Antisipasi Kemacetan Kota Cirebon, BRT dan Rel Layang Disiapkan
Sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat bagian timur, Kota Cirebon menghadapi masalah kemacetan. Sistem transportasi bus rapid transit dan rel layang pun disiapkan.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat bagian timur, Kota Cirebon menghadapi masalah kemacetan. Selain volume kendaraan tidak sebanding dengan beban jalan, pelintasan sebidang kereta api juga memicu kemacetan di kota seluas 37 kilometer persegi itu. Sistem transportasi bus rapid transit dan rel layang pun disiapkan.
Wali Kota Cirebon Nashrudin Azis mengatakan, salah satu upaya mengatasi kemacetan di Cirebon adalah mengoperasikan sistem transportasi berbasis jalan raya, yakni BRT. ”Kami harapkan 10 BRT mulai berjalan bulan Februari,” kata Azis setelah memimpin rapat kerja terbatas rumpun infrastruktur di kantor Dinas Perhubungan Kota Cirebon, Senin (20/1/2020).
Kami harapkan 10 BRT mulai berjalan bulan Februari.
Sejak 2018, Cirebon mendapatkan bantuan BRT dari Kementerian Perhubungan. Namun, hingga kini, bus berkapasitas 30 penumpang itu masih teronggok di halaman parkir Dishub Kota Cirebon. Bahkan, mesin sejumlah bus yang dicek petugas belum bisa menyala. Halte bus juga belum dibangun.
Menurut Azis, BRT belum dapat beroperasi karena masalah administrasi dan pengelolaan. ”Kami sudah menemukan format kerja samanya. Nanti, PD (Perusahaan Daerah) Pembangunan yang bertanggung jawab dan menggandeng pihak ketiga. Kami anggarkan sekitar 500 juta. Kalau dananya kurang, pihak ketiga siap membantu,” katanya.
Azis mengaku belum mengetahui sistem operasional BRT. Namun, pihaknya menjamin, kehadiran BRT merupakan salah satu solusi angkutan ekonomis bagi warga sekaligus mengatasi kemacetan. Saat ini, belum ada angkutan massal di kota. Selain angkot, angkutan daring yang mengetem di bahu jalan turut memicu kepadatan.
Padahal, Cirebon menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di wilayah Jabar timur. Sekitar sembilan mal dan supermarket, 200 restoran, dan lebih dari 100 hotel berdiri di kota tersebut. Warga dari Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan pun memadati kota.
Dishub setempat mencatat, saat puncak macet di pagi hari pada 2019, rata-rata kendaraan yang masuk ke Kota Cirebon mencapai 24.933 unit. ”Jumlah itu terjadi hanya dalam 15 menit. Ini gambaran padatnya Cirebon,” kata Kepala Bidang Lalu Lintas Dishub Kota Cirebon Gunawan.
Kemacetan lalu lintas antara lain tergambar dalam volume beban jalan yang mencapai lebih dari 0,8 poin dan rata-rata kecepatan kurang dari 40 kilometer per jam. Setidaknya ada 10 ruas jalan yang masuk kategori itu. ”Ini sudah tergolong jelek. Nilai rapornya E,” ujar Gunawan yang tinggal di Kabupaten Cirebon.
Oleh karena itu, selain mengoperasikan BRT, pihaknya juga tengah menata arus jalan. Tahun ini, pihaknya mengkaji sistem satu arah atau one way yang
bakal diterapkan di dua koridor jalan, yakni Kartini-Slamet Riyadi-Tentara Pelajar. Koridor lain adalah Siliwangi-Sukalila Selatan-Pekiringan. Hal yang dikaji seputar waktu dan jarak tempuh pengendara, termasuk angkot.
Selain menata arus lalu lintas dalam kota, pihaknya juga terus mendorong Kementerian Perhubungan agar segera membangun rel layang. Rel layang akan terpadu dengan jalur kereta cepat Jakarta-Surabaya. Pengerjaannya dimulai 2022 dan ditargetkan beroperasi 2026.
Selama ini, kemacetan kerap terjadi di 11 pelintasan sebidang kereta api yang membentang dari Jalan Krucuk hingga Ahmad Yani. Apalagi, lebih dari 190 perjalanan kereta api melewati Cirebon. Artinya, kereta api melintas setiap 7 menit setiap hari di sana. Di sisi lain, di sekitar daerah pelintasan sebidang tersebut berdiri rumah makan, hotel, dan mal.
”Kami sudah mengusulkan ini sejak 2017. Alhamdulillah sudah direspons Kemenhub. Semoga bisa segera dibangun rel layang sepanjang 7 kilometer. Kemacetan karena pelintasan sebidang selama ini tidak bisa kami atasi,” ujar Gunawan.