Penguatan Literasi Digital Membentengi Masyarakat dari Penyebaran Hoaks
Penguatan literasi digital diperlukan untuk membentengi masyarakat dari penyebaran hoaks dan kejahatan siber. Masyarakat semakin aktif beraktivitas di ranah daring sehingga literasi digital harus ditingkatkan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi belum dibarengi dengan kecakapan digital. Imbasnya, masyarakat rentan menjadi korban hoaks dan kejahatan siber. Penguatan literasi digital diperlukan untuk membentengi masyarakat dari penyebaran kabar bohong tersebut.
Kerentanan itu sejalan dengan besarnya pengguna internet di Tanah Air. Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna internet di Indonesia pada 2023 mencapai 215 juta orang. Jumlah itu meningkat dibandingkan tahun sebelumnya dengan 210 juta pengguna.
Masyarakat semakin intens berinteraksi di ruang digital, salah satunya melalui media sosial. Namun, jagat maya juga menjadi lahan subur bagi penyebaran hoaks. Hal ini patut diwaspadai karena berpotensi menyesatkan masyarakat dalam memahami sebuah fenomena atau peristiwa.
Pelaksana Tugas Direktur Informasi dan Komunikasi Politik, Hukum, dan Keamanan Kementerian Komunikasi dan Informatika Marroli Jeni Indarto mengatakan, mengingat tingginya pengguna internet di Indonesia, masyarakat diharapkan menjadikan ruang digital sebagai media berbagi informasi yang telah teruji kebenarannya dan memberikan nilai tambah. Ranah digital juga menjadi wadah untuk berekspresi dan berpendapat berdasarkan fakta.
”Jangan menyebarkan berita bohong atau hoaks dalam rangka menggiring opini publik pada suatu pemahaman yang salah sesuai dengan keinginan penyebar informasi,” ujarnya dalam webinar ”Jaga Keamanan di Ruang Digital”, Senin (15/1/2024).
Marroli menuturkan, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah cara berinteraksi masyarakat. Dengan memanfaatkan jaringan internet, ruang daring memungkinkan penggunanya untuk merepresentasikan dirinya, bekerja sama, berbagi informasi, dan membentuk ikatan sosial secara virtual.
Oleh sebab itu, literasi digital perlu ditingkatkan di tengah semakin aktifnya masyarakat beraktivitas di ranah daring. Tujuannya bukan hanya meningkatkan kapasitas dalam mengidentifikasi hoaks, melainkan juga meminimalkan risiko menjadi sasaran kejahatan siber.
Bekerja sama dengan berbagai lembaga, program peningkatan literasi digital digelar Kementerian Kominfo di sejumlah daerah. ”Terkait hal ini, kami punya beberapa tingkatan, dari sosialisasi hingga literasi, termasuk yang kita lakukan hari ini. Tujuannya agar mampu membentengi diri dari penyebaran hoaks sehingga tidak menjadi korban,” ucapnya.
Masyarakat semakin intens berinteraksi di ruang digital, salah satunya melalui media sosial. Namun, jagat maya juga menjadi lahan subur bagi penyebaran hoaks. Hal ini patut diwaspadai karena berpotensi menyesatkan masyarakat dalam memahami sebuah fenomena atau peristiwa.
Marroli menambahkan, pihaknya juga aktif melakukan patroli siber dengan menyisir ruang digital untuk menemukan hoaks dan konten negatif. Jika terdapat pelanggaran, konten tersebut akan di-take down.
Indeks Literasi Digital Nasional pada 2022 sebesar 3,54 poin (dalam skala 5). Angka itu naik 0,05 poin dari tahun sebelumnya. Pengukuran indeks ini menggunakan empat pilar utama, yaitu kecakapan digital, etika digital, keamanan digital, dan budaya digital.
Survei melibatkan 10.000 responden pengguna internet berusia 13-70 tahun di 514 kabupaten/kota dan 34 provinsi. Meskipun indeksnya naik tipis, literasi digital masih menghadapi sejumlah tantangan, salah satunya mengantisipasi penyebaran hoaks, terutama menjelang Pemilu 2024.
Berdasarkan survei itu, 72,6 persen responden menyatakan mendapatkan sumber informasi dari media sosial. Hal ini perlu diantisipasi mengingat informasinya dapat disebarkan tanpa verifikasi. Bahkan, dalam banyak kasus, digunakan untuk menghasut orang lain.
Pegiat literasi digital Ismail Cawidu menuturkan, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi di Tanah Air tidak berbanding lurus dengan literasi digital masyarakat. Hal ini membuka peluang bagi pihak tidak bertanggung jawab untuk menyebarkan hoaks dan melakukan kejahatan siber.
”Apa tantangan digital kita hari ini? Pertama, masih rendahnya literasi digital. Karena itu, jawabannya adalah program peningkatan literasi digital,” ujarnya.
Selain itu, teknologi untuk memproduksi hoaks dan melakukan kejahatan siber juga semakin canggih. Oleh karena itu, masyarakat wajib berhati-hati setiap mendapatkan informasi, baik berupa tulisan, gambar, suara, maupun video, di ruang digital, apalagi dari orang yang tidak dikenal.
”Gunakan asas curiga dulu. Apakah betul informasinya? Valid atau tidak? Apakah benar orangnya mengatakan demikian? Jika betul, apakah bisa dikonfirmasi. Jadi, ada proses analisis ketika menerima informasi,” jelasnya.