Kesepakatan Dagang AS-China Bukan Jaminan Pemulihan Ekonomi
IMF memperkirakan ekonomi global pada 2019 tumbuh 2,9 persen dan pada 2020 sebesar 3,3 persen. Meredanya perang dagang AS-China dapat mengurangi ketidakpastian, tetapi perlambatan pertumbuhan ekonomi telanjur menjalar.
DAVOS, SELASA — Dana Moneter Internasional (IMF) kembali memangkas pertumbuhan ekonomi global tahun 2020 dan 2021. Kesepakatan dagang fase pertama antara Amerika Serikat dan China bukan jaminan pemulihan karena risiko perlambatan ekonomi telanjur menjalar.
Dalam laporan ”Tinjauan Ekonomi Dunia 2020: Stabilisasi Sementara, Pemulihan Melambat?” yang dirilis Senin (20/1/2020) malam, IMF kembali memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi global pada 2019 dan 2020 masing-masing menjadi 2,9 persen dan 3,3 persen.
Pertumbuhan ekonomi pada 2019 dan 2020 itu lebih rendah 0,1 persen dari proyeksi IMF sebelumnya yang dirilis pada Oktober 2019. Adapun perekonomian global tahun 2021 diproyeksikan tumbuh 3,4 persen.
IMF kembali memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi global pada 2019 dan 2020 masing-masing menjadi 2,9 persen dan 3,3 persen.
Meredanya perang dagang AS-China dapat mengurangi ketidakpastian global. Namun, saat ini, pertumbuhan ekonomi sejumlah negara, terutama India, telanjur melambat akibat perang dagang yang terjadi lebih dari setahun terakhir.
Perekonomian India melambat cukup tajam sehingga menghambat pemulihan kondisi global. IMF memangkas pertumbuhan ekonomi India sebesar 1,2 persen menjadi 5,8 persen pada 2020 dan 0,9 persen menjadi 6,5 persen pada 2021.
Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva mengatakan, perlambatan pertumbuhan ekonomi India berdampak signifikan terhadap perekonomian global. India kini dihadapkan pada pergulatan penurunan konsumsi dan investasi, defisit anggaran, dan keterlambatan melakukan reformasi struktural.
”Setelah perlambatan pada 2019 disesuaikan (dipangkas), kami tetap berharap ada kenaikan moderat dalam pertumbuhan ekonomi tahun ini dan selanjutnya. Meskipun risiko pertumbuhan global di bawah standar yang berkepanjangan tetap nyata,” ujar Georgieva dalam konferensi pers menjelang pertemuan tahunan Forum Ekonomi Dunia (WEF) 2020 di Davos, Swiss, Selasa (21/1/2020).
IMF menyebutkan, gencatan senjata konflik perdagangan AS-China berpotensi mengerek pertumbuhan ekonomi China kembali ke 6 persen pada 2020, dari sebelumnya diproyeksikan tumbuh 5,8 persen. Adapun perekonomian AS diproyeksikan tumbuh 2 persen pada 2020 dan 1,7 persen pada 2021.
Jika kesepakatan pertama AS-China itu berkelanjutan atau tahan lama, tanda-tanda penurunan industri manufaktur dan perdagangan dimungkinkan keluar dari posisi terbawahnya. Kondisi itu diharapkan dapat mengurangi dampak negatif kumulatif dari ketegangan perdagangan terhadap produk domestik bruto global pada akhir 2020 dari 0,8 persen menjadi 0,5 persen.
Sebelumnya, IMF menyebutkan, perang dagang AS-China yang berkelanjutan berpotensi memangkas pertumbuhan ekonomi global pada akhir tahun ini sebesar 0,8 persen.
Menurut Georgieva, sejak 2018, Beijing dan Washington melakukan perang tarif hingga ratusan juta dollar AS dengan dalih menjaga keseimbangan neraca dagang. Ketidakpastian itu memercik konflik lebih luas dan menyebabkan perusahaan-perusahaan mengerem investasi.
Jika ketegangan berkobar lagi, kondisi perekonomian global akan memburuk, ditambah konflik geopolitik AS-Iran dan di Uni Eropa. ”Gencatan senjata perdagangan tidak sama dengan perdamaian perdagangan,” ucap Georgieva.
Jika kesepakatan pertama AS-China itu berkelanjutan atau tahan lama, dapat mengurangi dampak negatif kumulatif dari ketegangan perdagangan terhadap PDB global pada akhir 2020 dari 0,8 persen menjadi 0,5 persen.
Chief Economist IMF Gita Gopinath mengingatkan, pemangku kepentingan jangan salah langkah merespons dinamika global pada 2020. Penguatan kerja sama multilateral tetap harus diupayakan untuk mendapat momentum stabilitas perekonomian.
”Penguatan kerja sama multilateral juga perlu dibarengi pembangunan inklusif yang berkelanjutan,” ujarnya.
Baca juga: Pakarsa Risiko Global
Proyeksi pertumbuhan ekonomi negara-negara maju tahun 2020 dan 2021 dipangkas menjadi 1,6 persen. Adapun perekonomian negara-negara berkembang masing-masing 4,4 persen dan 4,6 persen.
IMF merekomendasikan agar negara-negara maju tetap menempuh kebijakan fiskal yang ekspansif untuk meningkatkan produktivitas. Pada saat yang sama, pengelolaan utang secara berkelanjutan perlu dipastikan berjalan dengan baik dan terukur.
Jangan sampai utang tersebut membebani fiskal. Belanja perlu diprioritaskan untuk penelitian, pelatihan, dan pembangunan infrastruktur fisik.
Sedangkan bagi negara-negara berkembang diimbau memperkuat kebijakan jaring pengaman sosial. Belanja subsidi dan bantuan sosial diyakini memperkecil dampak perlambatan pertumbuhan ekonomi terhadap peningkatan angka kemiskinan dan pengangguran.
Negara-negara berkembang diimbau memperkuat kebijakan jaring pengaman sosial untuk memperkecil dampak perlambatan ekonomi terhadap peningkatan angka kemiskinan dan pengangguran.
Selain itu, kecukupan modal dan likuiditas perlu dijaga dengan stabilitas kurs mata uang. Dengan suku bunga yang diharapkan tetap rendah untuk waktu yang lama, kebijakan makroprudensial juga tetap perlu digunakan secara proaktif untuk mencegah penumpukan risiko keuangan.
Baca juga: Dunia Makin Tak Menentu, Prakarsa Risiko Global Diperlukan
Adopsi teknologi
Pertemuan tahunan WEF ke-50, 21-24 Januari 2020 di Davos, secara khusus menyoroti adopsi teknologi untuk memperkecil dampak perlambatan ekonomi. Adopsi teknologi ini bisa dilakukan oleh usaha kecil menengah (UKM) di negara-negara berkembang.
Dalam keterangan pers, WEF menyebutkan, UKM berperan penting bagi perekonomian global. Namun, secara bertahap UKM kehilangan tajinya seiring perkembangan Revolusi Industri 4.0.
UKM berperan penting bagi perekonomian global. Namun, secara bertahap UKM kehilangan tajinya seiring perkembangan Revolusi Industri 4.0.
Di AS, kontribusi UKM terhadap pertumbuhan ekonomi turun 5 persen selama periode 1990-2014. Kondisi ini menjadi alarm bagi pemangku kepentingan di negara-negara berkembang.
WEF merekomendasikan empat fokus kebijakan untuk mendorong peningkatan daya saing UKM di era Revolusi Industri 4.0, yaitu pengembangan ilmu pengetahuan, pendampingan, peningkatan kerja sama, dan pemberian insentif. UKM secara bertahap didorong memanfaatkan kemajuan teknologi sesuai dengan bidangnya.
Baca juga: Strategi Pengembangan UMKM Dimatangkan
Deputi Menteri Bidang Produktivitas, Kepegawaian, dan Daya Saing Kementerian Ekonomi Brasil Carlos Alexandre Da Costa mengatakan, negara-negara berkembang bisa mengakselerasi pertumbuhan dengan adopsi teknologi. Namun, adopsi teknologi oleh UKM membutuhkan bantuan dari pemerintah.
WEF pada tahun ini akan dihadiri 2.821 pemimpin global dari berbagai latar belakang, seperti politik, pemerintahan, akademisi, dan sosial budaya, termasuk awak media. Dilansir dari BBC, peserta wanita tergolong minoritas, berjumlah sekitar 677 orang atau 24 persen dari total peserta tahun ini.
Sementara itu, sepertiga peserta berasal dari negara-negara Eropa Barat berjumlah 1.052 orang. Kelompok peserta terbesar kedua berasal dari negara kawasan Amerika Utara berjumlah 740 orang.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, tahun 2020, WEF melibatkan peserta termuda berusia 13 tahun, sedangkan tertua berusia 89 tahun.
Bloomberg menyebutkan, setidaknya ada sekitar 119 miliarder yang hadir dalam WEF 2020. Mereka di antaranya pendiri Bridgewater Associates LP Ray Dalio, Chairman Blackstone Group Inc Steve Schwarzman, dan Chief Executive Officer JPMorgan Chase & Co Jamie Dimon. Kekayaan kelompok elite itu mencapai 500 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 7.000 triliun. (BBC/BLOOMBERG/AFP)