Gugatan Masyarakat Adat ke Presiden dan DPR Ditolak PTUN
Masyarakat adat sangat kecewa dengan putusan ini. Mereka berpotensi semakin menderita digempur kepentingan kapitalis.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengadilan Tata Usaha Negara menolak gugatan masyarakat adat yang menggugat Presiden dan DPR RI dalam perkara dugaan perbuatan melawan hukum karena tidak kunjung mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat sejak 20 tahun lalu. Perjuangan masyarakat adat untuk mendapatkan hak pengakuan negara sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi semakin terjal.
Putusan ini diketuk oleh hakim ketua Navy Dewi Cahyati bersama hakim anggota Ridwan Akhir dan Fajri Citra melalui pembacaan putusan secara elektronik (e-court) yang diunggah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Kamis (16/5/2024). Dalam amar putusannya, hakim menerima eksepsi Presiden yang menilai obyek gugatan bukan termasuk keputusan badan atau PTUN dan eksepsi DPR tentang eksepsi kompetensi absolut.
”Menyatakan gugatan para penggugat (masyarakat adat) tidak diterima dan menghukum para penggugat membayar biaya perkara sejumlah Rp 340.000,” tulis putusan perkara Nomor 542/G/TF/2023/PTUN.JKT ini.
Gugatan ini diajukan sembilan penggugat, antara lain Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan tujuh penggugat lainnya adalah individu masyarakat adat yang saat ini mendekam di penjara karena dikriminalisasi saat membela wilayah adatnya.
Masyarakat adat akan terus terancam oleh negara melalui perizinan investasi, ekspansi hutan negara, dan ekstraksi oleh korporasi.
Dalam gugatannya, mereka meminta Presiden dan DPR membuat surat komitmen segera membentuk UU Masyarakat Hukum Adat sekaligus mengesahkannya maksimal dalam periode DPR yang tersisa sekarang. Selain itu, Presiden dan DPR juga diminta melibatkan secara aktif masyarakat dalam penyusunan.
Tim kuasa hukum masyarakat adat sekaligus Ketua Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PP MAN) Syamsul Alam Agus menilai, putusan ini semakin membuktikan bahwa negara mengabaikan permohonan untuk membentuk UU Masyarakat Adat. PTUN juga dinilai gagal menjalankan fungsi kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang diamanatkan UU No 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
”PTUN Jakarta yang mengadili perkara ini gagal menjadi sarana bagi pencari keadilan untuk mewujudkan hak-hak konstitusionalnya,” kata Syamsul, Jumat (17/5/2024), sembari menyatakan akan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).
Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi juga mengaku sangat kecewa dengan putusan ini. Menurut dia, masyarakat adat di seluruh Indonesia akan semakin menderita digempur kepentingan kapitalis.
”Dengan putusan ini, masyarakat adat akan terus terancam oleh negara melalui perizinan investasi, ekspansi hutan negara, dan ekstraksi oleh korporasi,” kata Rukka.
AMAN mencatat ada 11.078 juta hektar wilayah adat dirampas atas nama proyek strategis nasional serta investasi tambang dan perkebunan dalam 10 tahun terakhir. Ini menimbulkan konflik agraria yang mengakibatkan 925 orang menjadi korban kekerasan, luka, bahkan meninggal dunia.
Aktivis lingkungan Faris Babero, anggota adat O’Hoberera Manyawa (suku Tobelo di luar hutan) di Maluku Utara, misalnya, berkali-kali diintimidasi saat melakukan advokasi kepada masyarakat adat Tobelo. Wilayah mereka kini dikuasai izin pertambangan yang juga berstatus proyek strategis nasional.
”Kondisi masyarakat adat di daerah itu sangat kesulitan bersuara terkait hak dan asal-usul tanah leluhur. Stereotipe pun terus terjadi karena komunitas ini jauh dari akses pendidikan formal. Meski begitu, kita punya falsafah hidup, budaya, hingga adat istiadat,” ucap Faris.
Dalam perjalanan sidang, Effendi Buhing, seorang ketua adat Laman Kinipan dari Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, bersaksi kepada hakim bahwa rentetan konflik telah mereka alami dengan perusahaan sawit yang menyerobot lahan adat. Puncak konfliknya terjadi pada 22 Juni 2020.
Saat itu Effendy dan empat anggota komunitas ditangkap, ditetapkan sebagai tersangka, dan ditahan di Polda Kalimantan Tengah. Mereka dituduh merampas mesin pemotong dan pengancaman kepada petugas PT Sawit Mandiri Lestari (SML) di Kabupaten Lamandau.
Padahal, mereka sudah mengusulkan pengakuan hutan adat kepada pemerintah daerah sejak 2018. Persiapan yang mereka lakukan sudah mengikuti aturan dan kebijakan pemerintah sejak 2012 atau 11 tahun lalu, mulai dari membentuk komunitas adat hingga identifikasi wilayah. Namun, hal itu tak kunjung ditindaklanjuti.
”Sampai saat ini, saya tidak tahu masih tersangka atau tidak. Saya menginap satu malam di Polda saat itu,” kata Effendy saat bersaksi dalam sidang di PTUN Jakarta, Kamis (14/3/2024).
Putusan ini sekaligus menambah daftar panjang penyangkalan negara terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU/IX/2012 yang mengamanatkan negara untuk mengakui masyarakat adat sebagai penyandang hak atas wilayah adat serta menyatakan bahwa hutan adat adalah milik masyarakat adat yang berada di dalam wilayah adatnya. Selain itu, MK juga menyatakan pentingnya pembentukan undang-undang khusus tentang masyarakat adat.
Sejak putusan itu diketuk Ketua Hakim MK Muhammad Akil Mochtar pada 16 Mei 2013 hingga April 2024, AMAN mencatat baru ada 342 produk hukum daerah yang telah memberikan pengakuan terhadap eksistensi masyarakat adat dan wilayah adat. Menurut Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) terdapat 26,9 juta hektar wilayah adat di seluruh Nusantara yang telah teregistrasi di BRWA.
Dari luas wilayah adat tersebut hanya 14 persen yang diakui negara. Sebab, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan baru menetapkan hutan adat di 123 komunitas dengan total luas mencapai 221.648 hektar.