Harapan Asmail Sevani (15) kembali sekolah pupus sudah akibat tawuran. Ia meninggal di tangan sejumlah pemuda yang bernasib sama: putus sekolah. Tawuran dipicu interaksi media sosial, ”anak kandung” industri digital.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·4 menit baca
Tangis Jubaedah (38) pecah saat memandang potret anaknya, Sevani, Senin (6/1/2020) siang, di rumahnya di Desa Astana, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Tubuh remaja berambut lurus beralis tebal itu dibalut kain kafan. Luka di dahi dan kepalanya menjadi jejak penyebab kematiannya.
Jubaedah menceritakan, pada Sabtu (4/1) pagi ia meminta Sevani yang biasa dipanggil Seva berkunjung ke rumah keluarganya di Malang, Jawa Timur. Namun, menjelang pencetakan tiket, ia menolak, lalu digantikan kakaknya. Sekitar pukul 20.00, Seva menjemput bapaknya, Sahroni (40), di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum, tak jauh dari rumahnya. Sahroni baru pulang dari merantau sebagai buruh serabutan di Karawang, Jabar.
Sejam kemudian, Seva pamit keluar. ”Mungkin ke rumah kakeknya soalnya di sini sesak. Dia minta uang Rp 5.000. Dia enggak pernah minta uang gede. Mungkin tahu kondisi orangtuanya,” kata Jubaedah. Tak dinyana, Seva yang dikenal pendiam itu ternyata terlibat tawuran di Jalan Angkasa Raya, Penggung, Minggu (5/1) pukul 02.30. Lokasi tawuran itu sekitar 1,5 kilometer dari Bandara Cakrabhuwana dan 9 km dari rumahnya.
Tawuran yang melibatkan belasan orang itu menewaskan M Anenta Bentar (22), warga Desa Purwawinangun, Kecamatan Suranenggala, dan Seva. Nyawa keduanya tak tertolong meski sempat dibawa ke rumah sakit. Anenta tertusuk benda tajam di punggung kanannya. Adapun kepala Seva terluka berat akibat hantaman batu. ”Dulu, Seva tidak pernah ikut tawuran. Rencananya dia mau ikut ujian Paket B untuk masuk SMK. Dia suka utak-atik motor,” ujar Jubaedah.
Putus sekolah
Seva sempat sekolah hingga kelas VIII. ”Tidak sekolah karena pergaulan. Kakaknya juga putus sekolah dan sekarang kerja serabutan,” kata Jubaedah. Jubaedah mengakui perhatiannya terpecah mengurus enam anaknya, termasuk dua anak yang SD dan bayi 8 bulan. Biaya sekolah juga membebani. Kadang ia berjualan es agar anaknya punya uang jajan.
Kurang dari 24 jam setelah tawuran, polisi dari Polsek Selatan Timur dan Polres Cirebon Kota menangkap tujuh pelaku sebagai tersangka. Enam orang, yaitu DH (18), S (16), MFS (16), MTR (20), IS (15), dan AP (16), adalah warga Penggung, Kecamatan Harjamukti. Tersangka lain, MF (16), merupakan warga Desa Pamengkang, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon. Dari tujuh tersangka itu, hanya DH dan AP yang masih sekolah.
”Saya hanya lempar batu. Kami enggak minum (minuman keras) sebelum tawuran,” ucap MTR yang sehari-hari menjadi tukang parkir sambil mengusap air mata dengan tangan yang diborgol. Ia sempat mengenyam pendidikan di SMK. Surip (45), ayah MFS, terpukul dengan peristiwa ini. ”Anak saya memang pernah tawuran, tetapi enggak sampai menghilangkan nyawa orang.
Kami enggak minum (minuman keras) sebelum tawuran.
Dia sudah tak sekolah karena saya kena PHK,” kata eks karyawan pabrik sabun itu. Saat ini, sebagai kuli bangunan, bapak tiga anak ini menunggu panggilan kerja. Dalam sehari, Surip bisa mendapat sekitar Rp 100.000. Saking bingungnya cari kerja, tamatan SD ini menulis ”ada, lagi nganggur” di profil Whatsapp.
Seva dan MFS hanya satu dari sekian banyak anak di Cirebon yang tak mengenyam semua jenjang pendidikan di era digital ini. Tahun 2018, Badan Pusat Statistik Jabar mencatat, rata-rata lama sekolah (RLS) di Kota Cirebon selama 9,89 tahun. Artinya, penduduk usia 25 tahun ke atas di kota itu rata-rata sekolah hanya sampai SMP. RLS Kabupaten Cirebon tercatat 6,62 tahun atau lebih rendah dibandingkan dengan Jabar, 8,15 tahun.
Industri digital
Ketika pemerintah mengampanyekan generasi milenial andal di masa industri 4.0, remaja di Cirebon masih sulit mengakses pendidikan. Media sosial memperumit situasi. Tawuran yang menewaskan Seva, misalnya, bermula dari saling tantang lewat Instagram. ”Saat salah satu geng mengirim pesan ’Q’, berarti menantang tawuran. Geng lainnya membalas serupa, artinya menerima tantangan,” kata Kapolres Cirebon Kota Ajun Komisaris Besar Roland Ronaldy.
Roland menampik jika dikatakan polisi gagal mengantisipasi tawuran. ”Justru karena patroli siber, pelaku segera tertangkap,” katanya. Berdasar patroli siber di media sosial, polisi mengidentifikasi tiga geng di Cirebon berpotensi tawuran. Polisi berjanji segera memanggil kelompok itu untuk mengantisipasi berulangnya tawuran. Namun, ia mengaku, peran pemda, sekolah, dan orangtua sangat penting mencegah tawuran.
Farida Mahri, pendiri Sekolah Alam Wangsakerta, menilai, maraknya tawuran berkorelasi dengan sistem pendidikan. ”Mereka sepertinya bosan dan tak punya tujuan. Mereka butuh ruang berekspresi dan didengarkan, bukan disalahkan orang dewasa,” kata Farida yang merangkul anak-anak putus sekolah di Cirebon.
Pemerhati sejarah Cirebon, Mustaqim Asteja, mengatakan, pendidikan menjadi fokus Sunan Gunung Jati, pemimpin Cirebon abad ke-15. Hal itu termaktub dalam pesannya, ”Ingsun titip tajug lan fakir miskin.” Sampai saat ini, pesan Sunan Gunung Jati itu masih menjadi pekerjaan rumah yang belum selesai dikerjakan.