Kasus Bunuh Diri di Sekolah Menjadi Pelajaran Penting Pengelola
Bunuh diri yang dilakukan siswi kelas VII di sekolahnya merupakan kasus penting. Peristiwa ini seharusnya menjadi pelajaran penting bagi pengelola untuk mewujudkan Sekolah Ramah Anak.
Oleh
Aguido Adri
·3 menit baca
KOMPAS/AGUIDO ADRI
SN (14), Siswi SMPN 147 Jakarta, melompat dari lantai 4, Selasa (14/1/2020) sore. Suasana di sekolah tersebut tampak sepi, Minggu (19/1/2020). Pihak tidak berkepentingan dilarang masuk oleh penjaga sekolah.
JAKARTA, KOMPAS — SN (14), pelajar perempuan sekolah menengah pertama di Jakarta yang terjun dari lantai empat sekolahnya menjadi kasus pertama di Indonesia siswa bunuh diri di sekolah. Berkaca pada kasus SN, Komisi Perlindungan Anak Indonesia mendorong sekolah di DKI Jakarta menerapkan program Sekolah Ramah Anak.
Catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), siswi kelas VII yang bunuh diri di sekolah merupakan kasus pertama di Indonesia karena beberapa kasus bunuh diri seorang anak umumnya dilakukan di rumahnya. Ini menjadi peringatan keras untuk lingkungan keluarga terutama sekolah agar kasus SN tidak terulang.
”KPAI akan mendorong sekolah-sekolah di DKI Jakarta untuk menerapkan program Sekolah Ramah Anak (SRA) dan membangun sistem pengaduan yang melindungi anak korban dan anak saksi. Ini bukan hanya untuk kasus bunuh diri, melainkan juga untuk membuat anak merasa nyaman dan terlindungi di lingkungan sekolah. Sekolah rumah kedua mereka,” tutur Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti, Senin (20/1/2020) di Jakarta.
Ia menilai masih banyak sekolah di Jakarta yang belum menerapkan program Sekolah Ramah Anak, seperti di sekolah tempat SN belajar. KPAI mempertanyakan peran wali kelas dan guru bimbingan konseling (BK) dalam permasalahan yang dihadapi SN. Meski seandainya masalah keluarga memang benar adanya, empati dan kepekaan tampaknya tidak muncul pada wali kelas dan guru BK yang merupakan orangtua peserta didik selama berada di sekolah.
”Sejatinya, orang dewasa di sekitar anak, baik orangtua maupun guru, memiliki kepekaan sehingga bisa mendeteksi gejala-gejala depresi seorang anak agar dapat mencegah anak-anak melakukan tindakan bunuh diri. Alasan seorang remaja melakukan percobaan bunuh diri bisa begitu rumit yang sekaligus pada sisi lain mungkin bukan suatu hal yang dianggap berat bagi orang dewasa pada umumnya. Oleh karena itu, jangan langsung menghakimi remaja yang sedang dirundung masalah,” papar Retno.
Jika memang tidak terjadi perundungan, Retno menyoroti, kurangnya perhatian dari keluarga atau lingkungan sekitar bisa berdampak pada remaja. Ketiadaan empati dari lingkungan membuat SN tidak mempunyai tempat untuk berbagi masalah yang ia hadapi dan merasa tidak mendapat perhatian atau disayang.
Retno Listyarti (kanan), Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, bersama Susianah, Komisioner KPAI Bidang Sosial dan Anak dalam Situasi Darurat (kiri).
Selain itu, kata Retno, KPAI menyayangkan pihak sekolah yang tidak segera melapor ke polisi terkait peristiwa melompatnya SN dari lantai empat gedung sekolah. Sebagai institusi pendidikan milik pemerintah, seharusnya pihak sekolah segera melaporkan pada hari H agar pihak kepolisian dapat segera melakukan penyelidikan motif ataupun kebenaran dugaan bunuh diri tersebut. KPAI akan mendalami hal ini karena selama peserta didik berada di sekolah, maka sekolah wajib melakukan perlindungan anak.
Pengamat pendidikan, Indra Charismiadji, mengatakan, di era pendidikan saat ini kemampuan memecahkan masalah pada seorang murid sangat dibutuhkan sehingga anak tidak mencari jalan sendiri atau menuangkan masalahnya di media sosial atau ke teman sebaya. Untuk itu, peran orangtua dan guru menjadi penting. Setiap permasalahan anak jangan dibiarkan dan tidak bisa dianggap remeh.
”Untuk di sekolah, tidak cukup hanya guru bimbingan konseling saja. Perlu ada psikolog dan perawat sekolah. Fokus ilmu psikolog tentu berbeda dengan guru BK atau guru mata pelajaran. Pendekatan seorang psikolog sangat dibutuhkan di sekolah,” kata Indra.