Kelangkaan Solar Mulai Ganggu Distribusi Bahan Pangan di Lampung
Kelangkaan solar bersubsidi yang terjadi di Lampung memicu permasalahan berantai. Selain mengganggu distribusi logistik, kondisi itu juga menimbulkan kerugian bagi petani hortikultura.
Oleh
VINA OKTAVIA
·4 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Kelangkaan biosolar yang terjadi di Lampung menghambat distribusi komoditas pertanian. Cabai dan sayuran yang semestinya dikirim setelah panen tertunda sehingga harga jualnya turun.
Ikbal Sutanto (36), petani cabai asal Kecamatan Sekincau, Kabupaten Lampung Barat, menuturkan, kelangkaan solar yang terjadi di Lampung Barat membuat mobil angkutan sayuran tidak bisa beroperasi setiap hari. Cabai yang biasanya bisa dikirim ke Bandar Lampung seusai panen kini harus menginap di gudang selama 1-2 hari.
”Pemilik mobil beralasan harus antre solar seharian sehingga tidak bisa beroperasi setiap hari,” kata Ikbal saat dihubungi dari Bandar Lampung, Selasa (29/3/2022).
Selama ini, Ikbal dan sejumlah petani lainnya menyewa mobil untuk mengirim cabai dan sayuran ke pasar tradisional di Bandar Lampung. Biaya pengiriman hasil panen petani dari Lampung Barat ke Bandar Lampung sebesar Rp 350 per kilogram.
Ia mengatakan, kelangkaan solar memang tidak membuat biaya pengiriman meningkat. Namun, tertundanya pengiriman selama beberapa hari membuat harga jual komoditas pertanian merosot.
”Harga cabai bisa turun sampai Rp 3.000 jika terlambat pengiriman dan berat juga akan dikurangi jika ada yang busuk,” katanya.
Saat ini, harga jual cabai merah besar di tingkat petani di Lampung Barat berkisar Rp 21.000-Rp 23.000 per kilogram. Namun, jika pengiriman terlambat selama 2-3 hari, harga jual cabai hanya Rp 18.000-Rp 20.000 per kg, bergantung tingkat kesegaran cabai.
Ispandi (40), petani tomat asal Kecamatan Lumbok Seminung, Lampung Barat, menuturkan, nasib petani yang memanen tomat saat ini lebih menyedihkan karena harga jual komoditas itu anjlok. Saat ini, harga jual tomat di tingkat petani di Lampung Barat hanya Rp 600 per kilogram.
Menurut dia, merosotnya harga tomat dipicu melimpahnya hasil panen petani. Kondisi itu diperparah dengan kelangkaan solar sehingga menghambat pengiriman tomat. ”Saya rugi sekitar Rp 15 juta karena harga tomat anjlok,” keluhnya.
Ia mengungkapkan, pengiriman tomat yang ia panen sempat tertunda selama 3-4 hari. Selain karena kelangkaan solar, tomat yang dikirim ke pasar juga tidak laku karena stok melimpah. Sementara, tomat sudah mulai membusuk. ”Dalam satu peti isi 50 kilogram, tomat yang busuk bisa mencapai 8-10 kilogram,” ujarnya.
Saat ini, sebagian besar petani tomat di Lampung Barat memilih langsung menjual hasil panennya pada ibu-ibu rumah tangga dengan berkeliling kampung. Mereka juga langsung menjajakan tomat ke rumah makan atau warung di Lampung Barat dan kabupaten sekitarnya dengan harga Rp 1.500 per kg.
Dibagikan gratis
Petani tomat lainnya yang sudah putus asa memilih memberikan tomat-tomat itu secara gratis pada warga sekitar. Sejumlah petani memberikan tomat pada peternak untuk pakan ikan.
Sementara, ada pula pengepul yang membuang begitu saja tomat di pinggir jalan. Video pembuangan tomat di pinggir jalan di Lampung Barat tersebut sempat viral di media sosial Tiktok.
Ispandi menyatakan, tindakan petani yang memberikan dan membuang tomat hasil panennya bukan tanpa sebab. Selain anjloknya harga, petani juga tidak bisa membiarkan tomatnya membusuk begitu saja karena bisa memicu jamur.
Hal itu akan membuat biaya pengolahan kebun untuk tanam berikutnya menjadi lebih tinggi. Selain itu, potensi serangan hama penyakit juga semakin besar.
Hingga saat ini, petani juga tidak punya alternatif untuk menjual hasil panennya karena belum ada industri pengolahan saus atau sambal di Lampung Barat. Petani hanya bergantung pada serapan di pasar tradisional dan konsumsi rumah tangga.
Pemilik mobil beralasan harus antre solar seharian sehingga tidak bisa beroperasi setiap hari. (Ikbal Sutanto)
Berdasarkan pantauan di pasar tradisional di Bandar Lampung, harga jual komoditas hortikultura, seperti cabai dan tomat, tidak mengalami kenaikan yang signifikan. Padahal, harga jual komoditas itu biasanya meningkat jelang Ramadhan.
Saat ini, harga cabai merah di tingkat eceran Rp 25.000-Rp 30.000 per kilogram dan tomat Rp 3.000-Rp 4.000 per kg.
Sementara itu, antrean kendaraan di SPBU ang mencari solar bersubsidi hingga kini masih terjadi. Bahkan, antrean terjadi dari pagi hingga malam hari sehingga menimbulkan kemacetan lalu lintas.
Mariyanto (45), sopir truk asal Bandar Lampung, menuturkan, kelangkaan solar bersubsidi membuat pengiriman barang terlambat 1-2 hari karena sopir harus antre berjam-jam di SPBU. Ia juga kerap menanggung kerugian jika ada barang kiriman yang rusak karena keterlambatan.
Mariyanto menuturkan, dia mengirim produk makanan dan minuman ringan dari Bandar Lampung ke wilayah Sumatera Selatan dan Sumatera Barat.
”Saat dibongkar, ada kemasan yang rusak, mungkin karena terkena terik matahari saat antre solar terlalu lama. Walaupun sudah ditutup terpal, tetap bisa rusak. Sopir harus menanggung kerugian karena agen tidak mau terima,” katanya.
Ia menambahkan, kelangkaan solar juga membuat para sopir ragu untuk melintasi tol. Alasannya, mereka kerap kesulitan mencari solar jika bahan bakar habis di tengah perjalanan. Sopir truk lebih memilih menggunakan jalan lintas karena bisa mencari solar di SPBU yang jumlahnya lebih banyak.