Balada Cinta "Penjual Cilok"
Pemilihan pasangan hidup pada hakikatnya bertujuan untuk bertahan hidup dan melanjutkan keturunan. Situasi itu membuat status sosial sering menjadi pertimbangan utama walau modal psikologis tak kalah.
Pemilihan pasangan hidup pada hakekatnya bertujuan untuk bertahan hidup dan melanjutkan keturunan. Situasi itu membuat status sosial sering jadi pertimbangan utama, walau modal psikologis tak kalah penting.
Awal pekan ini, video seorang ibu memarahi laki-laki penjual cilok karena berani memacari anak perempuannya yang berpendidikan lebih tinggi viral. Dalam video, penjual cilok berkaus dan bertopi hitam itu hanya diam mendengar cacian sang ibu, pun saat tutup dandang tempat ciloknya dibanting.
Hingga Selasa (21/1/2020), video yang diunggah dua hari sebelumnya itu sudah ditonton 1,6 juta kali. Respon warga net umumnya kesal atas penghinaan sang ibu serta sikapnya yang menjadikan status sosial dalam menentukan pasangan anaknya. Sebagian warga net percaya, status sosial saat ini bukan jaminan di masa depan.
Selasa malam, muncul video yang menglarifikasi kemarahan warga net. Video baru itu masih menunjukkan cacian sang ibu pada penjual cilok, namun dengan sudut berbeda, lengkap dengan aba-aba dan arahan pengambilan video. Video viral itu hanya adegan syuting dan orang-orang di video tersebut hanya bermain peran. Hingga Kamis (23/1/2020), video klarifikasi itu baru ditonton seperlima kali dibanding video pertama yang viral.
Walau bukan cerita riil, video itu adalah cerminan sejarah manusia dalam mencari pasangan. “Dari tinjauan psikologi evolusi, manusia memilih pasangan untuk bertahan hidup dan melanjutkan keturunan," kata peneliti hubungan romantis dan dosen Fakultas Psikologi Universitas Bina Nusantara, Jakarta Pingkan CB Rumondor, Rabu (22/1/2020).
Dari tinjauan psikologi evolusi, manusia memilih pasangan untuk bertahan hidup dan melanjutkan keturunan.
Pada dasarnya, saat mencari pasangan, laki-laki mencari perempuan yang subur dan bisa merawat anak mereka. Tanpa disadari, kriteria itu membuat laki-laki lebih memandang fisik dalam mencari pasangan.
Namun saat memilih pasangan, aspek psikologi sosial lebih berperan, bukan hanya psikologi evolusi. Manusia akan mencari kesamaan, baik latar belakang sosial, pendidikan, budaya, hingga nilai, untuk dapat pasangan yang cocok.
“Untuk dapat tertarik dan membina hubungan intim, orang tidak hanya harus sering bertemu, tapi memiliki kesamaan,” katanya.
Sementara perempuan lebih memilih pasangan berdasarkan status sosial calon pasangannya, baik materi, pendidikan, atau latar belakang keluarganya. Perempuan butuh stabilitas dan hal yang paling mudah dilihat adalah tingkat ekonomi atau pendidikannya. Mereka ingin laki-laki pasangannya bisa diandalkan jadi ayah anak-anak mereka.
Perempuan lebih memilih pasangan berdasarkan status sosial calon pasangannya, baik materi, pendidikan, atau latar belakang keluarganya.
Namun definisi stabil bagi perempuan tak melulu tentang status sosial. Mereka juga bisa mempertimbangkan kestabilan psikologi, seperti sikap yang tegas, cerdas walau pendidikan rendah, atau sikap gigih yang penting untuk bertahan hidup. Selain itu, stabilitas itu umumnya dilihat ada pada laki-laki yang lebih tua hingga perempuan cenderung memilih pasangan yang lebih tua darinya.
“Pemilihan itu bukan diskriminasi, tapi rasional dalam memilih pasangan,” tambah Pingkan. Proses evolusi membuat perempuan butuh pasangan yang bisa membuat hidupnya mapan.
Bergeser
Penilaian atas status sosial dalam pemilihan pasangan itu sudah berlangsung sejak peradaban manusia dimulai. Perkawinan dianggap sebagai salah satu sarana mobilitas sosial dan pemerataan kesejahteraan.
Perilaku pemilihan pasangan itu melahirkan cerita-cerita legenda romansa di berbagai belahan dunia dan melahirkan banyak tokoh fiksi yang kandas cintanya karena beda status sosial. Ada Romeo dan Juliet di Eropa, Qais dan Laila di Arab, Sampek dan Engtay alias Liang Shanbo dan Zhu Yingtai di China, serta Sitti Nurbaya dan Samsulbahri di Indonesia.
Meski demikian, kehidupan manusia terus berkembang. Pandangan perempuan memilih laki-laki yang berumur lebih tua, berpendidikan lebih tinggi, atau memiliki status dan ekonomi lebih baik sebagai pasangan mulai bergeser. Modernisasi, urbanisasi, tingkat pendidikan perempuan yang makin baik, melonggarnya nilai, pendewasaan usia kawin, hingga melemahnya kontrol orangtua jadi pemicu.
Modernisasi, urbanisasi, tingkat pendidikan perempuan yang makin baik, melonggarnya nilai, pendewasaan usia kawin, hingga melemahnya kontrol orangtua jadi pemicu.
Ahli demografi sosial dari Sekolah Geografi, Universitas Melbourne, Australia yang banyak meneliti pola perkawinan di Indonesia, Ariane Utomo dalam diskusi Kompas-Asia Institute, Universitas Melbourne di Jakarta, 8 Juli 2019 mengatakan beda usia laki-laki dan perempuan dalam perkawinan di Indonesia makin mengecil.
“Beda rata-rata usia kawin pasangan turun dari 6,4 tahun pada 1980-an jadi 4,5 tahun pada 2015,” katanya. Perubahan itu akan mengubah pola relasi gender dan dinamika kekuasaan keluarga Indonesia.
Demikian pula soal pendidikan. Dari 1982 hingga 2015, sebanyak 48-50 persen pasangan kawin di Indonesia punya tingkat pendidikan sama. Namun, perempuan yang menikah dengan lelaki berpendidikan lebih tinggi turun dari 39 persen jadi 27 persen. Sebaliknya, perempuan yang mengawini laki-laki berpendidikan lebih rendah justru naik dari 10 persen jadi 22 persen.
Perkawinan antarsuku pun makin mudah ditemukan, khususnya di daerah dengan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan baik, seperti Jakarta, Riau dan Kalimantan Timur. Di ketiga daerah itu, perkawinan dengan pasangan dari suku yang sama lebih rendah dibanding daerah lain.
Perubahan sosial itu akhirnya turut mengubah pola pemilihan pasangan di Indonesia. Proses pemilihan pasangan di Indonesia lebih kompleks karena melibatkan orangtua dan keluarga. Di Indonesia, pernikahan berlangsung bukan antarindividu semata, tapi antarkeluarga. Situasi itu sering berujung pada lahirnya konflik seperti di adegan video tersebut.
Masyarakat Indonesia saat ini sedang dalam fase transisi. Lelaki dan perempuan makin setara. Demikian pula hubungan orangtua dan anak. Budaya kolektif makin turun dan hak individu menguat. Orangtua tetap punya hak dalam menentukan pasangan anaknya, tapi anak juga berhak menentukan yang membuatnya bahagia karena toh mereka yang akan menjalaninya.
Menurut Pingkan, dalam membantu memilih pasangan untuk anaknya, orangtua tidak cukup melihat kriteria ideal dan status sosial saja. Untuk membuat sebuah hubungan bahagia dan langgeng, pasangan yang baik, jujur, menarik, berpendidikan tinggi, dan mapan saja tidak cukup.
Untuk membuat sebuah hubungan bahagia dan langgeng, pasangan yang baik, jujur, menarik, berpendidikan tinggi, dan mapan saja tidak cukup.
"Kepuasan sebuah hubungan sangat ditentukan oleh interaksi, komunikasi, keterbukaan, hingga kesamaan dan perbedaan nilai pasangan,” katanya. Di masa lalu, pernikahan bisa bertahan hanya karena kesetiaan dan pengabdian. Kini, hubungan tanpa kebahagiaan jadi hal sangat sulit.
Kecocokan anak dengan calon pasangan perlu diperhatikan. Orangtua idealnya mengamati dan mengingatkan hal yang bisa mengganggu hubungan mereka. Apapun nilai yang digunakan dalam memilih pasangan, semua punya konsekuensi dan risiko.
Orangtua dan anak perlu mendiskusikan, bernegosiasi dan mencari titik temu. Namun dalam budaya Indonesia, diskusi setara yang mau saling mendengarkan dan memahami antara orangtua dan anak belum terbangun. Masih banyak orangtua menuntut kepatuhan penuh anak.
Seiring berubahnya pola masyarakat memilih pasangan, diskusi sehat orangtua dan anak perlu terus dibangun. Toh kebahagiaan anak akan jadi kebahagiaan orangtua, demikian pula sebaliknya.