Pemerintah terus menggencarkan pendidikan literasi digital terhadap masyarakat agar tidak terprovokasi dengan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) karena diyakini dapat menjadi sumber konflik horizontal.
Oleh
AGNES THEODORA DAN ANITA YOSSIHARA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah terus menggencarkan pendidikan literasi digital terhadap masyarakat agar tidak terprovokasi dengan isu suku, agama, ras, dan antargolongan atau SARA karena diyakini dapat menjadi sumber konflik horizontal.
Dengan begitu, pemerintah berharap berbagai kontestasi politik, termasuk pilkada serentak 2020, tidak lagi dikotori dengan penyebaran kabar bohong serta isu-isu yang memecah belah, berbasis perbedaan suku, agama, dan ras.
Pemerintah didorong mewujudkan peta jalan literasi digital guna mengantisipasi potensi ancaman penyebaran kabar bohong (hoaks). Apalagi, hasil survei Gerakan Nasional Literasi Digital Siberkreasi pada Maret-November 2019 di 18 kabupaten/kota di Indonesia menunjukkan, 95,8 persen dari 987 responden mengaku pernah menjumpai hoaks.
Namun, 54,4 persen responden mengaku terkadang bingung membedakan konten hoaks dan fakta. Padahal, responden survei ini mayoritas kaum terpelajar berusia 15-45 tahun, di antaranya pelajar, mahasiswa, guru, dan aparatur sipil negara.
Hasil survei Gerakan Nasional Literasi Digital Siberkreasi pada Maret- November 2019 di 18 kabupaten/kota di Indonesia menunjukkan, 95,8 persen dari 987 responden mengaku pernah menjumpai hoaks. Namun, 54,4 persen responden mengaku terkadang bingung membedakan konten hoaks dan fakta. Padahal, responden survei ini mayoritas kaum terpelajar berusia 15-45 tahun.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyatakan, edukasi literasi digital terhadap masyarakat dilakukan melalui sejumlah lembaga. Program literasi juga diberikan sejak dini.
”Kami malah sudah mulai sejak awal. Kami memang ingin membangun masyarakat yang rukun, berkarakter. Karena itu, sejak di tingkat pendidikan paling bawah oleh Kemendikbud sudah dicanangkan, salah satunya pusat penguatan karakter,” kata Amin, di Kantor Wapres, Jakarta, Rabu (22/1/2020).
Pendidikan literasi antihoaks diberikan sejak dini untuk membentuk generasi yang mampu menangkal isu SARA hingga radikalisme. Edukasi juga penting agar tidak ada lagi masyarakat yang mempersoalkan ideologi Pancasila.
Lima tahun terakhir, politik identitas semakin acap digunakan dalam kontestasi politik, baik pemilu maupun pilkada. Isu SARA menjadi lebih efektif tersebar di masyarakat karena kemudahan teknologi. Hoaks dan informasi menyesatkan cepat tersebar karena penggunaan media sosial.
Antisipasi ancaman
Perspektif peta jalan literasi digital harus didudukkan dalam konteks teknologi digital tidak hanya membawa peluang, tetapi juga ancaman. Untuk bersiap menghadapi Pemilihan Kepala Daerah 2020 dan Pemilihan Umum 2024, perkembangan teknologi harus diantisipasi dengan membekali masyarakat agar tidak mudah termakan hoaks politik yang menjamur di media sosial.
Direktur Indonesia New Media Watch Agus Sudibyo menilai, sejauh ini perkembangan teknologi cenderung disikapi satu sisi secara euforia. Peluang yang dibawa era digital dimanfaatkan dan diberdayakan, tetapi dampak negatif yang dibawa perkembangan teknologi digital tidak diantisipasi.
Negara-negara maju dengan tingkat kesadaran literasi digital yang tinggi sudah melewati euforia perkembangan teknologi yang kini dirasakan Indonesia dan sudah menemukan formula untuk mengantisipasi itu. ”Sementara kita masih mengalami euforia itu, kita belum memandangnya dengan perspektif kritis,” kata Agus.
Sementara kita masih mengalami euforia itu, kita belum memandangnya dengan perspektif kritis.
Meski demikian, ia melihat adanya kesadaran menuju peningkatan literasi digital di ruang kelas. Kementerian Komunikasi dan Informatika bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menguatkan kurikulum pelajaran informatika agar tidak hanya mencakup kompetensi teknis, tetapi juga aspek literasi digital untuk siswa SD hingga SMA. Targetnya, kurikulum itu bisa diterapkan pada 2021 (Kompas, 22/1/2020).
Adapun literasi digital tidak hanya kemampuan memakai teknologi digital, tetapi juga kombinasi pengetahuan dan sikap dalam mengakses, menganalisis, dan mengomunikasikan informasi dengan cara etis, toleran, bertanggung jawab, rasional, dan menghargai prinsip- prinsip hak asasi manusia.
Kemampuan ini, menurut Agus, sangat dibutuhkan dalam konteks Indonesia di mana masyarakatnya terpapar pada internet, tetapi tidak memiliki tingkat literasi yang tinggi. Apalagi, mengingat tingginya tensi politik, tidak hanya saat pemilihan umum, tetapi juga dalam berbagai momentum politik, masyarakat perlu dibekali tameng daya berpikir kritis untuk tidak mudah percaya dan menyebar informasi yang mereka terima.