Pemerintah perlu segera mengatasi sumber masalah yang menyebabkan munculnya fenomena kelompok halusinasi disruptif yang belakangan merebak dalam berbagai tipenya.
Oleh
Azyumardi Azra
·4 menit baca
Apa yang sedang terjadi dengan masyarakat Indonesia? Sejumlah kejadian pada awal tahun 2020 memperlihatkan peningkatan fenomena mencengangkan yang sulit dicerna nalar, tetapi diikuti cukup banyak warga. Orang boleh berbicara tentang optimisme sebagian warga Indonesia menyongsong Revolusi Industri 4.0 atau bahkan Revolusi Industri 5.0, yang bersandar pada nalar dan data-fakta empiris. Namun, saat artificial intelligence dan internet of things menyebar di tengah kesenjangan ekonomi, pendidikan, sosial budaya, dan agama, makin banyak warga mengalami disrupsi, dislokasi, dan disorientasi.
Orang juga boleh berbincang tentang generasi milenial yang dianggap sebagai tulang punggung, yang akan membawa Indonesia menjadi negara dengan ekonomi keempat atau kelima terbesar jelang 100 tahun kemerdekaan pada 2045. Namun, pada segi lain, terlihat fenomena warga yang justru ingin kembali ke masa silam secara keliru. Kembali ke masa lampau seharusnya dapat menumbuhkan semangat dan elan untuk kemajuan ke depan. Itulah sejarah untuk masa depan.
Fenomena yang terlihat adalah kembali ke masa silam secara navitistik, halusinatif, delusif, dan utopianistik. Ada kumpulan warga di bawah pimpinan figur tertentu ingin kembali ke masa silam yang mereka persepsikan sebagai ”kembali ke kejayaan” atau ”kemurnian dan kesempurnaan”.
Semua fenomena ini dapat disebut halusinasi disruptif. Ia bisa muncul dari kegagapan informasi dan teknologi; deprivasi ekonomi, kemiskinan, dan pengangguran; ketidakseimbangan pembagian kekuasaan politik dan obsesi politik; kepincangan sosial budaya antarkelompok; serta pelarian psikologi dari masalah akut tak terpecahkan dalam kehidupan.
Meminjam kerangka Frank Laroi et al (2014), berbagai faktor lingkungan (termasuk politik dan ekonomi), psikologis, bisa membuat orang rentan halusinasi. Bahkan, aspek sosial budaya tertentu dapat turut menyediakan lahan subur pertumbuhan halusinasi disruptif. Bisa pula terjadi pertemuan antara doktrin dan konsep eskatologis agama dengan budaya yang menyediakan ruang bagi halusinasi disruptif. Hal ini terlihat dalam fenomena imam mahdi, messiah, dan ratu adil dalam tradisi religio-kultur tertentu.
Dengan begitu, halusinasi disruptif laten dalam kehidupan warga. Semakin akut masalah yang menjadi sumbernya, kian meningkat perkembangan kelompok halusinatif disruptif. Hal ini lalu dapat menimbulkan gangguan dan kekacauan di bidang politik dan keamanan; ekonomi; sosial-budaya; serta agama.
Fenomena ini dapat dilihat dalam kemunculan berbagai kelompok halusinasi disruptif berbeda yang menghebohkan publik dan menyibukkan aparat keamanan.
Kelompok dengan tipologi pertama mencakup kelompok semacam Keraton Agung Sejagat Purworejo, Keraton Jipang Blora (Jawa Tengah); atau Sunda Empire (Kekaisaran) Bandung dan Kesultanan Selacau, Tasikmalaya (Jawa Barat). Kelompok-kelompok ini ingin membangun lagi kejayaan politik tradisional nativis, seperti Majapahit (aktual) atau Kekaisaran Sunda (imajinatif) atau juga Pajajaran.
Termasuk dalam tipologi pertama ini ialah kelompok-kelompok yang berangkat dari kerangka teologi dan eskatologi keagamaan. Sebagian berdasarkan pemahaman literal ayat-ayat suci, sedangkan sebagian lagi bertolak dari pemahaman eskatologis tentang figur mesianis, imam mahdi, atau ratu adil.
Tipologi kedua ialah kelompok-kelompok yang ingin mendapat harta, kekayaan, atau tujuan keagamaan tertentu secara cepat dan instan. Kelompok-kelompok seperti itu seolah kehilangan nalar sehingga cepat melahap tawaran-tawaran yang bisa disebut too good to be true—terlalu muluk untuk bisa benar. Dalam kerangka itu bisa dipahami kemunculan kelompok seperti MeMiles, First Travel, atau Abu Tours.
Sejauh ini halusinasi disruptif di Indonesia belum sampai mengorbankan nyawa, seperti pada kasus David Koresh yang memerintahkan pengikutnya (Davidian) bunuh diri di Waco, Texas, Amerika Serikat, pada 1993. Hal ini karena pemimpin kelompok halusinasi disruptif belum sempat menumbuhkan kelompoknya menjadi kultus (cult) dan juga belum mampu membangun dirinya sendiri menjadi figur karismatik yang kemauannya harus diikuti sepenuhnya.
Kerugian terbesar masih harta benda. Pemimpin kelompok menjanjikan harta secara mudah dan instan melalui kedudukan atau posisi tertentu di kerajaan halusinatif. Pada kasus lain lewat aplikasi top up tertentu. Atau menawarkan program tertentu, seperti umrah atau berhaji secara murah.
Oleh karena itu, para pemimpin kelompok tak lain adalah con-man, penipu, yang awalnya bisa menarik minat orang dengan berbagai iming-iming, trik, dan gimmick tertentu.
Meski kelompok halusinatif disruptif laten di Indonesia dan mengorbankan terutama dana—bukan nyawa—pemerintah nasional sampai ke level lokal perlu mengatasi sumber masalahnya; misalnya kepincangan yang dialami warga dalam kehidupan. Pemerintah sudah berusaha mengatasi berbagai kepincangan, tetapi hasilnya masih jauh dari harapan. Prioritas terlalu besar pada infrastruktur fisik jelas tak dapat menyelesaikan fenomena halusinasi disruptif.
Untuk itu, infrastruktur politik, ekonomi, sosial-budaya, pendidikan, dan agama mesti selalu diperkuat. Perlu penciptaan ranah dan ruang yang lebih kondusif bagi pertumbuhan infrastruktur nonfisik agar memiliki ketahanan menghadapi kelatenan halusinasi disruptif.