Pengawasan Investasi Diperketat, Pelaku Industri Sepakat
Pelaku industri asuransi jiwa menyambut baik rencana regulator memperketat pengawasan terhadap investasi yang dilakukan perusahaan di industri keuangan nonbank.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku industri asuransi jiwa menyambut baik rencana regulator memperketat pengawasan terhadap investasi yang dilakukan perusahaan di industri keuangan nonbank. Kondisi ini menyusul maraknya kerugian investasi yang terjadi pada perusahaan asuransi milik pemerintah.
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Togar Pasaribu mengatakan, sebagai bagian dari industri jasa keuangan, industri asuransi jiwa merupakan industri yang harus dijalankan dengan prinsip kehati-hatian. Jalannya bisnis asuransi jiwa juga perlu menjunjung tinggi prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik, termasuk etika dalam berusaha.
”Selain diawasi regulator, saat ini pengawasan asuransi jiwa sudah dilakukan secara berlapis, dimulai dari pengawasan dan pengendalian internal oleh dewan komisaris perusahaan, auditor internal, serta komite-komite di bawah direksi,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (23/1/2019).
Kinerja industri asuransi menyedot perhatian publik setelah masalah likuiditas di sejumlah perusahaan usaha asuransi jiwa menyebabkan perusahaan tidak mampu membayarkan klaim kepada nasabahnya. Dua kasus yang berlangsung dalam waktu cukup lama terjadi pada Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 dan PT Asuransi Jiwasraya (Persero).
Persoalan yang mendera Jiwasraya mulai terkuak sejak perusahaan gagal membayar klaim senilai Rp 802 miliar pada kuartal terakhir 2018. Angka ini terus membengkak hingga menyentuh Rp 12,4 triliun pada akhir 2019 serta berbuntut penahanan sejumlah mantan petinggi perseroan dan pihak-pihak terlibat.
Jiwasraya menghadapi masalah dari produk JS Saving Plan yang menawarkan imbal hasil terlalu tinggi, hingga 7 persen. Namun, alih-alih menginvestasikan dana yang terkumpul pada instrumen investasi minim risiko, perseroan malah menempatkan dana nasabah pada saham-saham berisiko tinggi.
Masalah likuiditas yang menjangkiti Bumiputera juga disebabkan manajemen melakukan investasi pada instrumen yang tidak prudent. Hingga 5 November 2019, AJB Bumiputera memiliki outstanding klaim senilai Rp 4,1 triliun.
Adapun potensi klaim pemegang premi asuransi jiwa Bumiputera pada 2020 mencapai Rp 5,5 triliun sehingga potensi nilai klaim yang belum terbayar oleh Bumiputera mencapai Rp 9,6 triliun.
Pedoman investasi
Togar menyesalkan adanya kejadian gagal bayar manfaat asuransi jiwa yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir akibat dana yang terkumpul tidak dikelola dengan baik. Hal ini membuatnya mendukung rencana regulator membentuk pedoman investasi untuk memitigasi risiko kegagalan investasi.
”Oke juga, sih, kalau misalnya investasi asuransi jiwa dibatasi pada saham blue chip (unggulan) saja. Tetapi perlu diingat juga bahwa saham blue chip belum tentu bagus,” kata Togar.
Guna mencegah berulangnya peristiwa serupa di kemudian hari serta untuk melindungi para nasabah pemegang polis, pemerintah pun kembali menggodok rencana aturan pembentukan lembaga penjamin polis (LPP).
Sebelumnya, OJK juga menyatakan akan melakukan reformasi dan transformasi di industri keuangan nonbank, termasuk asuransi. Transformasi tersebut akan tuntas secepatnya dalam dua tahun, lebih cepat dari transformasi industri perbankan selama periode 2000-2005 silam.
”Kami menyadari, industri asuransi membutuhkan perhatian lebih serius untuk memperbaiki governance, kehati-hatian, dan kinerjanya. OJK akan mengeluarkan pedoman manajemen risiko dan governance serta format laporannya,” ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso belum lama ini.
Risiko lain yang perlu diperhatikan oleh pelaku IKNB adalah likuiditas, mismatch pendapatan dengan klaim, hingga potensi volatilitas harga saham sebagai risiko di pasar modal.
Kerugian
Mengacu data statistik tentang asuransi yang dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), nilai kerugian bersih industri asuransi jiwa pada 2019 mencapai Rp 8,64 triliun. Nilai ini melonjak hampir 300 persen dari posisi kerugian bersih pada 2018, yakni sebesar Rp 2,17 triliun.
Apabila ditilik lebih jauh, sebelum 2018 industri asuransi jiwa tidak mencatatkan kerugian. Dari data OJK, pada 2017, industri asuransi jiwa mencatatkan laba setelah pajak sebesar Rp 11,12 triliun, meningkat 30 persen dari capaian laba setelah pajak tahun sebelumnya sebesar Rp 8,55 triliun.
Togar Pasaribu menyatakan, berdasarkan data yang dirilis OJK tersebut, industri asuransi jiwa memang mencatatkan kerugian bersih atau setelah pajak pada tahun lalu. Namun, penyebab kondisi tersebut harus dilihat per perusahaan asuransi.
”Kondisi ini memang terjadi bertepatan dengan terungkapnya sejumlah kasus yang melanda pelaku usaha di sektor tersebut. Namun, penyebabnya apa mesti lihat data per perusahaan supaya jelas,” ujarnya.
Togar menambahkan bahwa kinerja industri tidak hanya berdasarkan laba atau rugi bersih, tetapi juga laba atau rugi komprehensif. Mengacu data yang sama, kerugian komprehensif dari industri asuransi jiwa pada 2019 mencapai Rp 2,2 triliun. Industri ini pun sepanjang tahun lalu mencatatkan total nilai aset mencapai Rp 533,21 triliun.