Menjaga Kebersamaan meski di Antara Pilu
Pilu kecelakaan bus PO Purnama Sari di Jalur Bandung-Subang, Ciater, Kabupaten Subang, Jawa Barat, masih tersisa, Minggu (19/1/2020). Tidak hanya serpihan bus dan barang penumpang, kesetiakawanan itu masih hidup di sana.
Pilu kecelakaan bus PO Purnama Sari di Jalur Bandung-Subang, Ciater, Kabupaten Subang, Jawa Barat, masih tersisa, Minggu (19/1/2020). Tidak hanya serpihan bus dan barang milik penumpang yang terlempar, kesetiakawanan itu masih ada di sana.
Minggu siang, bagian atas badan bus yang berwarna hijau itu tampak mencolok dari kejauhan. Serpihan kaca dan beberapa potong spons landasan tempat duduk penumpang pun masih ada. Jika dilihat lebih dekat, barang-barang milik penumpang banyak berserakan, yaitu potongan pakaian, sebuah sandal, sepatu, boneka, bantal kepala, jam tangan, hingga seloyang kue bolu yang hancur.
Bus yang dikemudikan Dede Purnama (41) itu membawa 58 penumpang dari Depok, Jawa Barat. Mereka hendak pulang ke Depok setelah berwisata di Tangkuban Parahu, Bandung. Akibat kecelakaan itu, 8 orang tewas, 10 orang luka berat, dan 20 orang luka ringan.
Jejak kecelakaan kali ini mengundang penasaran. Terik matahari siang itu tak menyurutkan rasa penasaran beberapa orang yang sengaja memarkirkan kendaraannya untuk berswafoto di lokasi kejadian kecelakaan itu. Ekspresi wajah mereka seolah menggambarkan ketakutan dan tak berhenti menggelengkan kepala.
Sekitar 15 meter dari lokasi, Anjas Sandi Prianto (20), barista kedai Wah Kopi, memperhatikan beragam tingkah orang itu. Bagi dia, lokasi itu mengingatkannya pada suatu peristiwa tragis yang merenggut nyawa beberapa orang pada Sabtu (18/1/2020) sore.
Baca Juga : Bus Terguling di Jalur Bandung Subang 8 Orang Tewas
Lima menit sebelum kecelakaan, Anjas tengah duduk santai di depan kedainya bersama dua rekannya, Rehan (19) dan Gina (19). Mereka berbicara tentang jalur rawan kecelakaan di sepanjang lokasi tempatnya bekerja. Dalam obrolan itu, muncul kekhawatiran karena lokasi kedai cukup rawan. Maklum, jarak antara kedai kopi dan titik kecelakaan tak kurang dari 20 meter.
Anjas ingat betul saat bus tersebut melaju dengan kecepatan tinggi di depan matanya. ”Hanya hitungan detik, bus sudah oleng dan terseret,” ujarnya.
Semula ia mengira bus itu kosong tak berpenumpang. Namun, suara minta tolong dan tangisan orang semakin keras terdengar. ”Tolong, tolongin mama saya,” ujarnya sambil menirukan suara anak kecil yang ia dengar.
Posisi bus yang oleng ke kanan membuat para penumpang tertumpuk di bagian kanan bus. Bagian depan bus ini remuk. Kaca jendela pun pecah dan mengenai beberapa penumpang.
Ia dan Rehan pun segera berlari untuk meninjau dari dekat. Mereka tak sendiri, ada belasan warga lain yang ikut membantu evakuasi korban. Salah satunya adalah Pendi (40), pedagang bakso yang berjualan di samping kedai kopi itu. Ia berlari mengambil tangga bambu yang disimpan di rumahnya. Tangga itu digunakan untuk naik ke badan bus dan mengeluarkan korban.
Ini adalah pengalaman pertama Anjas, Rehan, dan Pendi menjadi saksi mata langsung peristiwa kecelakaan maut. Ada ketakutan yang muncul dalam benak mereka.
”Saya sempat down saat mau menolong mereka karena lemas. Saya tepis itu semua, pasti bisa. Pokoknya saya harus berani, kasihan mereka kesakitan,” ucap Anjas sambil menarik napas panjang.
Menurut Anjas, petugas datang sekitar 30 menit kemudian. Korban pun dibawa ke puskesmas terdekat dan dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah Subang. Hari semakin gelap, keheningan malam di lokasi tersebut pecah akan suara tangis dan minta tolong.
Tangan Anjas dan Rehan berlumuran darah. Bahkan, darah itu juga mengenai pakaian mereka. Bagi mereka, pakaian baru bisa dibeli, tapi nyawa orang tidak. Menyelamatkan korban kecelakaan memang berpacu dengan waktu.
Korban selamat diberi teh manis hangat dan air putih oleh Pendi. Salah satu korban yang ia selamatkan adalah seorang anak perempuan berusia tujuh tahun. Anak itu menangis dan meminta tolong agar ibunya diselamatkan. ”Saya lihat ibu di sampingnya diam saja. Banyak darah,” kata Pendi lirih.
Saya sempat down saat mau menolong mereka karena lemas. Saya tepis itu semua, pasti bisa. Pokoknya saya harus berani, kasihan mereka kesakitan. (Anjas Sandi Prianto)
Diduga lalai
Perhatian yang besar dari orang-orang di lokasi kejadian jelas kontras dengan dugaan kelalaian pengemudi dan pemilik bus. Dari pengakuan penumpang selamat, mereka sempat meminta agar pengemudi mengurangi kecepatan. Jalan berkelok dan banyak tanjakan dan turunan tajam membaut mereka cemas. Bus juga diduga kuat sudah dimodifikasi sehingga jaminan keamanan pun diragukan sempurna.
Direktur Penegakan Hukum Korlantas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Kushariyanto menambahkan, pengemudi diduga melaju dengan kecepatan tinggi saat melintasi jalan turunan. Kemudian, pengemudi memasuki jalur berlawanan lalu oleng karena ada perbedaan ketinggian antara aspal dan bahu jalan. Menurut dia, ada kelalaian dari sopir tersebut.
Karakteristik jalan penghubung Bandung-Subang di Kampung Nagrog, Desa Palasari, Kecamatan Ciater, Subang, itu memiliki lintasan berkelok yang didominasi tanjakan dan turunan. Pada tikungan di titik kecelakaan, mayoritas pengendara memacu kendaraannya dengan kecepatan di atas 50 kilometer per jam. Kondisi aspal bagus dan halus.
Dengan kontur jalan seperti itu, menurut Kushariyanto, kelihaian pengemudi dalam berkendara sangat penting. ”Mereka harus bisa mengantisipasi permainan gigi mesin saat menanjak dan menurun,” ucapnya.
Kushariyanto mengatakan, tim tidak menemukan ada bekas rem dari bus tersebut di sepanjang titik pemindaian. ”Di titik pertama tidak ada tanda upaya pengereman. Kalau ada, pasti ada bekasnya. Apakah karena sopir gugup atau bagaimana, nanti dilihat hasil akhirnya,” ucapnya.
Jalur Bandung-Subang dikenal berbahaya. Periode 2017-2019, tercatat terjadi tiga kecelakaan lalu lintas yang memakan banyak korban jiwa. Pada 5 September 2017, kecelakaan terjadi di Jalan Cagak di Desa Cijambe, Kecamatan Cijambe, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Minibus milik Perusahaan Oto Bus Widia terguling. Tiga orang tewas, lima orang luka berat, dan lima lainnya luka ringan akibat kejadian itu.
Selanjutnya, pada 10 Februari 2018, kecelakaan maut terjadi di Kampung Dawuan, Desa Ciater, Kecamatan Ciater, Kabupaten Subang. Sebanyak 27 orang tewas dalam kejadian ini. Di tempat yang sama, kecelakaan tunggal minibus Elf bernomor polisi E 7548 PB terjadi pada 12 Maret 2018. Empat penumpang luka berat dan 12 lainnya luka ringan.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi mengatakan, kendaraan hilang kendali sehingga sopir membanting kendaraan ke sebelah kanan untuk menghindari kendaraan yang berada di depan.
Akibatnya, bus tersebut terguling ke arah kanan. Dari hasil pemeriksaan, ditemukan posisi gigi persneling berada di gigi empat saat kecelakaan.
Adapun data kendaraan yang tertera dalam STNK ternyata tidak sesuai dengan fisik kendaraan, berdasarkan data pengujian kendaraan domisili, kendaraan dimodifikasi setelah uji berkala di pengujian Majalengka. Selain itu, kartu pengawasan juga sudah habis masa berlakunya pada 19 Mei 2017.
Budi menyayangkan bus telah dimodifikasi setelah dilakukan uji berkala. ”Terakhir bus ini melakukan pengujian pada 8 Oktober 2019, masa berlaku ujinya enam bulan, maka diperkirakan akan habis pada 8 April 2020 ini. Kami juga masih menunggu hasil penyelidikan komprehensif yang dilakukan bersama dengan pihak kepolisian,” katanya.
Baca Juga : Dari Kecelakaan Kepentingan hingga Keamanan
Menjelang sore, udara di dataran tinggi Subang terasa semakin dingin. Mereka yang sengaja berfoto di lokasi kejadian sudah jauh berkurang. Namun, kehangatan warga di sekitarnya belum usai. Pendi, misalnya, selalu bersyukur bisa ikut menolong anak perempuan yang usianya sama dengan putrinya.
Anak itu mengingatkan dia pada putrinya. ”Mereka seumuran. Saya membayangkan kalau musibah ini menimpa keluarga saya. Sedih sekali,” ucap Pendi.
Tak ada suatu kebetulan dalam hidup ini. Kejadian ini membuat mereka bersyukur karena mereka masih diberi kesempatan untuk menjalani hidup. Di tengah pilu, hangat kebersamaan itu tetap menyala demi sesama.