Pupuk Kian Sulit Didapat, Produksi Petani di Sumsel Menurun Signifikan
Petani di Sumatera Selatan kian terjepit dengan tingginya harga pupuk nonsubsidi yang mencapai Rp 600.000 per karung. Hal ini diperparah dengan sulitnya petani mendapatkan pupuk subsidi.
PALEMBANG, KOMPAS — Petani di Sumatera Selatan kian terjepit dengan tingginya harga pupuk nonsubsidi yang mencapai Rp 600.000 per karung. Hal ini diperparah dengan sulitnya petani mendapatkan pupuk subsidi. Alhasil, mereka terpaksa mengurangi pupuk pada tanaman sehingga produksi padi menurun signifikan.
Wawan Darmawan, petani di Desa Sumber Mulya, Kecamatan Muara Telang, Kabupaten Banyuasin, Sumsel, Senin (7/2/2022), mengatakan, saat ini petani dalam kondisi terjepit, pupuk bersubsidi sulit didapat, harga pupuk nonsubsidi melambung tinggi.
Untuk pupuk subsidi, ungkap Wawan, alokasinya benar-benar dibatasi. Di dalam kelompok taninya, alokasi pupuk hanya sebanyak 20 karung untuk 52 hektar lahan sawah. Padahal, dua tahun sebelumnya, alokasi pupuk bisa mencapai 200 karung per 52 hektar.
Sementara harga pupuk nonsubsidi sudah mencapai Rp 600.000 per karung. Harga ini kembali naik dibandingkan dengan dua bulan lalu yang sudah menyentuh Rp 400.000 per karung.
Akibat situasi ini, tambah Wawan, rata-rata hasil produksi padi para petani di Muara Telang menurun signifikan, dari semula 8 ton per hektar per sekali musim tanam kini hanya 5 ton per hektar. ”Penurunan ini karena pasokan pupuk memang kami kurangi,” ungkap Wawan.
Malang tidak berhenti di sana, pada musim panen pun harga gabah kering panen juga tidak tinggi, hanya Rp 3.800 per kilogram dan paling tinggi sekitar Rp 4.000 per kilogram, jauh dari harga pokok penjualan yang sekitar Rp 4.200 per kilogram. Akibat situasi ini, banyak petani pangan ingin beralih ke tanaman perkebunan yang dinilai lebih menguntungkan.
Baca juga : Reforma Subsidi Pupuk
Persiapan musim tanam
Poniman, petani padi di Muara Sugihan, Kabupaten Banyuasin, juga merasakan hal serupa. Menurut dia, saat ini petani dalam kondisi sulit untuk memulai masa tanam. Dia harus menyiapkan dana untuk penyediaan bibit, pupuk, dan pestisida.
Dengan harga pupuk nonsubsidi yang mencapai Rp 600.000 per karung, sudah tidak mungkin untuk mendapatkan keuntungan. ”Tolong perhatikan kami yang mengirim beras untuk kalian orang-orang kota,” ujar Poniman.
Ketua Serikat Petani Indonesia Cabang Sumatera Selatan Widya Astin mengatakan, secara data, kondisi pertanian di Sumsel seakan baik-baik saja, padahal saat ini petani benar-benar terjepit. Ketika panen tiba, alokasi pupuk bersubsidi malah dibatasi.
Hal ini menyebabkan petani kesulitan untuk memulai musim tanam berikutnya. Kondisi ini sangat bertolak belakang dengan visi pemerintah yang ingin menjadikan Sumsel sebagai lumbung pangan nasional.
Widya meyakini sistem administrasi dalam penyaluran pupuk subsidi memang sudah kacau dari awal, mulai dari pembuatan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK).
Ketika dimasukkan dalam sistem, banyak petani yang kehilangan haknya karena namanya tidak terdaftar dalam sistem. ”Sudah ada upaya manipulasi yang dirancang oleh para mafia untuk mencari keuntungan. Akibatnya, petanilah yang menjadi korbannya,” kata Widya.
Ditambah lagi belum adanya sistem yang mumpuni untuk memudahkan petani mengakses data terkait hak mereka. ”Hingga kini, petani tidak mengetahui alokasi pupuk per kabupaten dan besaran pupuk yang dibagikan sehingga sangat rentan diselewengkan. Wajar jika petani menjerit,” ujar Widya.
Karena itu, Widya berharap pemerintah segera memperbaiki sistem distribusi dan pengawasan pupuk bersubsidi serta dapat memastikan pupuk nonsubsidi dapat terjangkau oleh petani.
Persoalan pupuk bersubsidi, ungkap Widya, sudah menjadi hambatan bagi petani untuk berproduksi. Ketergantungan pada pupuk menyebabkan banyak petani di Sumsel beralih menjadi buruh tani.
Tidak heran, banyak petani memilih tidak bertani selama musim panen akibat hilangnya pupuk dari peredaran. Karena itu, dia meminta kepada perusahaan pupuk dan pemerintah untuk segera membenahi proses distribusi pupuk dan meningkatkan pengawasannya.
Baca juga : Tak Ada Pupuk Bersubsidi Petani Tinggalkan Padi
Untuk PT Pupuk Sriwidjaja (Pusri), Widya meminta agar petani di Sumsel diprioritaskan mendapatkan pupuk subsidi dan mendesak PT Pusri untuk melakukan evaluasi rekanan penyalur pupub bersubsidi, terutama mereka yang berani berbuat curang.
Hingga kini, petani tidak mengetahui alokasi pupuk per kabupaten dan besaran pupuk yang dibagikan sehingga sangat rentan diselewengkan. Wajar jika petani menjerit. (Widya Astin)
Dia juga mendesak PT Pusri untuk membuka keran pembelian langsung pupuk subsidi oleh petani/kelompok tani pada saat musim tanam tiba dengan kondisi darurat kelangkan pupuk di tingkat pengecer dan kios resmi yang terjadi saat ini.
Selain itu, Widya menuntut agar pemerintah lebih ketat dalam mengawasi penyaluran pupuk bersubsidi, terutama pada saat musim tanam. Karena itu, pemerintah perlu merancang ulang pola distribusi dan penyaluran pupuk subsidi di setiap tingkatan.
”Jika ada kecurangan di tingkat bawah yang dilakukan oleh oknum, harus segera ditindak agar tidak ada lagi penyelewengan,” tegas Widya.
Evaluasi
Namun, untuk saat ini, menurut Widya, pemerintah pusat juga perlu mengevaluasi sistem subsidi pupuk yang lebih berpihak kepada petani. ”Kalau perlu, alokasi pupuk subsidi dari pemerintah pusat untuk Provinsi Sumsel dinaikkan dari yang berkisar 25 persen sampai 30 persen dari usulan RDKK diusulkan naik menjadi 80 persen,” ungkapnya.
Menanggapi situasi tersebut, Manajer Penjualan PT Pusri Cabang Sumsel Amani Muthi’ah menjelaskan, kelangkaan pupuk bersubsidi di Sumsel disebabkan oleh terbatasnya kuota pupuk yang disediakan pemerintah. Secara nasional, dari total usulan RDKK yang diterima sekitar 27 juta ton pupuk, alokasi pupuk subsidi yang disediakan sekitar 9 juta ton.
Sementara alokasi pupuk bersubsidi di Sumsel pada tahun 2022 juga dibatasi, yakni untuk urea sebanyak 146.000 ton, naik dibandingkan dengan alokasi tahun lalu sebesar 139.279 ton. Adapun untuk pupuk NPK, alokasi tahun 2022 sebesar 89.000 ton, turun dibandingkan dengan tahun lalu sebesar 90.000 ton.
Alokasi tersebut hanya memenuhi 66 persen dari usulan RDKK untuk urea, sementara untuk NPK hanya memenuhi 26 persen dari usulan yang ada di RDKK. ”Di tengah keterbatasan ini, pendistribusian pupuk harus diawasi secara ketat,” ucapnya.
Terkait distribusi, ujar Amani, Pusri memiliki 42 agen penyaluran pupuk di Sumsel. Mereka harus mendistribusikan pupuk tersebut sesuai dengan RDKK. ”Dengan para agen, kami sudah memiliki kontrak kerja dan terus dievaluasi setiap bulan,” katanya.
Pengawasan juga dilakukan oleh Komisi Pengawas Pupuk dan Pestisida serta Badan Pemeriksa Keuangan dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. ”Hal ini dilakukan untuk meminimalkan penyelewengan,” ucapnya.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Sumsel Bambang Pramono menjelaskan, penyaluran pupuk bersubsidi hanya bisa dilakukan berdasarkan nama yang ada di nomor induk kependudukan (NIK).
Adapun jumlah petani di Sumsel yang terdaftar di Kementerian Pertanian berbasis pada NIK sebanyak 753.513 orang. ”Saya akui, dari semua petani yang sudah terdaftar, masih ada juga yang tidak mendapatkan pupuk bersubsidi,” ungkapnya.
Itu karena kuota pupuk bersubsidi di Sumsel pun masih sangat minim, yakni hanya 312.000 ton pada tahun 2021, dengan penyerapan terbilang tinggi, yakni mencapai 98,2 persen. Namun, Bambang mengakui pendistribusian pupuk bersubsidi di Sumsel belum optimal.
Masih ditemukan adanya penyelewengan yang dilakukan oleh segelintir orang, seperti mengalihkan pupuk untuk perkebunan. ”Karena itu, ke depan kita perlu awasi pendistribusian pupuk agar tepat sasaran, tepat guna, dan tepat waktu,” ungkapnya.
Mengantisipasi kelangkaan pupuk, Bambang menyarankan agar petani mulai beralih ke pupuk organik dengan memanfaatkan sumber daya hayati yang ada di lingkungannya. Hal ini terbukti efektif di lahan pertanian di Kecamatan Rambutan di mana lahan lebak dapat menghasilkan sekitar 6,7 ton gabah kering panen per hektar untuk musim tanam kedua.
Saya akui, dari semua petani yang sudah terdaftar, masih ada juga yang tidak mendapatkan pupuk bersubsidi. (Bambang Pramono)
Sementara Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru berjanji akan menyampaikan keluhan para petani kepada pemerintah pusat. Dia berpendapat alokasi pupuk bersubsidi tidak akan pernah cukup karena memang kuota yang disediakan tidak pernah memenuhi kebutuhan.
Karena itu, Herman menyarankan agar alokasi subsidi tidak lagi digelontorkan kepada pupuk karena rawan penyelewengan. ”Lebih baik alokasi subsidi diberikan untuk harga produk, dalam hal ini gabah, sehingga petani dapat merasakan manfaatnya,” ungkap Herman.