Hakim Tidak Cabut Hak Politik Romy, Jaksa KPK Pikir-pikir
Pencabutan hak politik berdasarkan pada putusan MK baru pertama kali digunakan. Maka, KPK akan mempelajari terlebih dahulu, apakah putusan MK ini sama dengan pencabutan hak politik yang dituntut jaksa.
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan pikir-pikir terhadap vonis hakim atas terdakwa Muhammad Romahurmuziy atau Romy. Vonis Romy, yakni 2 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 3 bulan kurungan, lebih rendah dari tuntutan jaksa, yaitu 4 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 5 bulan kurungan.
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Fahzal Hendri pun menyatakan, pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan nomor 56/PUU-XVII/2019 tertanggal 11 Desember 2019. Dalam amarnya berbunyi, setelah melewati jangka waktu 5 tahun setelah mantan terpidana menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
”Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, majelis hakim sependapat dengan putusan MK sehingga tidak perlu lagi menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik untuk dipilih dalam jabatan publik,” ujar Fahzal dalam sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (20/1/2020).
Romy menjadi terdakwa dalam perkara suap terkait jual beli jabatan di Kementerian Agama (Kompas.com, 20/1/2020). Dalam perkara ini, Romy yang saat itu menjabat Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) terbukti menerima suap secara bertahap senilai Rp 255 juta dari Haris Hasanudin karena telah mengangkatnya sebagai Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur.
Selain itu, Romy juga terbukti menerima uang sebesar Rp 50 juta dari Muafaq Wirahadi. Romy menerima uang itu karena telah membantu proses pengangkatan Muafaq sebagai Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Gresik yang bertentangan dengan kewajibannya.
Atas perbuatannya, Romy dianggap hakim terbukti melanggar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Romy juga melanggar Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Jaksa KPK Wawan Yunarwanto menyampaikan, meski permohonan jaksa untuk mencabut hak politik tidak dikabulkan, hakim menyetujui putusan MK. Dengan begitu, bukan berarti tak dikabulkan masa 5 tahunnya, tetapi dengan sendirinya, melalui putusan MK, Romy tidak bisa mencalonkan diri kembali setelah menjalankan hukuman pidananya.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri menyatakan, jaksa penuntut umum KPK akan mempelajari seluruh pertimbangan fakta-fakta hukum putusan tersebut secara lengkap. Termasuk juga mengkaji pertimbangan terkait tidak dikabulkannya pencabutan hak politik.
”Sebab, pencabutan hak politik berdasarkan pada putusan MK baru pertama kali digunakan. Maka, kami akan mempelajari terlebih dahulu, apakah putusan MK ini sama dengan pencabutan hak politik yang dituntut jaksa. Kemudian, kami akan bersikap, apakah akan menerima atau menyatakan upaya hukum banding dalam waktu tujuh hari ke depan,” tutur Ali kepada Kompas.