Berani Membangun, (Belum) Berani Menjaga
Komitmen Jakarta melebarkan trotoar tak diragukan. Pada 2016-2019, penataan trotoar Jakarta mencapai 312,16 kilometer. Namun, pejalan kaki masih merasa tersisih. Komitmen menata itu belum diiringi ketegasan menjaga.
Komitmen Jakarta dalam menata trotoar sudah tak diragukan lagi. Dalam empat tahun terakhir, trotoar Jakarta terus berbenah dengan panjang penataan mencapai 312,16 kilometer sejak 2016-2019. Meskipun demikian, pejalan kaki masih lebih sering merasa tersisih di jalanan ibu kota. Komitmen membangun dan menata itu belum diiringi ketegasan penuh dalam menjaganya.
Selasa (21/1/2020), Annisa (30) sangat sedih. Setelah keluar Stasiun Tanah Abang, pukul 08.30, ia langsung berlari mengejar bus Transjakarta 8K rute Tanah Abang - Batusari yang tengah melaju pelan.
Di bawah tenda Satpol PP yang ada di ujung pagar depan stasiun, ia berdiri sambil menahan kesal karena bus tak terkejar. Gara-garanya, banyak penumpang yang keluar dari halaman stasiun untuk menuju halte temporer bus Transjakarta. Mereka harus melewati trotoar sempit. Sudah sempit, jalan tidak lancar karena trotoar dipenuhi PKL.
Jalan aspal dari arah kompleks dinas/Bareskrim, sama saja. Padat oleh angkot dan ojek pangkalan.
"Itu tadi bus sudah pelan, bisa saya kejar. Ini gara-gara PKL yang banyak memenuhi samping trotoar. Penumpang lain banyak yang berhenti jadi langkah saya terhambat," kata Annisa yang berkantor di Kebon Jeruk itu.
"Bisa telat lagi ini saya, karena nunggu bus pun lama lagi," katanya lagi.
Baca juga : Sepeda Motor dan Angkot Okupasi Trotoar Casablanca
Baca juga : Jalur Sepeda Sering Digunakan oleh Kendaraan Bermotor
Pemandangan semrawut dimana PKL yang berjualan makanan, minuman, camilan, hingga sendal sepatu di trotoar sekitar Stasiun Tanah Abang pagi hari sangat menganggu. Belum lagi angkot-angkot yang ngetem, berhenti mencari penumpang di Jalan Jatibaru Raya. Semua sangat menghambat para pejalan kaki serta bus Transjakarta yang lewat. Padahal, sebagian besar trotoar di pusat perbelanjaan Tanah Abang ini selesai direvitalisasi pada 2017.
"Seingat saya waktu 2018, bus-bus Transjakarta bisa parkir di ujung jalan itu. Mulai awal tahun 2019, angkot-angkot balik lagi dan bus terpaksa melaju pelan supaya penumpang bisa naik karena tidak bisa berhenti menunggu penumpang," kata warga Depok itu.
Namun, katanya, yang paling mengesalkan adalah PKL di trotoar. Itu membuat perjalanan tidak lancar.
Sebaliknya, kenyamanan berjalan kaki terasa saat menyusuri Jalan Sudirman-MH Thamrin yang sudah selesai ditata, sampai berbelok ke Jalan Kebon Sirih. Tak ada halangan dari okupasi, baik pedagang kaki lima maupun kendaraan yang nangkring parkir. Trotoar bersih dan mulus ditambah pepohonan rindang yang menaungi pejalan kaki dari teriknya Jakarta.
Akan tetapi, berbelok sedikit ke area Jalan Sabang, kenyamanan itu sirna. Pejalan kaki harus bersaing dengan pedagang kaki lima dan kendaraan-kendaraan yang diparkir hingga ke badan trotoar. Beberapa petak trotoar sudah berlubang karena kerusakan, aroma menyengat sampah makanan dan genangan air kotor terlihat di beberapa titik.
Padahal, trotoar Jalan Sabang baru selesai ditata pada 2013 lalu dilengkapi dengan parkir elektroniknya.
Akan tetapi, berbelok sedikit ke area Jalan Sabang, kenyamanan itu sirna. Pejalan kaki harus bersaing dengan pedagang kaki lima dan kendaraan-kendaraan yang diparkir hingga ke badan trotoar. Beberapa petak trotoar sudah berlubang karena kerusakan, aroma menyengat sampah makanan dan genangan air kotor terlihat di beberapa titik.
Pertegas keberpihakan
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebenarnya sudah memasukkan penataan trotoar dalam kegiatan strategis daerah (KSD). Kebijakan itu merupakan bentuk keberpihakan pada pejalan kaki sebagai kaum terlemah di jalan. Sebuah komitmen yang patut dipuji pada Hari Pejalan Kaki yang jatuh pada 22 Januari ini.
Penataan trotoar itu tak murah. Tahun ini, DKI Jakarta mengalokasikan Rp 1,1 triliun untuk penataan trotoar sepanjang 103,74 kilometer. Artinya, biaya penataan trotoar mencapai sekitar Rp 10,6 juta per meter.
“Dengan trotoar yang tak dijaga, penataan jadi sia-sia padahal dengan anggaran begitu besar. Tapi kemudian digunakan untuk berdagang, untuk parkir, jadi orang tetap enggan berjalan kaki,” kata Ahmad Syafrudin dari Koalisi Pejalan Kaki, Selasa.
Tak hanya ketidaknyamanan dari okupasi. Setiap hari masih terlihat sepeda motor yang naik ke trotoar sehingga pejalan kaki harus mengalah dan tersudut. Padahal, kata Syafrudin, undang-undang sampai peraturan daerah sudah lengkap mengatur pelanggaran fungsi trotoar bisa dikenai sanksi denda hingga Rp 1,5 miliar.
Dengan kondisi yang masih kurang bersahabat ini, para pejalan kaki tak hanya tersisih, namun juga terancam keselamatannya. Syafrudin mengatakan, secara nasional, 18 pejalan kaki meninggal dalam kecelakaan fatal.
Di Jakarta, angkanya jauh lebih rendah namun tetap membuat mengelus dada, yaitu 2-3 orang per bulan. “Ada yang terserempet kendaraan, tertabrak saat menyeberang. Sulit sekali lho menyeberang di Jakarta ini,” katanya.
Alfred Sitorus dari Koalisi Pejalan Kaki, menegaskan, trotoar itu tetap harus dikembalikan kepada fungsi awal, yaitu untuk pejalan kaki.
Melihat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta UU 38/2004 tentang Jalan, tidak ada satupun klausul yang menyebutkan trotoar boleh ada PKL.
Pasal 45 UU 22/2009 mendefinisikan trotoar sebagai salah satu fasilitas pendukung penyelenggaraan lalu lintas. Pasal 131 mengatur bahwa pejalan kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yakni trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas lain.
Hanya di Peraturan Menteri PUPR Nomor 03/PRT/M/2014 tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan yang memuat tentang pemanfaatan trotoar. Koalisi melihat aturan inilah yang dipakai untuk membolehkan PKL di trotoar.
Seharusnya, kalau bicara tentang trotoar, Gubernur DKI Jakarta kembali kepada pernyataan-pernyataan dia yang ingin memuliakan pejalan kaki, untuk memberikan tempat bagi pejalan kaki karena warga Jakarta adalah warga paling malas berjalan kaki.
"Kalau mau ada regulasi tentang trotoar, acuannya adalah kedua Undang-Undang, itu, bukan PermenPUPR," kata Sitorus.
Perda DKI Jakarta 5 Tahun 2014 tentang Transportasi juga sudah menyebutkan fungsi trotoar adalah tempat untuk pejalan kaki. Jadi sebaiknya trotoar memang dikembalikan kepada pejalan kaki.
Baca juga : Trotoar Multifungsi dalam Benak Warga
Minim
Panjang trotoar DKI Jakarta sendiri saat ini masih 20 persen dari total panjang jalan Jakarta sekitar 2.600 kilometer (km). Sementara dalam rencana strategis pembangunan daerah DKI Jakarta 2018-2022, penataan dan pembangunan trotoar ditargetkan 60 km per tahun.
Dengan angka ini, untuk mencapai kondisi ideal trotoar Jakarta diperlukan waktu sekitar waktu 50 tahun. “Itu pun kalau anggarannya tersedia karena anggaran kan tidak untuk trotoar saja,” kata Kepala Dinas Bina Marga DKI Jakarta Hari Nugroho.
Untuk itu, ia berusaha melakukan percepatan dengan target sekitar 100 km per tahun yang bisa memangkas waktu penataan menjadi sekitar 20 tahun.
Tahun 2016, Dinas Bina Marga DKI sudah menata trotoar sepanjang 47,97 km, meningkat menjadi 78,75 kilometer pada 2017 dan 118 km pada 2018. Tahun 2019, penataan trotoar mencapai 67,44 km dan pada 2020 ini ditargetkan 103,74 km.
Sebanyak tujuh titik ditargetkan ditata sebagai trotoar dengan konsep complete street, yaitu jalan yang dilengkapi trotoar sehingga mengakomodasi berbagai kepetingan mulai dari pejalan kaki, pesepeda hingga kendaraan bermotor.
Trotoar dengan desain complete street yang dilengkapi dengan pepohonan, bangku, dan jalur sepeda hingga jalur utilitas. Tujuh titik tersebut di antaranya Jalan Raden Patah, Mas Mansyur, Mangga Besar, Pramuka, Gunung Sahari, Casablanca, dan Jalan RA Kartini.
Hari mengakui, masih ada kesulitan pengawasan saat ini sehingga pelanggaran masih terus terjadi. Padahal, katanya, pengawasan sebenarnya sudah terus dilakukan. Termasuk pemasangan palang penghalang. Namun tetap saja, penyerobotan tak berhenti.
“Saya sudah sering minta pada wali kota setempat atau Satpol PP untuk menertibkan. Tapi ya gitu, saat ada aparat, tidak ada yang melanggar. Kalau sudah tak ada, ya kembali lagi. Kucing-kucingan,” katanya.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DKI Jakarta Arifin mengatakan, penertiban trotoar sudah selalu dilakukan setiap hari. Baik para PKL maupun parkir di atas trotoar. Prioritas utama adalah jalan-jalan protokol. “Petugas kami sudah tiap pagi berkeliling mengingatkan PKL untuk tak berjualan di trotoar di jalan-jalan protokol itu,” katanya.
Arifin mengatakan, pola penertiban untuk PKL sekarang berubah dari konsep lama. Saat ini, penertiban dilakukan secara persuasif, yaitu dengan dialog. Penertiban tak lagi dilakukan seperti 3-5 tahun lalu, misalnya, yaitu dengan langsung mengangkut dagangan PKL yang melanggar. Untuk pelanggar parkir dan kendaraan bermotor berjalan di trotoar, sejumlah pelanggar tetap dibawa ke sidang tindak pidana ringan.
Akan tetapi, ada beberapa lokasi yang memang nyatanya sulit dikendalikan. Seperti di kawasan Tanah Abang yang tak pernah jera melanggar fungsi trotoar secara berjamaah selama puluhan tahun.
Adapun untuk kawasan Sabang, kata Arifin, dikecualikan karena kawasan itu sedang direncana untuk penataan.
Terkait penataan kawasan Tanah Abang, Syafrin Liputo, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, menjelaskan, area di sekitar Stasiun Tanah Abang adalah satu dari empat stasiun yang segera ditata. Selasa kemarin, gerbang yang menuju tenda Satpol PP di ujung Jalan Jatibaru Bengkel sudah dibuka. Gerbang ini tepat menghubungkan pejalan kaki menuju tempat perhentian bus transjakarta.
"Kami sudah siapkan desainnya (penataan sekitar Stasiun Tanah Abang). Intinya penumpang yang turun dan akan meneruskan perjalanannya, pergerakannya dibuat menerus," kata Syafrin.
Jadi, lanjut Syafrin, di kawasan Stasiun Tanah Abang akan ada layby untuk Transjakarta, bus kecil atau mikrolet, parkir ojek, dan shelter ojek daring. PKL di kawasan stasiun juga akan ditata supaya tidak mengganggu arus pergerakan penumpang. Pergerakan penumpang itu nantinya di dalam kawasan stasiun sehingga steril dari PKL.
Setiap tahun, raturan miliar rupiah anggaran daerah digelontorkan untuk menata dan memperpanjang trotoar. Akan tetapi, tanpa ketegasan pada fungsi trotoar, komitmen keberpihakan pada pejalan kaki itu hanya menguntungkan pihak yang tak berhak sementara pejalan kaki masih harus berjuang sendiri.