Tantangan Memajukan Ekonomi Digital
Kinerja ekonomi digital menerbitkan optimisme bagi masa depan pertumbuhan Indonesia di tengah perlambatan ekonomi global. Namun, pengembangannya membutuhkan konsistensi dukungan dari pilar lain, seperti infrastruktur, sistem logistik dan pembayaran, serta industri manufaktur.
Tahun ini, berbagai lembaga ekonomi dunia memproyeksikan masih adanya ketidakpastian ekonomi global. Perang dagang antara Amerika Serikat dan China menjadi akar ketidakpastian tersebut meski baru-baru ini agak mereda.
Dampaknya, volume perdagangan dunia menyusut dan harga komoditas anjlok. Pertumbuhan ekonomi global pun tertekan. Laporan Prospek Ekonomi Global terbaru yang dirilis Bank Dunia memperkirakan, pertumbuhan ekonomi global 2019-2020 berada di angka 2,4 persen hingga 2,5 persen.
Lambatnya pertumbuhan ekonomi dunia berdampak negatif bagi Indonesia. Perekonomian dalam negeri tahun ini diperkirakan tumbuh lebih landai dibandingkan 2018 dan 2019, yaitu 5,1 persen.
Menghadapi kondisi tak menentu, harapan untuk menumbuhkan ekonomi dalam negeri bisa difokuskan dengan menggenjot pasar domestik dan mendorong pertumbuhan ekonomi digital. Dalam laporan hasil riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) dan Laboratorium Data Persada dengan dukungan Google, terlihat besarnya potensi ekonomi digital itu.
Dalam laporan tersebut, total kontribusi ekonomi digital terhadap PDB Indonesia pada tahun 2018 diperkirakan Rp 814 triliun (56,4 miliar dollar AS) atau 5,5 persen dari PDB. Ekonomi digital juga menambah 5,7 juta lapangan kerja baru, atau 4,5 persen dari total tenaga kerja.
Prospek
Saat ini, menurut Survei APJII 2019, sekitar 171 juta orang atau lebih dari 60 persen penduduk Indonesia menggunakan internet. Dengan jumlah pengguna yang besar dan jaringan yang tersedia, potensi bisnis digital bisa berkembang tak hanya di kota besar, tetapi juga di wilayah terpencil yang terhubung internet.
Tak sekadar mencari informasi dan chatting, masyarakat kian menjadikan internet untuk belanja di dalam jaringan atau daring (online) sebagai bagian dari gaya hidup mereka. Maka, toko-toko online berwujud situs yang menawarkan jasa, barang, tiket pesawat, dan kamar hotel dengan iming-iming diskon besar-besaran bermunculan.
Perilaku konsumtif puluhan juta orang kelas menengah di Indonesia menjadi penyebab belanja online di Indonesia terus berkembang. Besarnya pengguna internet itu juga berpotensi mendorong peningkatan ekonomi berbasis digital.
Sejumlah kajian menunjukkan, potensi ekonomi digital Indonesia pada masa mendatang kian menjanjikan. Laporan dari Google, Temasek, dan Bain Company dalam e-Conomy SEA 2019 menyebut Indonesia bisa menghimpun perekonomian melalui digital sebesar 133 miliar dollar AS pada 2025.
Tahun lalu, ekonomi digital yang meliputi perdagangan elektronik, media online, transportasi online, wisata dan perjalanan, serta jasa keuangan digital sudah mencapai 40 miliar dollar AS, atau setara Rp 560 triliun. Angka ini tumbuh lima kali lipat dibandingkan tahun 2015 yang hanya mencapai 8 miliar dollar AS. Di Asia Tenggara, pertumbuhan ekonomi digital Indonesia termasuk yang paling pesat dalam lima tahun terakhir.
Dalam empat tahun ke depan, perdagangan elektronik Indonesia diprediksi tumbuh 12 kali lipat, sedangkan transportasi online tumbuh enam kali lipat. Pembiayaan di Indonesia pun berpotensi melebihi rekor yang tercatat pada tahun 2018.
Setali tiga uang, laporan McKinsey berjudul ”Unlocking Indonesia’s Digital Opportunity” menyebutkan, digitalisasi diprediksi memberi dampak sebesar 150 miliar dollar AS hingga tahun 2025. Transaksi berbasis digital di Indonesia berpotensi menambah 26 juta pekerjaan hingga 2025.
Indonesia termasuk negara dengan pertumbuhan usaha rintisan atau startup tercepat di dunia. Data startupranking.com menunjukkan bahwa startup Indonesia tumbuh dari 1.400 usaha pada 2017 menjadi 2.214 usaha pada 2019. Indonesia menempati urutan kedua di Asia dan urutan kelima dunia.
Adapun Kementerian PPN/Bappenas, seperti tercatat dalam Arah Kebijakan dan Strategi Pengembangan Ekonomi Digital tahun 2020-2024, menyebut, sektor informasi dan komunikasi tumbuh di atas 7 persen, jauh di atas pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini menjadi indikasi peningkatan peran ekonomi digital. Pertumbuhan tenaga kerja sektor teknologi informasi dan komunikasi juga meningkat pesat. Tahun 2018, peningkatannya 9,21 persen.
Sektor transportasi dan pergudangan juga tumbuh lebih dari 7 persen. Pertumbuhan yang tinggi ini salah satunya didorong pertumbuhan perdagangan elektronik dan transportasi online.
Tantangan
Berbagai kajian tersebut menggambarkan betapa besar potensi ekonomi berbasis digital yang dimiliki Indonesia. Jika ekonomi berbasis digital dikelola dengan baik, peluang kerja baru, baik dari sisi perdagangan elektronik, finansial teknologi, maupun on-demand services, akan terbuka.
Sebagai contoh, Tokopedia hingga 2019 sudah menampung sekitar 5 juta orang sebagai pelapak di platform-nya. Bukalapak memiliki 4 juta pelapak, sedangkan Gojek mempunyai 1,5 juta mitra pengemudi yang tersebar di seluruh Indonesia.
Dengan terbukanya kesempatan kerja, pendapatan masyarakat dapat meningkat sehingga kemiskinan dan ketimpangan di masyarakat bisa berkurang. Ekonomi berbasis digital juga bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan pemerataan pembangunan.
Namun, di sisi lain, potensi ekonomi digital yang besar tersebut tidak akan berkembang optimal jika beragam persoalan seputar transformasi digital tak diselesaikan. Visi ekonomi digital Indonesia 2020 untuk Go Digital bisa menjadi jauh panggang dari api.
Setidaknya terdapat tiga catatan penting yang perlu diperhatikan dalam memajukan ekonomi digital. Pertama, berkaitan dengan kesenjangan digital. Akses layanan telekomunikasi masih belum menjangkau semua desa di Indonesia, setidaknya masih ada 4.400 desa dalam kondisi blankspot.
Secara umum Indonesia masih mengalami pemusatan pengguna internet di beberapa daerah. Indonesia Bagian Barat memiliki fasilitas berbasis digital yang lebih baik dari Indonesia Timur. Hal itu tampak dari disparitas kecepatan akses internet. Kecepatan akses internet di Jakarta rata- rata 7 Mbps, sedangkan di Papua rata-rata hanya sekitar 300 Kbps.
Rendahnya tingkat kecepatan jaringan menjadi kendala menumbuhkan ekonomi digital. Peluncuran proyek Palapa Ring diharapkan dapat membuat jaringan telekomunikasi di Indonesia menjadi lebih baik.
Kedua, kualitas sumber daya manusia (SDM) rendah. Besarnya peluang pasar untuk ekonomi digital tidak diimbangi dengan jumlah SDM yang berkualitas dan sesuai kebutuhan industri. Di tengah pertumbuhan usaha rintisan yang demikian pesat, jumlah talenta tidak sebanyak permintaan. Akibatnya terjadi talent war. Seorang talenta berkualitas menjadi rebutan berbagai usaha rintisan.
Hal itu disebabkan pendidikan tinggi di Indonesia belum mampu menghasilkan SDM yang sesuai dengan kebutuhan industri saat ini. Padahal, SDM sangat berperan penting dalam meningkatkan daya saing ekonomi digital di dunia internasional. Kesenjangan antara lulusan pendidikan tinggi dan lapangan kerja terkini bisa diminimalkan dengan cara kolaborasi sektor bisnis serta akademik.
Tantangan lain, kurangnya literasi digital. Preferensi masyarakat dan indeks literasi keuangan di kawasan Indonesia Timur cenderung lebih rendah dibandingkan wilayah lainnya. Hal itu menjadi faktor penghambat yang berpengaruh dalam menghadapi era digital.
Ketiga, menyangkut regulasi dan perlindungan konsumen yang kurang memadai. Pesatnya perkembangan pelaku usaha dan teknologi yang ada tidak diimbangi dengan regulasi yang memadai. Di sisi lain, persoalan pajak perusahaan over the top (OTT) hingga saat ini tak kunjung usai. Perusahaan-perusahaan ini terus mengeruk penghasilan iklan di Indonesia.
Keamanan transaksi online masih rendah. Survei APJII (2016) menunjukkan, 30 persen pengguna internet atau sekitar 30,4 juta pengguna merasa transaksi online belum aman.
Arah kebijakan
Pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan dalam mendukung dan mendorong berkembangnya transformasi digital. Pada 2018, misalnya, pemerintah meluncurkan peta jalan yang disebut ”Making Indonesia 4.0” yang mengacu pada revolusi industri dalam bidang manufaktur dan industri.
Pemerintah perlu merancang dan mewujudkan pembangunan infrastruktur digital sesuai kebutuhan konektivitas teknologi broadband terkini, seperti 5G, layanan wireless broadband di rumah-rumah dan UMKM, serta penggelaran optik fiber teknologi yang kokoh. Pemerintah pun perlu bekerja sama dengan negara lain dalam mengembangkan ekonomi berbasis digital dan SDM berbasis digital. Jika pekerjaan rumah tersebut diselesaikan, di masa depan Indonesia bisa menjadi negara maju dan terdepan dalam hal ekonomi berbasis digital. (Litbang Kompas)