Massa buruh dari sejumlah perusahaan di Sumatera Utara berunjuk rasa menolak payung hukum “sapu jagad” atau Omnibus Law bidang ketenagakerjaan.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS – Massa buruh dari sejumlah perusahaan di Sumatera Utara berunjuk rasa menolak payung hukum “sapu jagad” atau Omnibus Law bidang ketenagakerjaan. Omnibus Law dinilai hanya bakal mengakomodir kepentingan investor, tetapi mengurangi hak buruh. Massa juga menuntut perlindungan pekerja rumahan yang selama ini tidak pernah dilindungi undang-undang.
“Massa buruh selama ini berjuang untuk hak upah layak dan jaminan sosial, tetapi belum dipenuhi. Pemerintah malah menyiapkan kemudahan bagi investor dengan mengurangi hak buruh,” kata pimpinan aksi Natal Sidabutar saat berorasi di depan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara, Medan, Kamis (23/1/2020).
Massa aksi yang terdiri dari sekitar 1.000 orang dari 11 organisasi buruh/pekerja itu memulai aksi unjuk rasa dari Lapangan Merdeka Medan. Massa yang bergabung dalam Aliansi Pekerja Buruh Daerah Sumut itu lalu bergerak ke kantor DPRD Sumut dengan mengendarai sepeda motor, mobil, dan berjalan kaki.
Mereka menyampaikan aspirasi dengan berorasi, membentangkan spanduk, dan poster penolakan Omnibus Law. Selain menolak Omnibus Law bidang ketenagakerjaan, mereka juga menyuarakan penolakan terhadap kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Natal mengatakan, mereka menolak Omnibus Law ketenagakerjaan karena berdasarkan draf yang diterimanya, payung hukum itu dinilai akan berdampak buruk bagi buruh.
Beberapa hal yang berpotensi terjadi seperti pengurangan sejumlah hak pekerja seperti pengupahan menjadi berdasarkan jam kerja, penghapusan istilah pesangon menjadi tunjangan pemutusan hubungan kerja, memberi kemudahan mempekerjakan tenaga kerja asing, dan memberi wewenang kepada Presiden untuk membatalkan peraturan daerah yang menghambat investasi.
Pekerja rumahan
Ketua Serikat Pekerja Rumahan Sejahtera Sumut Juliani mengatakan, hingga kini pemerintah belum membuat regulasi yang melindungi pekerja rumahan. “Kami kelompok pekerja yang paling termarjinalkan dengan upah yang sangat rendah, harus menyediakan alat produksi dan tempat bekerja sendiri, tanpa jaminan sosial apa pun,” katanya.
Juliani mengatakan, mereka sudah bertahun-tahun memperjuangkan regulasi untuk melindungi pekerja rumahan, tetapi tidak pernah diperhatikan pemerintah.
Juliani, misalnya, sudah 13 tahun bekerja sebagai penjahit dudukan kereta bayi (baby walker). Ia mendapat upah Rp 10.000 per lusin. “Kami bekerja dari pukul 08.00 hingga 23.00 setiap hari agar bisa mencapai target menjahit 40 lusin per minggu dengan upah Rp 400.000. Untuk pekerja pemula bahkan hanya bisa menjahit 20 lusin seminggu dengan upah Rp 200.000,” katanya.
Kami bekerja dari pukul 08.00 hingga 23.00 setiap hari agar bisa mencapai target menjahit 40 lusin per minggu dengan upah Rp 400.000. Untuk pekerja pemula bahkan hanya bisa menjahit 20 lusin seminggu dengan upah Rp 200.000.(Juliani)
Para pekerja pun harus menyediakan benang, jarum, dan rumah mereka sebagai tempat produksi. Rumah mereka selalu berantakan sepanjang hari tanpa mendapat kompensasi apa pun. “Praktik ini dilakukan perusahaan untuk menghindari hak-hak buruh. Namun, hingga kini pemerintah tidak pernah memikirkan perlindungan kami,” ujarnya.
Anggota DPRD Sumut Meryl Rouli Saragih mengatakan, mereka akan memperjuangkan aspirasi para pekerja tersebut. “Kami hanya bisa meneruskan aspirasi ini karena merupakan wewenang pemerintah pusat dan DPR RI,” ujarnya.
Meryl mengatakan, pada prinsipnya, mereka mendukung pemenuhan hak-hak buruh. Mereka akan menolak aturan yang mengurangi hak buruh.