Banyak pihak memantau pernyataan pejabat negara. Jika ada pernyataan yang dianggap janggal, publik akan mengambil langkah untuk mencari penjelasan mengenai pernyataan itu.
Oleh
SHARON PATRICIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi melaporkan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly ke Komisi Pemberantasan Korupsi terkait dugaan tindak pidana menghalang-halangi proses penyidikan kasus dugaan suap pergantian antar waktu anggota DPR RI. Dugaan ini berawal dari kesalahan Yasonna dalam memberikan informasi mengenai keberadaan Harun Masiku, tersangka penyuap mantan anggota Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan.
Pada 16 Januari 2020, Yasonna mengatakan Harun masih berada di luar negeri sejak 6 Januari 2020. Namun, Selasa (22/1/2020) kemarin, jajaran Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kemenkumham mengubah informasi yang menyatakan Harun telah kembali ke Indonesia pada Selasa, 7 Januari 2020, atau sehari sebelum operasi tangkap tangan KPK terhadap Wahyu.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana mengatakan, Yasonna menyebar informasi yang tidak benar saat kasus sudah dalam tahap penyidikan per 9 Januari 2020. Karenanya, Yasonna patut diduga menghalangi proses hukum atau obstruction of justice yang diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman pidana penjara maksimal 12 tahun.
“Sebenarnya, kan, sederhana. Mereka (Kemenkumham) tinggal mengecek closed-circuit television (CCTV) di bandara bagian kedatangan internasional. Rentang dua minggu kami pandang tidak cukup membenarkan alasan dari Ditjen Imigrasi kemarin,” ujar Kurnia, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (23/1/2020).
Kurnia bersama koalisi masyarakat sipil antikorupsi melaporkan Yasonna terkait dugaan obstruction of justice kepada KPK. Selain ICW, beberapa elemen masyarakat yang tergabung dalam koalisi, yaitu Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, dan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia.
Deputi Koordinator Advokasi KontraS, Putri Kanesia menyoroti, kapasitas Yasonna sebagai Menkumham seharusnya memberikan informasi yang valid, bukan informasi yang kurang jelas dan diklarifikasi kemudian. “Itu berbahaya sekali,” ucapnya.
Pernyataan Yasonna, kata Putri, menyebabkan proses pencarian terhadap Harun semakin lama. Koalisi masyarakat sipil antikorupsi juga akan melaporkan dugaan ini kepada Ombudsman.
Selain itu, koalisi masyarakat sipil antikorupsi mendesak pimpinan KPK agar segera menerbitkan surat perintah penyelidikan atas adanya obstruction of justice. Presiden juga didesak untuk memberhentikan Yasonna sebagai Menkumham.
Menanggapi hal ini, Wakil Ketua KPK, Nawawi Pamolango menyampaikan, yang terpenting saat ini adalah mencari keberadaan Harun dan menangkapnya. KPK pun yakin dapat menangkap Harun. “Saya yakin ini hanya soal waktu, terlebih pencarian ini didukung penuh teman-teman di Kepolisian. Tingkahnya yang bersangkutan (Harun) ini cuma bikin ‘gemes’, Insya Allah ketangkap,” ucapnya.
Resistan
Kurnia kembali menyampaikan, kasus dugaan suap pergantian antar waktu anggota DPR RI sebenarnya sederhana saja. Namun, ada pihak yang ingin menggeser isu hukum ke wilayah politis. KPK pun mengalami resistansi yang cukup tinggi.
Pertama, KPK gagal menyegel kantor Dewan Pimpinan Pusat PDI-P karena dituding tidak membawa surat lengkap. Padahal, Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar menyatakan tim sudah dilengkapi dokumen yang lengkap.
“Menjadi pertanyaan, mengapa menyegel kantor DPP PDI-P menjadi begitu sulit? Padahal berkaca di masa lalu, KPK bisa menyegel ruang kerja Komisioner KPU (Wahyu Setiawan), ruang kerja Menteri Agama (Lukman Hakim), hingga ruang kerja Ketua Mahkamah Konstitusi (Akil Mochtar),” kata Kurnia.
Selain itu, tim penyidik KPK juga dihalang-halangi saat bekerja di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian bahkan diminta tes urine. Padahal, diduga kuat ada pihak-pihak yang terlibat dalam kasus suap.
“Proteksi dari pimpinan KPK pun tidak terlihat. Semestinya jika ada kejadian seperti ini, Ketua KPK, Firli Bahuri bersama empat pimpinan lain mampu menjelaskan duduk perkara sebenarnya,” kata Kurnia.
Ketiga, DPP PDI-P membentuk tim advokasi hukum yang pembentukannya diumumkan oleh Yasonna. “Bagaimana memisahkan Yasonna sebagai Menkumham dan Ketua DPP bidang Hukum dan HAM? Atas dasar itu kami menduga keras ada konflik kepentingan antara Yasonna dengan kasus yang ditangani KPK,” tegas Kurnia.