Pemerintah Kota Bandung telah membangun sejumlah infrastruktur, seperti kolam retensi, basemen air, dan tol air untuk mengendalikan banjir. Namun, banjir tetap melanda saat musim hujan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS – Pemerintah Kota Bandung telah membangun sejumlah infrastruktur, seperti kolam retensi, basemen air, dan tol air untuk mengendalikan banjir. Namun, banjir tetap melanda saat musim hujan.
Pembangunan infrastruktur dinilai belum berdampak efektif mengurangi banjir. Penyebabnya, buruknya perencanaan dan minimnya ruang terbuka hijau (RTH) sehingga daya serap air tidak optimal.
“Solusi yang dikerjakan pemerintah tidak tuntas, justru menimbulkan masalah baru,” ujar Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat Meiki W Paendong. Hal itu diutarakan dalam diskusi “Menyoal Program Penanggulangan Banjir Kota Bandung Periode 2017-2019” di Bandung, Jawa Barat, Selasa (21/1/2020).
Meiki mencontohkan pembangunan basemen air di Jalan Pagarsih pada 2018. Proyek tersebut bertujuan untuk mengatasi banjir akibat luapan Sungai Citepus. Setelah basemen air dioperasikan, banjir di jalan itu berkurang. Namun, banjir di Kelurahan Cibadak, Kecamatan Astanaanyar, yang berada di pinggir Sungai Citepus justru semakin parah.
Salah satunya terjadi pada awal November 2019. Banjir hingga setinggi 1,5 meter merendam puluhan rumah. Akibatnya, lebih dari 100 warga terjebak di dalam rumah selama lebih dari dua jam.
Menurut Meiki, idealnya solusi mengatasi banjir dikaji secara menyeluruh. Dampak pembangunan infrastruktur harus dipertimbangkan matang-matang agar tidak menghasilkan masalah baru yang lebih besar.
“Solusi saat ini masih terkesan responsif dan tambal sulam. Sebaiknya pendekatan ekologis lebih diprioritaskan daripada pendekatan infrastruktur,” ujarnya.
Meiki menyoroti RTH di Kota Bandung yang masih sekitar 13 persen. Padahal Pasal 29 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan, proporsi RTH paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota.
Idealnya solusi mengatasi banjir dikaji secara menyeluruh. Dampak pembangunan infrastruktur harus dipertimbangkan matang-matang agar tidak menghasilkan masalah baru yang lebih besar
Penambahan RTH dinilai lebih efektif dalam mengatasi banjir. “Manfaatnya sangat besar untuk menyerap air. Harusnya ini yang lebih diperhatikan,” ujarnya.
Meiki juga mendorong Pemkot Bandung untuk mengawasi penyediaan lahan terbuka hijau pada bangunan komersil, seperti mal, hotel, dan apartemen. Jangan sampai ruang terbuka tersebut hanya sebatas formalitas namun tidak berfungsi menyerap air.
Peneliti Perkumpulan Inisiatif, Aang Kusmawan, mengatakan, program penanggulangan banjir di Kota Bandung belum efektif. Salah satu penyebabnya program penanganan banjir yang tidak konsisten.
Aang mengatakan, pada 2017, Pemkot Bandung mengalokasikan anggaran Rp 157 miliar untuk program pengendalian banjir. “Program ini tidak ada di 2018 dan 2019. Bisa jadi nama programnya berganti. Namun, sebaiknya program itu berkelanjutan sehingga lebih efektif,” ujarnya.
Menurut Aang, Pemkot Bandung menganggarkan puluhan miliar untuk pembangunan dan perbaikan drainase pada 2019. Namun, banjir limpasan masih saja menggenangi sejumlah ruas jalan saat hujan.
“Jangan sampai anggaran yang besar itu sia-sia. Rencanakan program dengan kajian menyeluruh sehingga dampaknya juga terbukti mengurangi banjir,” ujarnya.
Salah satu upaya Pemkot Bandung dalam mengatasi banjir adalah dengan membangun kolam retensi yang tersebar di beberapa lokasi, yaitu di Cisurupan, Pajajaran, dan Gedebage. Selain itu, Dinas Pekerjaan Umum Kota Bandung juga telah mengeruk sedimentasi dan sampah di sungai-sungai di Bandung pada Oktober lalu, sebelum musim hujan tiba.
Sebelumnya, Wakil Wali Kota Bandung Yana Mulyana mengatakan, pihaknya berencana menambah kolam retensi di Gedebage. Selain itu, untuk memaksimalkan daya serap air, drumpori juga akan ditambah.
Setiap RW ditargetkan mempunyai minimal 10 drumpori. Dengan jumlah sekitar 1.500 RW, Kota Bandung diharapkan mempunyai 15.000 drumpori hingga akhir 2020.