Merdeka Belajar Berlandaskan Kemanusiaan
Penerapan prinsip merdeka belajar bukan hanya untuk mendapatkan nilai akademis, tetapi juga untuk belajar tentang kehidupan. Pendekatan belajar berbasis masalah nyata yang dialami maupun ditemui siswa di sekitarnya.
Penerapan prinsip merdeka belajar bukan hanya untuk mendapatkan nilai akademis, tetapi juga untuk belajar tentang kehidupan.
JAKARTA, KOMPAS — Prinsip merdeka belajar merupakan keniscayaan untuk mengembangkan aktualisasi diri sesuai minat dan bakat. Akan tetapi, prinsip ini bukan berarti hanya berbasis sesuka hati. Kemerdekaan belajar hendaknya disertai tanggung jawab kemanusiaan untuk menjadikan diri maupun lingkungan sekitar lebih baik.
Demikian dikatakan Kepala SMA Kanisius Eduard Calistus Ratu Dopo SJ dalam acara pembukaan pameran hasil belajar siswa kelas XII SMA Kanisus Jakarta, Senin (20/1/2020), di Jakarta. Eduard mengatakan, SMA Kanisius menerapkan kemerdekaan belajar tersebut. "Lembaga pendidikan ini berbasis humanistik atau kemanusiaan, bukan sekadar nilai keagamaan Katolik," kata dia.
Dia mengatakan, dalam pemelajaran di kelas, penggunaan buku teks hanya bersifat sebagai pemandu arah. Pengembangan materinya tidak terbatas, tergantung kepada sinergi persepsi guru dengan siswa. "Selama mereka bisa mencari titik temu pandangan dari dua generasi berbeda ini, belajar bisa dilakukan dengan medium apa pun dan menjelajah topik yang tidak termasuk di dalam buku pelajaran," tutur Eduard.
Dalam pemelajaran di kelas, penggunaan buku teks hanya bersifat sebagai pemandu arah.
Pendekatan ini, kata Eduard, disebut metode abduktif, yaitu berpikir di luar pakem. Selain menjembatani kreativitas siswa, guru juga bisa belajar banyak dari sisi-sisi yang mungkin selama ini tidak mereka ketahui karena terbiasa pada jalur konvensional. Metode ini bisa memecahkan permasalahan yang dibawa oleh era disrupsi yang kerap membingungkan para pendidik maupun siswa.
Apa yang diterapkan di SMA Kanisius tersebut senada dengan prinsip merdeka belajar yang dicanangkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim. Merdeka belajar ini berdasarkan kepada pendekatan yang dikemukakan Ki Hadjar Dewantara, yaitu sekolah sebagai taman. Artinya, sekolah merupakan tempat belajar untuk kehidupan, bukan sekadar mencari nilai akademis.
Nadiem mengatakan bahwa pendekatan belajar berbasis masalah nyata yang dialami maupun ditemui siswa di sekitarnya. Cara analisa masalahnya dikembangkan melalui berpikir kritis yang dibimbing oleh guru dengan memberi mereka kebebasan meramu materi sesuai kebutuhan kelas masing-masing.
Baca juga: Merdeka Belajar Jangan Tunggu Aturan
Eduard mengatakan, ada empat prinsip keprihatinan yang menjadi pegangan bagi para guru dan siswa di SMA Kanisius Jakarta dalam pemelajaran, yaitu keprihatinan terhadap masalah lingkungan hidup, kemiskinan, intoleransi, dan ekosistem digital. Para siswa sejak awal masuk sekolah diminta untuk mencari fokus permasalahan yang bisa mereka tawarkan solusinya sesuai dengan minat dan bakat masing-masing.
Setelah 1,5 tahun berjibaku melakukan studi lapangan dan eksperimen, para siswa kelas XII SMA Kanisius Jakarta memamerkan hasil karya mereka di hadapan para guru, orangtua, siswa, juga pengunjung dari sekolah lain. Mereka juga wajib memaparkan penelitian dan menjawab pertanyaan dari penguji maupun tamu pameran.
Dalam pameran hasil belajar siswa kelas XII tahun 2020 misalnya, para guru terkejut karena mereka menduga siswa akan banyak membahas masalah teknologi digital, mengingat para siswa merupakan anak-anak yang tidak bisa lepas dari gawai dan koneksi internet. Ternyata, 39 persen, yang merupakan mayoritas, siswa memilih isu lingkungan hidup.
"Mereka mengemukakan kecemasan terhadap perubahan iklim, pemanasan global, dan berbagai bencana akibat kerusakan alam," ujar Eduard. Sebanyak 21 persen siswa memilih topik energi dan sisanya beragam, mulai dari isu sosial, politik, baru teknologi digital. Total ada 77 kelompok peneliti yang masing-masing terdiri dari tiga siswa.
Mereka mengemukakan kecemasan terhadap perubahan iklim, pemanasan global, dan berbagai bencana akibat kerusakan alam.
Selama siswa berkutat meneliti, guru pembina menilai. Aspek utama yang dinilai ialah kejujuran siswa, terutama tidak mencontek atau menjiplak karya orang lain dari internet dan buku. Setelah itu disusul aspek disiplin, ketekunan, dan kerjasama mengatasi konflik internal kelompok.
Masa depan
Salah satu kelompok yang meneliti isu lingkungan hidup ialah kelompok yang terdiri dari Patrisius Bagus Alvito Baylon, Bonifacius Jove Utama, dan Robin Sunarto. Mereka memilih topik mengolah sampah plastik menjadi bahan bakar minyak, gas, dan sumber energi listrik melalui metode pirolisis.
"Awalnya karena saya kesal ketika rumah-rumah makan tidak disediakan lagi sedotan plastik dan waktu belanja harus membayar lebih untuk kantong plastik. Setelah mencari-cari di internet baru saya sadar ternyata dampak sampah plastik di Indonesia parah sekali," kata Jove.
Setelah mencari-cari di internet baru saya sadar ternyata dampak sampah plastik di Indonesia parah sekali.
Tim kemudian mendalami jumlah sampah plastik di wilayah Jakarta saja, ternyata jumlahnya mencapai 200 juta ton dengan penanganan yang tidak maksimal. Kebetulan, mereka pernah mengikuti seminar di Kementerian Kelautan dan Perikanan dan melihat salah satu pemakalah menjelaskan metode pirolisis.
"Berbasis tutorial di internet kami membuat alat pirolisis sendiri dari bahan-bahan bekas," tutur Alvito di hadapan hadirin yang menonton presentasi mereka. Ia dan kedua rekannya harus bisa mempertahankan analisa mereka dari pertanyaan penguji, orangtua, dan teman-teman sebaya.
Guru penguji, Giri Tri Pamungkas, memberi masukan mengenai penulisan makalah agar menggunakan kalimat-kalimat yang logis. Siswa diminta menghindari klaim-klaim asumtif yang belum dibuktikan melalui penelitian dan praktikum. Setiap kelompok diberi tenggat waktu memperbaiki makalah mereka sebelum dikumpulkan untuk penilaian final.
Wawasan nasional
Pengawas SMA Suku Dinas Pendidikan Jakarta Pusat Harlein Butarbutar mengatakan, merdeka belajar yang dicontohkan Kolese Kanisius memiliki wawasan nasional. Visi para siswa tidak terbatas diri sendiri maupun orang-orang di sekitar mereka.
Melalui pemelajaran yang aktif mereka diajak membuat perubahan-perubahan kecil dengan dampak potensial besar. Literasi guru dan siswa menjadi ujung tombak munculnya kepedulian tersebut.