Penyebaran Berita Hoaks Meningkat Selama Pemilu 2024
Tanpa literasi digital yang baik, penyebaran berita ataupun informasi hoaks akan terus meningkat di masyarakat.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·5 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS - Volume penyebaran berita ataupun informasi hoaks meningkat drastis selama masa Pemilihan Umum 2024. Bahkan, jumlahnya meningkat pesat dalam lima tahun terakhir, terutama dibandingkan pemilu sebelumnya pada 2019. Fenomena itu tidak terlepas dari perkembangan teknologi informasi di sejumlah layanan digital. Agar tidak lebih masif di masa mendatang, butuh kolaborasi dari segenap pihak untuk meningatkan literasi digital masyarakat, antara lain dimulai dari bangku sekolah.
Demikian mengemuka dalam diskusi bertema ”Temuan dan Tantangan Menghadapi Manipulasi Informasi pada Pemilu 2024” pada pembukaan ”Indonesia Fact Checking Summit 2024” di Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (2/5/2024). Acara itu menjadi bagian dari rangkaian Kongres XII Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Palembang selama 3-5 Mei 2024.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Ketua Presidium Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho mengatakan, dari data yang dikumpulkan Mafindo, penyebaran berita hoaks terus meningkat selama 2018-2023. Penyebaran berita hoaks erat kaitannya dengan isu politik. Maka itu, persentase berita hoaks terkait politik meningkat saat memasuki tahun politik, seperti pemilu.
Setidaknya, Mafindo menemukan 997 berita hoaks dengan 48,9 persen terkait politik pada 2018. Memasuki 2019, berita hoaks yang ditemukan meningkat menjadi 1.221 berita dengan 52,7 persen terkait politik. Pada 2020, berita hoaks yang ditemukan kembali meningkat menjadi 2.298 berita, tetapi terkait politik turun menjadi 30,5 persen.
Berita hoaks yang ditemukan menurun menjadi 1.888 berita dengan 22,7 persen terkait politik pada 2021 dan 1.698 berita dengan 32,3 persen terkait politik pada 2022. Namun, pada 2023, temuan itu kembali meningkat menjadi 2.330 berita hoaks dengan 55,5 persen terkait politik pada 2023.
"Secara volume, jumlah berita hoaks pada 2024 memang lebih besar dibandingkan pada 2019. Tetapi, secara dampak, berita hoaks pada 2019 telah memperparah polarisasi (pembelahan) di masyarakat. Terlepas dari itu, fenomena berita hoaks berdampak buruk terhadap masyarakat," ucap Septiaji.
Secara volume, jumlah berita hoaks pada 2024 memang lebih besar dibandingkan pada 2019. Tetapi, secara dampak, berita hoaks pada 2019 telah memperparah polarisasi (pembelahan) di masyarakat.
Tantangan lebih besar
Bentuk layanan penyebaran berita hoaks pun mengalami pergeseran. Paling tidak, pada 2023, berita hoaks lebih banyak disebarkan melalui Youtube (44,6 persen) dan Facebook (34,4 persen). Sisanya, lewat Tiktok (9,3 peren), Twitter/X (8,0 persen), Whatsapp (1,5), Instagram (1,4 persen), dan lainnya (0,2 persen).
Memasuki 2024, bentuk layanan penyebaran berita hoaks cenderung merata, yakni melalui Youtube (23 persen), Tiktok (21 persen), Facebook (21 persen), Twitter (16 persen), dan Whatsapp (11 persen). Sisanya, lewat Instagram (5 persen) dan lainnya (2 persen).
Meningatkan peran Tiktok sebagai wadah penyebaran berita hoaks juga menunjukkan adanya transformasi konten yang dimanfaatkan, yaitu dari tulisan dan foto menjadi video. Artinya, penyebar berita hoaks bukan lagi sekadar buzzer,melainkan content framing (pembingkaian media).
Hal itu akan menjadi tantangan besar bagi ekosistem fact checking (pengecek fakta). Apalagi kapasitas pengecekan fakta hanya 400-500 berita per bulan. Sebaliknya, berita hoaks yang diproduksi pembuat content framing jauh lebih besar. Di kanal Youtube atau Tiktok misalnya, satu akun bisa membuat 4-5 video per hari. Jumlah akun dan kanal yang tersedia mencapai puluhan.
Tak hanya itu, tantangan kian menjadi-jadi setelah akses kepada penggunaan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) semakin mudah. Salah satu konten berita hoaks yang paling sulit dicek faktanya adalah berita audio yang mendapatkan sentuhan AI. Sejauh ini, tingkat kepercayaan teknologi fact checking untuk berita audio dengan sentuhan AI hanya 70 persen.
Oleh karena itu, mengatasi penyebaran berita hoaks tidak cukup dengan melakukan cek fakta. Secara bersama-sama, kita harus bisa melakukan pencegahan dengan memberikan edukasi kepada masyarakat agar tidak mudah percaya dengan informasi yang diterima," ujar Septiaji.
Hal itu didukung oleh data yang disampaikan Koordinator Koalisi CekFakta Adi Marsiela. Setidaknya, CekFakta melakukan debunking (pembongkaran fakta) terhadap sekitar 600 artikel berita pada 2018. Angka itu meningkat menjadi sekitar 1.000 artikel pada 2019 dan melesat menjadi kurang lebih 2.800 artikel pada 2020. Setelah menurun menjadi sekitar 2.500 artikel pada 2021 dan kurang lebih 2.400 artikel pada 2022, angka itu melonjak menjadi sekitar 3.500 artikel pada 2023.
Angka itu diperkirakan terus meningkat pada 2024. Setidaknya, secara persis, CekFakta melakukan debunking terhadap 3.523 artikel berita sepanjang Januari-Desember 2023. Akan tetapi, hingga 20 April 2024, mereka telah melakukan debunking terhadap 2.268 artikel.
Rinciannya, sebanyak 851 artikel atau 37,5 persen terkait pemilihan presiden (pilpres), 312 artikel (13,7 persen) politik, 289 artikel (12,7 persen) luar negeri, 255 artikel (11,2 persen) penipuan, dan 171 artikel (7,5 persen) bencana.
Adi memastikan, tidak semua artikel bisa dilakukan debunking, tetapi hanya yang berbentuk hasil, capaian, ataupun target. Kalau berbentuk janji, mereka tidak bisa memastikan faktnya. ”Untuk itu, kami butuh kolaborasi dengan banyak pihak, terlebih tantangan melawan penyebaran berita hoak akan semakin sulit saat pemilihan kepala daerah (pilkada) karena setiap daerah berbeda calon," katanya.
Mengatasi akar masalah
Septiaji menuturkan, menangkal penyebaran berita bohong atau menyesatkan harus dikejar kepada akar masalahnya. Adapun akar masalahnya adalah tingkat literasi digital atau daya kritis masyarakat dalam menerima informasi melalui layanan digital. Itu perlu diberikan pemahaman tersendiri atau secara khusus.
Kalau tidak, korban berita bohong bisa menjerat siapa saja, termasuk orang-orang berpendidikan tinggi yang biasa melakukan riset ataupun penelitian. "Saat ini, masyarakat semakin tidak kenal dengan informasi yang terkurasi. Sering kali, mereka terjebak dengan perilaku digitalnya (algoritma),” tuturnya.
Menurut Septiaji, mengatasi permasalahan itu bisa dilakukan secara jangka pendek dan jangka panjang. Kalau jangka pendek diperlukan peran ekosistem fact checking yang holistik, untuk jangka panjang dibutuhkan peran dunia pendidikan agar generasi muda atau mendatang memiliki literasi digital yang lebih baik.
Tak heran, dalam waktu dekat, pemerintah akan memasukkan pelajaran informatika mulai jenjang sekolah menengah pertama (SMP). "Salah satu materinya akan memberikan pembelajaran bagaimana cara membongkar fakta dari suatu informasi yang dicurigai," ujarnya.
Berita bohong atau menyesatkan akan merugikan banyak pihak. Maka itu, menangkal penyebarannya butuh peran semua pihak terkait. ”Karena bersifat kompleks, masalah ini tidak bisa diatasi secara individual. Kita semua harus berkolaborasi, dari masyarakat, media, hingga akademisi. Kolaborasi itu pun harus melibatkan pemangku kepentingan yang memiliki kekuatan, yakni pemerintah,” kata Ummi Salamah, dosen komunikasi Universitas Indonesia.
News Partner Manager Google Indonesia Yos Kusuma menyampaikan, secanggih apa pun teknologi, itu tidak bisa 100 persen memberantas penyebaran berita bohong atau menyesatkan. Itu karena pengguna masyarakat yang membentuk perilaku digitalnya atau menentukan algoritmanya sendiri. Oleh karena itu, butuh peran serta masyarakat sipil untuk mengatasinya.
"Kunci menyelesaikan permasalahan ini adalah menciptakan ekosistem digital yang lebih baik. Itu butuh kolaborasi dan komunikasi yang baik antarpihak terkait. Sebab, terkadang, kolaborasi terhambat oleh komunikasi yang tidak lancar. Sebaliknya, komunikasi yang lancar tidak akan berdampak kalau semangat kolaborasi belum terbangun," katanya.