Memerdekakan Keistimewaan Yogyakarta
Undang-Undang Keistimewaan DIY mengerdilkan Keistimewaan Yogyakarta untuk dirinya sendiri. Yogyakarta hanya istimewa/merdeka mengurus rumah tangganya sendiri, tetapi bukan soal kemerdekaan untuk berkarya bagi NKRI.
Sudah satu dasawarsa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan (UUK) Daerah Istimewa Yogyakarta diimplementasikan. Namun, ternyata, keistimewaan ini belum menjadikan Yogyakarta (DIY) berkarya besar bagi NKRI, seperti dalam sejarahnya pada masa silam sebagaimana dipuji oleh Bung Karno.
Ekspektasi besar terhadap status ”Yogya Istimewa” ternyata belum sepadan dengan realitas di lapangan. Baru-baru ini Yogyakarta malahan sempat dikomplain sebagai salah satu kota intoleran. Belum lama ini bahkan terjadi konflik antaretnis di kawasan yang diklaim ber-Bhinneka Tunggal Ika ini. Terkuaknya kasus korupsi dan ditangkapnya mantan wali kota menambah besarnya tanda tanya tentang keistimewaan itu.
Kejayaan sejarah masa silam lantas menjadi tempat pelarian manakala orang mencecar dengan pertanyaan di manakah keistimewaan Yogyakarta itu. Keabsahan sejarah keistimewaan Yogyakarta sudah final. Undang-Undang Keistimewaan DIY pun pada bagian ”menimbang” sudah dengan tegas menyatakan bahwa Yogya istimewa dalam sumbangsihnya bagi NKRI sejak dirinya bergabung dengan RI menjadi Ibu Kota RI (1946-1949), dan berjuang hingga RI mendapatkan pengakuan kedaulatan secara penuh (1949).
Baca juga: Serangan Umum 1 Maret, Penegak Kedaulatan Negara
Hanya dalam tempo lima tahun sejak bergabung dengan RI (1945-1950), karya keistimewaan Yogyakarta sudah sangat dahsyat. Karena itu, pada 1950, negara memberi dukungan berupa UU No 3/1950 tentang Keistimewaan DIY. Namun, bagaimana dengan keistimewaan Yogyakarta masa kini? Sejak mendapatkan UUK pada 2012, DIY mempunyai waktu 10 tahun untuk seharusnya berkarya istimewa.
Pengerdilan keistimewaan
Setelah bergabung dengan RI, Yogyakarta tak langsung mendapat UUK. Hanya ada Piagam Kedudukan yang berisi kepercayaan Presiden Soekarno terhadap Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII untuk melanjutkan kepemimpinannya di Nagari Yogyakarta sebagai bagian dari Negara RI. Kedua raja itulah yang kemudian menyatakan Nagari Yogya sebagai daerah istimewa di dalam RI melalui Amanat 5 September 1945 yang merupakan embrio DIY (Sujamto, 1988).
Selama periode lima tahun pascabergabung itu (1945-1950), justru karena DIY belum diatur secara ketat dengan regulasi khusus berupa UUK, maka menjadi sangat merdeka dalam berkarya keistimewaan. Kala itu Sultan menjadi sangat leluasa untuk melakukan manufer-manufer politik demi menyelamatkan RI, mulai dari bersepakat dengan Soekarno untuk memindahkan Ibu Kota RI ke Yogyakarta, melancarkan Serangan Umum 1 Maret 1949 yang mencelikkan mata dunia akan eksistensi RI, hingga mengumandangkan ”Proklamasi Kedua” yang menegaskan kembali eksistensi bangsa dan negara Indonesia.
Kala itu Sultan menjadi sangat leluasa untuk melakukan manufer-manufer politik demi menyelamatkan RI.
Setelah pada 1950 DIY mendapatkan UUK—meskipun belum detail—DIY bertumbuh menjadi daerah yang giat dalam pembangunan, tetapi landai-landai saja. Selama masa rezim Orde Baru, pembangunan DIY bertumbuh secara gradual.
Namun, ketika negara kembali terguncang dan penegakan hukum mulai tidak jelas, Yogyakarta kembali muncul berkarya keistimewaan. Itulah yang terjadi pada 1998 ketika people power sejuta rakyat yang dikenal sebagai ”Pisowanan Agung” mengantarkan Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam VIII menyerukan Gerakan Reformasi Nasional yang memberi energi perubahan secara luar biasa.
Di era Reformasi, pemerintah dan masyarakat DIY memang berjuang keras untuk mendapatkan UUK yang lebih detail. Perjuangan begitu alot karena tarik ulur politis, sampai akhirnya UUK disahkan pada 31 Agustus 2012. UUK itu sudah sesuai dengan aspirasi rakyat karena menegakkan sejarah. UUK 2012 juga mengatur penyelenggaraan Keistimewaan DIY secara jelas, seperti soal pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY oleh Sultan dan Paku Alam yang bertakhta.
Kekuatan UUK adalah pada keterinciannya dalam mengatur penyelenggaraan keistimewaan di dalam diri DIY itu sendiri. UUK sudah rinci menjawab apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana keistimewaan DIY itu. Lahirnya beberapa Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) menjadi indikator bahwa UUK merupakan produk hukum yang lengkap dan bisa dielaborasi secara berkelanjutan.
Namun, yang menjadi perenungan dalam momentum HUTKke-77 RI dan satu dasawarsa UUK saat ini adalah bagaimana karya istimewa Yogyakarta untuk Indonesia. Ada satu hal yang kurang di dalam UUK 2012 itu. Undang-undang ini memulai dengan bagian ”menimbang” yang menegaskan substansi Keistimewaan Yogyakarta sebagai keistimewaan dalam berkarya bagi NKRI, tetapi UUK ini tidak mengamanatkan Yogyakarta untuk terus berkarya istimewa bagi NKRI.
Baca juga: Merekam Peradaban Yogyakarta Lewat Dana Keistimewaan
Undang-Undang Keistimewaan DIY justru mengerdilkan atau membonsai Keistimewaan Yogyakarta untuk dirinya sendiri, istimewa dalam mengurus rumah tangganya sendiri. Tujuan-tujuan Keistimewaan Yogyakarta dalam Pasal 5 UUK dan bidang-bidang kewenangan istimewa dalam Pasal 7 UUK, semua hanya berkenaan dengan urusan rumah tangga Yogyakarta itu sendiri. Keistimewaan Yogyakarta diterjemahkan sebagai kemerdekaan (otonomi) untuk mengurusi diri sendiri, tetapi bukan soal kemerdekaan untuk berkarya bagi NKRI.
Dengan demikian, lebih tepat disebut sebagai ”Keunikan Yogya” daripada ”Keistimewaan Yogya”. Keunikan itu menunjuk pada ciri atau sifat asimetris pemerintahan DIY yang berbeda dengan pemerintahan di provinsi-prvinsi lain. Namun, Keistimewaan Yogya, jika konsisten dengan amanat sejarah yang menjadi landasannya, seharusnya lebih menunjuk sebagai karya istimewa Yogya bagi RI.
Pengerdilan Keistimewaan Yogya menumbuhkan mental block dalam diri pemerintahan dan masyarakat DIY selama satu dekade terakhir ini. Sebagai contoh, dulu sebelum ada mekanisme pengucuran Dana Keistimewaan (Danais) sebagai konsekuensi UUK, masyarakat bergiat dalam berbagai karya budaya secara mandiri.
Undang-Undang Keistimewaan DIY justru mengerdilkan atau membonsai Keistimewaan Yogyakarta untuk dirinya sendiri, istimewa dalam mengurus rumah tangganya sendiri.
Sekarang, masyarakat baru bergerak aktif jika ada suntikan Danais. Bahkan, berebut Danais terkadang memicu konflik. Sementara itu, ketika Covid-19 merebak, pemerintah daerah tidak bergerak cekatan untuk mengalokasikan Danais untuk menangani pandemi itu, baru bertindak manakala ada arahan dari pemerintah pusat.
Pengerdilan visi yang berakibat pengerdilan mental itu akhirnya mengerdilkan karya. Yogya Istimewa hanya untuk berkarya bagi dirinya sendiri. Jangankan berkarya ustimewa bagi NKRI, mental block itu membelenggu kemerdekaan berinovasi dan berkreativitas untuk menyelesaikan masalah-masalah internal.
Malahan justru terjadi banyak ironi, seperti masih tingginya angka kemiskinan. Padahal, tujuan Keistimewaan Yogyakarta, menurut Pasal 5 UUK, adalah untuk mewujudkan kesejahteraan dan ketenteraman rakyat. Di sisi lain, Danais per tahun terkadang tidak tuntas terserap karena kurangnya upaya kreatif dalam implementasi.
Merdeka berkarya istimewa
Seorang penulis, Slamet Sutrisno (2008), mengilustrasikan Yogya sebagai ibu pengasuh bayi Republik Indonesia. Sejarah memang mencatat bagaimana Yogya menjadi inkubator bagi bayi RI selama masa revolusi 1945-1950 itu. Bahkan, tokoh Kraton Yogya, KPH Yudahadiningrat, mengatakan bahwa Sultan Yogya mendukung dana beberapa juta gulden untuk Pemerintah RI kala itu. Menjadi ironis jika karena UUK sekarang Yogya justru menjadi sosok ibu tua renta yang mengemis kepada anaknya sendiri. Keistimewaan DIY merosot hanya sebatas urusan Danais.
Menurut pengamatan penulis, kerdilnya karya Keistimewaan Yogyakarta itu terjadi karena kelambanan pemerintah daerah (kaprajan) dalam merespons serta mengelola visi Raja Sultan Hamengku Buwono X sebagai Gubernur DIY. Baik Sultan HB IX maupun sekarang Sultan HB X memiliki visi-visi besar. Hal itu terlihat misalnya dari tema Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) DIY periode 2017-2022 yang kini visi itu dilanjutkan lagi sampai 2027, yaitu ”Abad Samudera Hindia”. Saat pidato visi itu pada 2017, Sultan HB X menantang pemerintah daerah DIY untuk berkarya peradaban, tidak sekadar kerja kantoran atau proyekan.
Baca juga: Kota Yogyakarta: Kota Pelajar, Wisata, dan Budaya
Kelambanan kaprajan dalam merespon visi-visi besar Sultan itu bukan karena ketidakmampuan intelektual. Kelambatan itu lebih karena faktor ”mentalitas pegawai” yang cenderung berpikir dan bertindak normatif, ketakutan melanggar aturan, tidak inovatif dan kreatif, tetapi lebih senang ”copy-paste” kebijakan dan perencanaan masa lalu—yang disebut Sultan sebagai tradisi kerja kantoran atau proyekan itu.
Pemerintah daerah, bukan hanya di DIY, sering kali tidak memiliki jiwa merdeka dalam berkarya istimewa. Visi-visi besar kepala daerah akhirnya menguap dan tinggal menjadi wacana karena pola pikir dan pola kerja pemerintah daerah yang tidak berani ”out of the box”.
Regulasi jangan dimaknai sebagai tembok pembatas inovasi, tetapi menjadi legitimasi dan energi pemacu kreativitas. Pembangunan daerah membutuhkan jiwa merdeka dalam berkaya. Adapun untuk DIY, Bung Karno pernah berpesan, ”Yogya termashyur karena jiwa merdekanya, lanjutkan itu!”
Haryadi Baskoro, Tim Penilai Pembangunan Bappeda Provinsi DIY; Antropolog-Teolog