Metode pembayaran nontunai terus diperkenalkan Bank NTT hingga ke pelosok, termasuk kepada pedagang sayur di pasar tradisional Malaka. Secara perlahan metode itu diterima para pedagang,
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Nama akun Maria Yosefina (45) seketika muncul di layar saat kamera telepon genggam diarahkan untuk memindai lembaran bergambar Quick Response Indonesian Standard atau QRIS. Lembaran yang dipasang petugas Bank Nusa Tenggara Timur itu menempel pada sebuah tiang kayu di atas tumpukan sayur-sayuran.
Segeralah ia mengetik besaran uang untuk harga sayuran yang dibeli, kemudian memperlihatkan layar telepon berisi keterangan bahwa transaksi nontunai itu berhasil. ”Uang sayur sudah masuk ke rekening. Nanti tinggal kami pergi ambil di bank,” ujar pedagang di Pasar Betun, ibu kota Kabupaten Malaka, NTT, itu suatu pagi pada Maret 2022.
Sekitar setahun yang lalu, petugas dari Bank NTT setempat datang ke satu-satunya pasar tradisional Betun itu untuk mendata pedagang yang berminat mencoba cara pembayaran nontunai. Dengan modal kartu tanda penduduk, mereka dibantu membuka rekening baru, lalu diajari cara metode pembayaran itu.
Para pedagang itu dianjurkan memiliki telepon pintar untuk mengontrol transaksi. Namun, hampir semua pedagang memiliki telepon genggam yang hanya bisa untuk telepon dan mengirim pesan singkat. Bahkan, ada pedagang yang tidak memiliki telepon genggam. Itu tak masalah.
”Pokoknya kalau di HP (telepon genggam) pembeli sudah ada keterangan transaksi sukses atas nama nama kami, itu berarti mereka sudah bayar,” ucap Yosefina yang sehari-hari menjual sawi, kangkung, terong, dan kacang panjang. Barang dagangan itu sebagian dari kebun miliknya dan selebihnya dibeli dari petani sayur.
Kendati tidak tamat sekolah menengah pertama, ia ingin belajar sesuatu yang baru. Pembeli yang membayar dilayani tunai ataupun nontunai. Kebanyakan masih tunai sebab masyarakat sempat belum terbiasa dengan metode nontunai. Di Betun, yang masuk dalam wilayah perbatasan Indonesia-Timor Leste, belum banyak ditemukan transaksi nontunai.
Sepanjang Oktober 2021 hingga Maret 2022, pembayaran nontunai yang diterima Yosefina sudah lebih dari Rp 100.000. Dihitung dari harga jual sayuran, semisal kangkung empat ikat seharga Rp 5.000, itu berarti sudah 20 kali transaksi nontunai. Jumlah ini termasuk besar untuk ukuran di pasar tradisional wilayah perbatasan seperti Malaka.
Pembeli yang membayar nontunai kebanyakan orang dari luar daerah yang kebetulan bertugas di Betun. Mereka seperti pegawai bank dan lembaga vertikal di daerah. Ada pula warga setempat yang baru pulang merantau atau studi di kota-kota besar. Warga lokal hampir tidak ada.
Bagi Yosefina, transaksi nontunai menjadi cara baru ia menabung dari sebagian keuntungannya. Ia ingin menyimpannya selama satu tahun, kemudian diambil. Sementara modal berjualan diambil dari pembayaran tunai. Perbandingannya, transaksi nontunai kurang dari 5 persen dari keseluruhan.
Sementara pedagang lain, Lita (50), belum ingin menggunakan transaksi nontunai. Alasannya, ia tidak ingin repot ke bank atau ATM untuk mengambil uang. Itu dianggap membuang-buang waktu. Lagi pula, pembayaran nontunai masih sedikit sehingga tidak efisien jika disimpan di bank. ”Setiap hari butuh modal untuk diputar lagi. Jadi, repot kalau harus antre ambil uang,” ujarnya.
Saat ini, setiap pembeli yang ingin membayar secara nontunai ia tolak. Ia hanya melayani pembayaran tunai. Namun, ia punya keinginan mencoba transaksi nontunai manakala semakin banyak dibutuhkan pembeli. Di pasar itu belasan lapak telah dipasangi QRIS oleh petugas Bank NTT. Namun, yang mau menggunakan masih kurang dari separuhnya.
Meningkat terus
Direktur Utama Bank NTT Harry Alexander Riwu Kaho menuturkan, pengenalan metode QRIS kepada pedagang di pasar itu merupakan kerja sama Bank NTT dan Bank Indonesia Kantor Perwakilan NTT yang dimulai sejak tahun 2019. Pihaknya kemudian mendatangi pasar tradisional dan mendata pedagang yang berminat. Pasar dimaksud mulai dari kota hingga pelosok dan daerah perbatasan negara.
Kepada pedagang disampaikan bahwa penggunaan QRIS memperlancar proses transaksi. Sebagai contoh, banyak pedagang kesulitan mendapatkan uang dalam pecahan kecil untuk kembalian. QRIS juga bertujuan menjaga kualitas uang layak edar mengingat tingginya perpindahan membuat banyak uang di pasar dalam kondisi lusuh. Selain itu, penggunaan QRIS mencegah peredaran uang palsu.
Kedatangan pandemi Covid-19 ikut mempercepat perluasan metode pembayaran itu mengingat pembayaran tunai berisiko menularkan Covid-19. Saat ini, total pengguna lebih kurang 8.000 pedagang pasar dan diperkirakan terus bertambah mengingat banyak pasar belum didatangi. Dalam satu tahun, transaksi menggunakan QRIS di pasar tradisional NTT menembus Rp 1 miliar.
”Pasar inpres Naikoten Kupang yang merupakan pasar tradisional terbesar di NTT dalam satu hari bisa sampai Rp 3 juta. Ini belum termasuk pasar tradisional lain. Target kami satu tahun ke depan, pengguna QRIS sudah bisa tembus 10.000 (pengguna) sehingga otomatis besaran transaksinya juga bertambah. Kami optimistis,” katanya.
Menurut Harry, seiring perkembangan teknologi, pembayaran nontunai adalah keniscayaan. Hal itu yang terus disosialisasikan kepada masyarakat. Kendala utama terkait budaya dan cara pandang masyarakat. Mayoritas masyarakat menganggap bahwa seseorang memiliki uang itu dibuktikan dalam bentuk fisik. Padahal, risiko seperti kehilangan uang fisik sangat tinggi.
Kendala lain yang dihadapi adalah banyak pasar tradisional di NTT yang belum terjangkau jaringan internet untuk mendukung metode QRIS. Selain itu, banyak pedagang ingin mendaftar, tetapi terkendala administrasi. Banyak pedagang belum memiliki KTP yang menjadi syarat untuk pembukaan rekening di bank.
Tuti Lawalu, pengajar pada Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang, mengapresiasi implementasi elektronifikasi di masyarakat yang kini sudah berjalan. Digitalisasi ekonomi dan keuangan inklusif sangat penting bagi perekonomian melalui program QRIS Rangers di NTT. Transaksi secara nontunai itu perlu terus dibiasakan.
Untuk memperluas penggunaan QRIS ini, lanjut Tuti, dibutuhkan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat. Pemahaman masyarakat awam terhadap keuangan elektronik beragam. Ini berbeda dengan generasi Z dan Y, kelompok melek teknologi lebih mudah diajak. Mereka perlu digarap dan dijadikan sebagai agen di masyarakat.
”Kelebihan dari sistem ini adalah mudah dan praktis karena uang aman tersimpan. Dalam berbagai kegiatan kampus, terutama berkaitan dengan pengabdian masyarakat, kami mendorong mahasiswa untuk ikut menyuarakan program digitalisasi ekonomi dan keuangan inklusif, salah satunya penggunaan QRIS,” kata Tuti.
Seiring waktu, transaksi nontunai semakin memasyarakat. Perlahan, kehadirannya semakin diterima. QRIS Bank NTT di lapak sayur pasar tradisional menunjukkan metode pembayaran itu tidak lagi identik dengan kelompok ekonomi menengah atas di perkotaan.