Presiden Amerika Serikat Donald Trump boleh saja mengklaim penandatanganan kesepakatan fase satu sebagai pembuka jalan kemenangannya melawan China. Namun, perang dagang belum sepenuhnya berakhir.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
China telah berkomitmen untuk membeli barang dan jasa dari Amerika sebesar 200 miliar dollar AS—sebagai tambahan—pada 2021 dan siap menindak praktik bisnis yang dikritik Trump. China pun sepakat, selama dua tahun Beijing akan mengalokasikan 77,7 miliar dollar AS untuk membeli produk manufaktur tambahan, mulai dari pesawat terbang hingga ke produk mesin dan farmasi. Termasuk di dalamnya pembelian gas alam cair dan minyak mentah senilai 52,4 miliar dollar AS. Tak hanya itu, Beijing pun sepakat membeli minyak sayur, daging, biji-bijian, dan makanan laut senilai 32 miliar dollar AS.
Perjanjian itu menetapkan, pembelian ”akan dilakukan dengan harga pasar berdasarkan pertimbangan komersial” dan bahwa ”kondisi pasar” akan memengaruhi waktu pembelian.
Perjanjian itu juga mencakup jasa. Disepakati adanya alokasi Beijing senilai 37,9 miliar dollar AS untuk membayar jasa keuangan, perjalanan, dan pariwisata.
”Hari ini kami mengambil langkah penting menuju masa depan perdagangan yang adil dan timbal balik. Bersama-sama kita memperbaiki kesalahan masa lalu,” kata Trump, dalam upacara penandatanganan kesepakatan, didampingi Wakil Perdana Menteri China sekaligus kepala negosiator, Liu He.
Bersama-sama kita memperbaiki kesalahan masa lalu.
Sejumlah pejabat dan pebisnis hadir dalam upacara penandatanganan dan jumpa pers yang digelar setelah penandatanganan kesepakatan.
The Guardian mencatat acara itu, antara lain, dihadiri oleh Ivanka Trump, Henry Kissinger, serta para pemimpin media dan bisnis, termasuk pimpinan Blackstone, Stephen Schwarzman, dan Presiden Mastercard Ajay Banga.
Presiden China Xi Jinping mengapresiasi penandatanganan perjanjian yang dilakukan di Washington itu. Melalui pernyataan tertulis, Xi bangga, kedua negara berhasil mencapai kesepakatan melalui jalur negosiasi.
Penandatanganan dilakukan beberapa jam setelah Partai Demokrat menunjuk tim yang akan menuntut Trump dalam sidang pemakzulan.
Cukup
Namun sebagaimana diingatkan The New York Times, beberapa saat setelah penandatanganan dilakukan, Rabu (15/1/2020), teks perjanjian itu tidak memberikan informasi yang cukup untuk menentukan bagaimana mekanisme kesepakatan tersebut akan dipraktikkan. Tidak jelas apakah China akan menafsirkannya sebagaimana AS menafsirkan.
Di sisi lain, meski kesepakatan itu melahirkan Kantor Evaluasi Bilateral dan Penyelesaian Sengketa yang bertugas menerima dan mengevaluasi pengaduan-pengaduan, dan adanya mekanisme banding, muncul banyak keraguan di benak sejumlah kalangan.
Pertanyaan terbesar yang mengemuka dari kubu AS terkait negosiasi itu adalah bagaimana kesepakatan itu akan ditegakkan.
Tidak jelas apakah China akan menafsirkannya sebagaimana AS menafsirkan.
Berkaca pada sejumlah perjanjian dengan China, di mana Beijing dinilai gagal memenuhi janji-janjinya, banyak pakar dan eksekutif bisnis Amerika merasa ragu, pemerintahan Trump dapat membuat China menepati komitmen yang dibuatnya.
Apalagi, tidak seperti kesepakatan perdagangan lainnya—di mana melibatkan pihak ketiga yang netral—AS dan China memutuskan menyelesaikan sendiri masalah yang ada di antara mereka.
Menjaga komitmen
Mungkin saja, lahirnya Kantor Evaluasi Bilateral dan Penyelesaian Sengketa menjadi mekanisme andalan bagi pemerintahan Trump untuk memastikan China mematuhi komitmennya. Selain itu, perjanjian tersebut menciptakan kerangka kerja bagi pejabat tinggi dari kedua negara untuk bertemu secara teratur dan coba menangani dugaan pelanggaran.
Jika perselisihan tidak terselesaikan setelah pertemuan yang melibatkan wakil perdana menteri China dan perwakilan perdagangan AS, kedua belah pihak dapat memberlakukan tindakan hukuman. Itu termasuk pemberlakuan tarif, tanpa aksi balasan selama tindakan tersebut diambil dengan itikad baik.
Tantangan
Financial Times menilai kesepakatan dengan sistem seperti itu punya tantangan. Meskipun kerahasiaan dijamin, perusahaan-perusahaan AS ragu untuk mengajukan keluhan terhadap pejabat China. Risikonya yang jelas adalah langkah itu dapat membuka kembali ”medan baru” perang dagang dalam bentang yang lebih luas.
Tak hanya itu, jika proses banding dan dialog tidak mampu menyelesaikan perselisihan, bakal lebih banyak tarif akan diberlakukan. Jika hal itu terjadi, China dan AS, masing-masing, dapat mengajukan pemberitahuan tertulis dan menarik diri dari kesepakatan. Dan niscaya, perang dagang dipastikan terjadi lagi.
Pada bagian akhir perjanjian perdagangan itu disebutkan, antara lain, kesepakatan yang dicapai mulai berlaku 30 hari setelah ditandatangani. ”Ruang” itu memberi kesempatan kepada Pemerintah China dan AS untuk dapat membatalkan perjanjian. Pada bagian akhir perjanjian juga disebutkan tentang AS dan China akan menyetujui waktu negosiasi baru, tetapi tidak disebutkan kapan waktunya.
Para pejabat AS dan China hanya mengatakan, mereka siap untuk memulai pembicaraan tahap kedua, yang mengarah pada pengurangan tarif lebih lanjut. Tampaknya, waktu yang akan menentukan, akan menjadi seperti apa relasi AS-China, serta negara-negara di dunia.