIT. Tak ada awan yang menghalangi. Sempurna. Saya lalu menanyakan kesan Jeremy. Ia terharu. Mimpinya melihat GMT terwujud di Kisar. Kisah tentang Jeremy ini kemudian saya angkat dalam tulisan feature yang terbit di Kompas edisi Senin (24/4/2023).
Momen ini terasa spesial bagi saya karena bisa mendapatkan cerita menarik dari seseorang yang punya obsesi menyaksikan GMT. Rasanya, seperti sebuah hayalan yang berubah jadi nyata.
Selain itu, tentu saja, kesempatan ini juga istimewa karena untuk kedua kalinya saya beroleh kesempatan meliput GMT dan menyaksikan fase gerhana matahari total dengan sempurna, tanpa terhalang awan.