Penggunaan CPO Bersertifikasi Berkelanjutan dalam Rantai Pasok Global Kurang Optimal
WWF merilis hasil penelitian penggunaan minyak kelapa sawit bersertifikat berkelanjutan (CSPO) dalam rantai pasok global, WWF’s Palm Oil Buyers Scorecard. WWF menyebutkan penggunaan CSPO masih belum optimal.
Oleh
hendriyo widi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — World Wide Fund for Nature merilis Penilaian Para Pembeli Minyak Kelapa Sawit atau WWF’s Palm Oil Buyers Scorecard. Dalam laporan itu, World Wide Fund for Nature menyebutkan, penggunaan minyak kelapa sawit bersertifikat berkelanjutan dalam rantai pasok global masih kurang menggembirakan.
Laporan World Wide Fund for Nature (WWF) yang dirilis pada 17 Januari 2020 itu merupakan hasil penelitian dari 173 perusahaan ritel besar dan perusahaan makanan asal Amerika Serikat, Kanada, Eropa, Australia, Singapura, Indonesia, dan Malaysia. Dari jumlah itu, 53 perusahaan merupakan anggota Consumer Goods Forum (CGF).
Penilaian ini diharapkan dapat digunakan sebagai tolok ukur perusahaan agar dapat mengambil tindakan yang tepat dalam menjawab tantangan lingkungan dan perubahan iklim yang semakin mengancam kehidupan manusia.
Dalam penilaian itu, WWF tidak hanya mengukur langkah-langkah dasar perusahaan dalam penggunaan sawit berkelanjutan dalam rantai pasok. WWF juga menilai upaya-upaya perusahaan melakukan praktik lain, seperti melindungi dan memberi manfaat positif bagi petani kecil, masyarakat, dan keanekaragaman hayati.
Laporan itu menyebutkan, kurang dari separuh perusahaan yang menjadi responden penelitian menggunakan minyak kelapa sawit bersertifikat berkelanjutan (CSPO). Disebutkan pula, hanya seperempat dari perusahaan yang telah memiliki kebijakan yang mewajibkan pemasok mereka menjadi bagian mendukung terjaganya kelestarian hutan dan alam.
Kurang dari separuh perusahaan yang menjadi responden penelitian menggunakan minyak kelapa sawit bersertifikat berkelanjutan.
Selain itu, terdapat juga seperempat perusahaan yang dinilai belum menunjukkan komitmen sama sekali menggunakan sawit berkelanjutan, termasuk perusahaan-perusahaan besar dari Asia. Ini menunjukkan pasar Asia masih tertinggal dalam membeli dan memperdagangkan CSPO.
WWF juga menyebutkan, dari 53 perusahaan anggota CGF, hanya 10 perusahaan yang telah menunjukkan implementasi komitmennya secara sungguh-sungguh. Oleh karena itu, ke-10 perusahaan itu masuk dalam 10 peringkat teratas penilaian WWF.
Direktur Kebijakan dan Advokasi WWF-Indonesia Aditya Bayunanda mengatakan, dukungan ritel dan produsen terhadap pengadaan kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia masih perlu ditingkatkan. Partisipasi aktif peritel akan berdampak positif bagi pemenuhan hak konsumen untuk mendapatkan opsi membeli produk yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Ke depan, penggunaan produk CSPO di Indonesia ini perlu terus didorong menjadi sebuah norma baru di sektor industri ritel Indonesia. Pengambil kebijakan dapat mengadopsi sistem penilaian WWF ini di tingkat nasional.
”Sistem penilaian itu dapat menjadi acuan untuk menyusun strategi perbaikan kinerja dan tata kelola usaha menuju berkelanjutan,” kata Aditya dalam keterangan pers yang diterima Kompas, Senin (20/1/2020).
Penggunaan produk CSPO di Indonesia ini perlu terus didorong menjadi sebuah norma baru di sektor industri ritel Indonesia.
WWF juga berharap perusahaan-perusahaan global turut mendorong konsumsi kelapa sawit bersertifikat berkelanjutan. Ini penting bagi Indonesia yang bergantung pada komoditas kelapa sawit yang banyak berkontribusi bagi perekonomian dan pembangunan.
”Indonesia dapat melawan boikot sejumlah negara terhadap CPO dan produk turunannya melalui penerapan CSPO. Ke depan, Indonesia perlu terus mengedepankan produksi kelapa sawit secara lestari yang tidak menimbulkan kerusakan lingkungan, tetapi justru membawa kesejahteraan dan perlindungan bagi hutan alam yang masih tersisa,” kata Aditya.
Indonesia dapat melawan boikot sejumlah negara terhadap CPO dan produk turunannya melalui penerapan CSPO.
Sebelumnya, Indonesia telah melayangkan gugatan terhadap Uni Eropa (UE) melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait tuduhan diskriminasi produk kelapa sawit. Langkah yang sama juga terbuka dilakukan oleh otoritas Malaysia.
Tindakan diskriminasi itu berupa penggolongan minyak kelapa sawit mentah (CPO) dalam kelompok tanaman yang berisiko tinggi terhadap alih fungsi lahan secara tidak langsung. Hal ini tercantum dalam dokumen Renewable Energy Directive (RED) II atau Arahan Energi Terbarukan II yang diadopsi Komisi Eropa, Maret 2019.
Hal itu mengakibatkan bahan bakar nabati (biofuel) berbahan baku CPO tidak termasuk dalam target pemakaian energi terbarukan UE pada 2020-2030. Penggolongan ini menjadi hambatan ekspor CPO sebagai bahan bakar nabati di pasar UE (Kompas, 17 Desember 2019).
WWF Palm Oil Global Lead Elizabeth Clarke mengemukakan, tahun ini menjadi momentum bagus bagi perusahaan-perusahaan untuk bergabung dengan para pembuat kebijakan dan konsumen. Hal itu dalam rangka mewujudkan komitmen bersama menggunakan CSPO agar tidak memberikan dampak buruk terhadap manusia dan lingkungan.
Upaya penggunaan CSPO ini merupakan komponen penting dari Kesepakatan Baru untuk Alam dan Manusia (New Deal for Nature and People) yang berambisi untuk menetapkan target pemulihan alam secara bertahap hingga 2030.
”Dengan kondisi lingkungan seperti saat ini, kita harus segera bertindak bersama untuk memastikan masa depan yang berkelanjutan bagi manusia dan Bumi,” ujarnya.
Upaya penggunaan CSPO ini merupakan komponen penting dari Kesepakatan Baru untuk Alam dan Manusia (New Deal for Nature and People).
Kesepakatan Baru untuk Alam dan Manusia berupaya melindungi dan memulihkan alam demi kepentingan manusia dan Bumi. Kesepakatan itu mengusulkan tidak ada lagi kehilangan ruang atau kepunahan alami serta mengurangi separuh dampak ekologis negatif dari produksi dan konsumsi.
Ini akan memungkinkan dunia untuk menyediakan makanan dan air yang cukup untuk populasi global yang akan tumbuh hingga sembilan miliar orang dalam beberapa dekade mendatang. Kesepakatan itu juga untuk mendukung upaya untuk menciptakan iklim yang stabil dan mencegah kepunahan massal satwa liar.
Indonesia sebenarnya telah menerapkan pengembangan industri sawit secara berkelanjutan. Salah satunya melalui penerapan Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO). Hal itu ditegaskan dalam Rencana Aksi Nasional Sawit Berkelanjutan.
Presiden Joko Widodo menandatangani Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Sawit Berkelanjutan Tahun 2019-2024. Penerbitan inpres itu perlu diintegrasikan dengan sejumlah aturan lain terkait dengan pengelolaan kepala sawit.
Inpres bertujuan meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pekebun, penyelesaian status dan legalisasi lahan, serta pemanfaatan kelapa sawit sebagai energi baru terbarukan. Inpres ini juga menjadi acuan untuk meningkatkan diplomasi mencapai perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan serta mempercepat tercapainya perkebunan kelapa sawit Indonesia berkelanjutan.