Menengok ”Rumput” Tetangga
Literasi digital adalah kebutuhan yang harus segera diterapkan saat masyarakat terpapar internet, tetapi rendah literasinya. Dari pengalaman negara lain, RI butuh gerakan literasi digital sistematik dan terstruktrur.
Literasi digital adalah kebutuhan yang harus segera diterapkan saat masyarakat terpapar internet, tetapi rendah literasinya. Berkaca pada pengalaman di negara lain, Indonesia butuh gerakan literasi digital yang lebih sistematis dan terstruktur.
”Rumput” tetangga selalu terlihat lebih hijau. Ketika membicarakan gerakan literasi digital sistemik untuk menangkal penyebaran misinformasi dan disinformasi di era demokrasi digital, pepatah itu bisa jadi ada benarnya. Indonesia perlu berkaca pada praktik negara-negara maju dengan tingkat demokrasi tinggi, yang ”rumput”-nya memang terbukti lebih hijau.
Ancaman penyebaran misinformasi dan disinformasi di Indonesia sudah sistemik. Indonesia, negara dengan temuan hoaks paling banyak di bidang politik, mengulangi siklus kegaduhan dan perpecahan yang sama di setiap perhelatan politik. Disinformasi kerap dibumbui ujaran kebencian, bias politik, serta sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan, yang memperparah perpecahan.
Sementara itu, ketahanan masyarakat terhadap manipulasi informasi masih rendah. Survei terbaru Gerakan Nasional Literasi Digital Siberkreasi pada Maret-November 2019 menunjukkan, level pendidikan seseorang belum tentu menjamin daya tahan arus banjir informasi di era digital.
Baca Juga: Literasi Digital Menentukan
Ancaman disinformasi harus ditangkal dengan gerakan literasi digital nasional yang sistemik dan terstruktur. UNESCO mendefinisikan literasi digital sebagai kemampuan memakai teknologi digital mulai dari mencari, mengevaluasi, hingga mengomunikasikan informasi digital. Literasi ini membutuhkan kemampuan teknis operasional dan kapasitas kognitif memaknai teknologi.
Ketahanan masyarakat terhadap manipulasi informasi masih rendah. Survei terbaru Gerakan Nasional Literasi Digital Siberkreasi pada Maret-November 2019 menunjukkan, level pendidikan seseorang belum tentu menjamin daya tahan arus banjir informasi di era digital.
Literasi digital terkait erat literasi media dan informasi, yaitu kombinasi pengetahuan dan sikap mengakses, menganalisis, dan mengomunikasikan informasi dengan cara etis, toleran, bertanggung jawab, rasional, dan menghargai prinsip-prinsip hak asasi manusia. Selain itu, menjaga akses informasi dan kebebasan berekspresi serta kemampuan mengkritisi informasi.
Prioritas pemerintah dan DPR belum diarahkan pada pentingnya kurikulum pendidikan dasar yang mencakup unsur-unsur literasi digital dan kemampuan berpikir kritis. Padahal, berkaca dari negara-negara lain dengan tingkat demokrasi tinggi, literasi digital jadi prioritas utama pengajaran sejak usia dini di ruang kelas.
Indeks Literasi Media 2018 yang dikeluarkan Open Society Institute mengarisbawahi, disinformasi relatif tak laku di tengah masyarakat terdidik. Negara yang memiliki daya tahan tinggi menangkal disinformasi yakni Finlandia, Swedia, Denmark, dan Belanda. Keempat negara ini mengajarkan literasi digital berbasis kemampuan berpikir kritis kepada masyarakat sejak usia dini.
Sejalan dengan itu, mengacu pada Indeks Demokrasi 2018 yang dikeluarkan The Economist Intelligence Unit, mayoritas negara Skandinavia itu juga tercatat punya demokrasi paling berkualitas. Bukan berarti tak ada hoaks. Namun, populasi masyarakat yang terdidik serta praktik jurnalisme yang bertanggung jawab dan tepercaya membuat dampak hoaks tak signifikan memengaruhi publik.
Di Finlandia, modul Fact-Checking for Educators and Future Voters (2018) yang dikeluarkan Faktabaari atau Factbar—organisasi pengecek fakta yang dibiayai Parlemen Uni Eropa—mengenalkan diklat materi pengajaran literasi digital dan pengecekan fakta secara sederhana untuk sekolah-sekolah. Modul bisa diakses publik secara gratis dan dicontoh guru dalam kegiatan belajar-mengajar sehari-hari.
Baca Juga: Komitmen Politik Dibutuhkan untuk Terapkan Literasi Digital dalam Kurikulum
Cara mengajarkan literasi digital diserahkan kepada kreativitas guru. Namun, modul itu memberi panduan sederhana mengajarkan literasi digital kegiatan belajar-mengajar sehari-hari. Misalnya, murid diminta menelisik kebenaran isu atau klaim. Mereka diminta mengecek kebenaran isu dengan cara yang diajarkan, bisa lewat aplikasi pengecekan fakta, silang ke sumber artikel lain, video wawancara, atau buku. Hasil observasi dan pengecekan fakta itu kemudian dipresentasikan dan didiskusikan bersama.
Cara mengajarkan literasi digital diserahkan kepada kreativitas guru. Namun, modul itu memberi panduan sederhana mengajarkan literasi digital kegiatan belajar-mengajar sehari-hari.
Cara lain, mengajak murid menciptakan konten bias atau palsu. Untuk bisa memahami fenomena hoaks dan mengenali informasi palsu, mereka dipersilakan membuat konten hoaks. Setiap murid diberi satu artikel obyektif, lalu mengubahnya menjadi bias lewat mengganti diksi, mengubah framing, atau menambah referensi untuk dukung framing-nya.
Selain pelatihan pengecekan fakta dan belajar mengidentifikasi hoaks atau artikel-artikel clickbait dalam tugas sehari- hari, murid juga dibiasakan aktif menggugat informasi yang diterima dari buku pelajaran atau guru yang mengajar. Bahkan, menjelang pemilu, para murid yang lebih tua diajak berpura-pura berkampanye politik untuk memahami hoaks dan propaganda politik.
Taman kanak-kanak
Di Australia, guna memudahkan guru-guru mengajarkan literasi digital, pemerintah menyediakan situs dengan modul digital yang bisa diakses. Situs itu menyediakan beragam ide pendekatan mengajar literasi digital yang bisa dipilih berdasarkan kelompok usia anak dan mata pelajaran, dari Ilmu Sosial sampai Matematika.
Di beberapa sekolah di Queensland, siswa sekolah dasar diberi insentif keleluasaan membawa telepon pintar atau gawai tablet ke ruang kelas jika lulus kelas literasi digital. Pendekatan itu membuat murid-murid semangat belajar dasar-dasar literasi digital.
Di beberapa negara maju, misalnya Kanada, literasi digital dan media diajarkan sejak taman kanak-kanak. Anak-anak usia dini dibiasakan mendiskusikan apa pun yang dikonsumsi dari televisi, buku cerita, dan internet. Misalnya, tokoh- tokoh "baik" dan "jahat" buku dongeng atau pengalaman anak-anak secara nyata yang mirip dengan buku cerita atau film yang konsumsi. Mereka diberi pemahaman informasi dibuat dengan tujuan tertentu.
Meski selangkah lebih maju, beberapa negara masih menghadapi persoalan serupa dengan Indonesia. Peneliti riset media dan literasi digital di Queensland University of Technology, Michael Dezuanni, mengatakan, penerapan literasi digital dalam kurikulum pendidikan masih bermasalah.
Tak ada kewajiban dan sanksi mengikat sekolah yang tak mengajarkan literasi digital dan media. ”Persoalan dasarnya kembali pada kualitas sekolah dan guru serta apakah mereka dibayar cukup mengajarkan literasi digital dan media di ruang kelas,” ucapnya.
Baca Juga: Menggali Inspirasi dari Khazanah Literasi Klasik Nusantara
Dileburkan
Penggerak Kelas Muda Digital Afra Suci Ramadhon mengatakan, literasi digital tak harus menjadi mata pelajaran berdiri sendiri, tetapi unsurnya dilebur ke mata pelajaran yang ada. Metode ini tepat digunakan di mata pelajaran sejarah mengingat banyak fakta sejarah yang kabur dan layak digugat. ”Jadi, metodenya diinsersi ke banyak mata pelajaran. Harus exercise-based, bukan teoretis atau hafalan. Intinya, dalam kegiatan belajar-mengajar sehari-hari, anak aktif diajak berdiskusi dan berdebat kritis,” katanya.
Tak perlu kita tanyakan lagi apakah kita bisa atau tidak. Sebab, opsinya hanya dua: mau terlambat mengajarkan literasi digital atau sangat terlambat?
Direktur Indonesia New Media Watch yang juga anggota Dewan Pers Agus Sudibyo mengatakan, literasi digital adalah kebutuhan dan keharusan yang harus segera diterapkan, terutama saat masyarakat terpapar internet, tetapi literasinya rendah. ”Tak perlu kita tanyakan lagi apakah kita bisa atau tidak. Sebab, opsinya hanya dua: mau terlambat mengajarkan literasi digital atau sangat terlambat?” katanya.
”Rumput” tetangga memang tak hanya terkesan lebih hijau, tetapi lebih hijau. Komparasi dan berkaca pada negara lain itu dibutuhkan guna mendorong terobosan gerakan literasi digital yang lebih sistematis dan terstruktur. Persoalannya bukan lagi kita mampu atau tidak, melainkan mau atau tidak?