Sesal Tersisa dari Janji Pangkat dan Harta Keraton Palsu...
Bagi sebagian warga Desa Pogung Jurutengah, Purworejo, Jawa Tengah, nama Keraton Agung Sejagat telah meninggalkan trauma dan pahit. Silap akan janji pangkat dan harta yang semu, tinggal penyesalan yang kini tersisa...

Setyono Eko Pratolo termenung di rumahnya di Desa Pogung Jurutengah, Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo
Bagi sebagian warga Desa Pogung Jurutengah di Purworejo, Jawa Tengah, nama Keraton Agung Sejagat telah meninggalkan trauma dan pahit. Silap pada iming-iming pangkat dan harta yang semu, tinggal penyesalan yang kini tersisa....
Setyono Eko Pratolo (58), perangkat Desa Pogung Jurutengah, Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, sempat membanggakan seragam keprajuritan berbintang tiga yang didapatkan dari kepesertaannya di Keraton Agung Sejagat (KAS). Namun, kini ia tak ingin melihat seragam itu.
”Seragam itu akan saya bakar saja, supaya bisa membuang sial,” ujarnya tersenyum malu, Kamis (16/1/2020).
Seragam ”punggawa” bebintang tiga tersebut diperolehnya dari KAS, sebuah keraton ”abal-abal” yang berdiri di Desa Pogung Jurutengah di Kecamatan Bayan. Kerajaan ini menjadi kedok aksi penipuan yang melibatkan ”raja dan ratunya”, Totok Santoso (41) dan Fanni Aminadia (42).

Barang bukti berupa topi diperlihatkan pada pengungkapan tindak penipuan melalui pendirian kerajaan Keraton Agung Sejagat, di Mapolda Jateng, Kota Semarang, Rabu (15/1/2020). Kerajaan itu didirikan di Desa Pogung Jurutengah, Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo, Jateng. Totok Santoso (42) dan Fanni Aminadia (41), sebagai raja dan ratu, ditetapkan sebagai tersangka. Mereka diketahui meminta uang dari pengikutnya Rp 3 juta-Rp 30 juta.
Seragam berwarna hitam dengan sejumlah aksesoris itu kini masih disimpan polisi. Namun, jika nanti dikembalikan oleh polisi, ia bertekad tidak akan memakai ataupun menyimpan seragam itu lagi.
Seragam itu didapat Eko tak gratis. Ia mesti membayar hingga Rp 3 juta untuk mendapatkannya. Ia mengaku, kepangkatan dalam seragam yang didapat disesuaikan dengan nilai uang yang disetornya.
Eko mengaku, dirinya adalah korban penipuan yang kehilangan uang sekitar Rp 8,5 juta. Sebelumnya, pimpinan dari KAS menyebutkan bahwa dengan membayar uang tersebut, dirinya bisa mendapatkan gelar punggawa berbintang tiga di istana, serta akan mendapatkan gaji dalam nominal besar dalam mata uang dollar Amerika Serikat.

Kepala Polda Jawa Tengah Inspektur Jenderal Rycko Amelza Dahniel (tengah) mengungkap tindak penipuan melalui pendirian kerajaan Keraton Agung Sejagat, Rabu (15/1/2020), di Polda Jateng, Kota Semarang. Kerajaan itu didirikan di Desa Pogung Jurutengah, Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo, Jateng. Toto Santoso (42) dan Fanni Aminadia (41) yang mengklaim sebagai raja dan ratu ditetapkan sebagai tersangka.
Namun, seiring waktu, dengan terungkapnya kasus tersebut sebagai modus penipuan, semua yang diharapkan Eko pupus seketika. ”Saat ini yang tersisa hanyalah malu dan beban harus membayar utang,” ujarnya.
Selain mengambil sebagian uang dari tabungan, uang Rp 8,5 juta yang dibayarkannya tersebut didapatkannya dari meminjam uang dari sejumlah kerabat.
Istri Eko, Muntahana (50), sebenarnya tidak menyetujui keinginan Eko bergabung dalam KAS. Terlebih lagi dengan kewajiban membayar uang. Namun, karena berkeinginan kuat untuk bergabung, Eko terus memaksa istrinya untuk berutang.

Warga masih berkerumun di sekitar garis polisi di area KAS, Kamis (16/1/2020)
Seiring waktu, Eko sebenarnya mulai ragu dengan kebenaran janji para pimpinan KAS. Gaji besar dijanjikan akan diberi setiap usai sidang kerajaan. Namun, jadwal sidang kerap tertunda. Setelah dijadwalkan pada Desember 2019, sidang akhirnya baru dilaksanakan Minggu (12/1/2020).
Dia dan rekan-rekannya sebenarnya juga sempat bergunjing soal kebenaran iming-iming gaji tersebut. Namun, pada akhirnya, tidak ada seorang pun yang berani bertanya. ”Setiap kali bertemu dengan Pak Totok (Totok Santoso), kami justru tidak berani bertanya,” ujarnya.
Setelah akhirnya kasus ini terkuak, Eko pun malu bukan kepalang. Atas keterlibatannya dalam KAS, Eko—yang seorang perangkat desa—ditegur dan mendapatkan peringatan dari Pemerintah Kecamatan Bayan.
Baca juga: Pengikut Keraton Agung Sejagat Dijanjikan Dana dari Bank Swiss

Seorang warga melihat sebagian benda-benda yang dibuat sebagai simbol KAS, Kamis (16/1/2020).
Secara pribadi, ia mengaku sangat menyesal karena telah mempermalukan instansi tempatnya bekerja. Eko pun resah karena khawatir perilakunya ini akan terus diingat oleh lingkungan sekitar, termasuk rekan-rekannya di Pemerintah Desa Pogung Jurutengah.
”Karena beban perasaan itu, sampai sekarang, saya pun sebenarnya susah tidur dan malu untuk pergi keluar rumah,” ujarnya.
Beban perasaan malu dan stres, juga dirasakan oleh Teguh, warga Desa Kedung Kamal, Kecamatan Grabag, Kabupaten Purworejo. Selain malu karena harus terseret kasus kriminalitas dan diperiksa polisi, dia semakin pusing bukan kepalang karena terus menerima pertanyaan dari tetangga, jurnalis, dan kerabatnya yang tinggal di sejumlah kota.
”Kamis (16/1/2020) kemarin saja, saya menerima sekitar 40 telepon dari kerabat yang semuanya bertanya perihal keraton,” ujarnya.

Kapolda Jawa Tengah Inspektur Jenderal Rycko Amelza Dahniel (depan, kedua dari kiri) mengungkap tindak penipuan melalui pendirian kerajaan Keraton Agung Sejagat, di Mapolda Jateng, Kota Semarang, Rabu (15/1/2020). Kerajaan itu didirikan di Desa Pogung Jurutengah, Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo, Jateng.
Padahal, kejadian buruk tersebut tentu saja bukan peristiwa yang menyenangkan untuk diceritakan berulang-ulang. Ditambah lagi, dia merasa terbebani karena menjadi korban penipuan dan kini terpaksa harus mengikhlaskan semua uang yang telah dibayarkan untuk KAS.
Teguh bersama istrinya, Haryati, ikut bergabung dalam KAS sejak 2018. Dalam jangka waktu sekitar dua tahun tersebut, mereka sudah mengeluarkan uang lebih dari Rp 10 juta untuk KAS.
Sehari-hari, Teguh bekerja sebagai penjual es dawet dan sesekali menjadi menjadi teknisi pemasang instalasi air dan AC di proyek pembangunan sejumlah gedung di Jakarta. Dana Rp 10 juta lebih tersebut didapatkan dari menyisihkan sebagian uang hasil penjualan dua ekor sapi, uang tabungan, dan sebagian lain dibayar dalam wujud minuman dawet yang dihidangkan cuma-cuma untuk kegiatan KAS.
Hingga kini, Teguh mengaku sebenarnya belum bisa ikhlas kehilangan uang. Namun, dia pun sedih karena merasa tidak bisa melakukan apa-apa untuk menyikapinya. ”Tentu saja saya berharap uang saya kembali, tapi saya tidak tahu harus menuntut ganti rugi kepada siapa,” ujarnya.
Baca juga: Keraton Agung Sejagat, Sesat Sejarah Kerajaan ”Kaleng-kaleng”

Wakil Bupati Purworejo Yuli Hastuti (tangan di dada) berkomunikasi dengan warga di sekitar lokasi Keraton Agung Sejagat (KAS) di Desa Pogung Jurutengah, Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, Kamis (16/1/2020).
Faktor uang
Uang memang menjadi faktor pemikat yang jitu. Eko mengakui, dirinya memang tertarik untuk ikut KAS karena semata-mata ingin mendapatkan penghasilan besar.
Nominal gaji tinggi ini sangat didambakan karena Eko yang sudah tujuh tahun bekerja sebagai perangkat desa mengaku hanya mendapatkan penghasilan minim berupa insentif sebesar Rp 300.000 per bulan. Pendapatan itu pun baru diterimanya setiap empat bulan sekali. Dengan siklus gaji itulah dia terbiasa hidup dengan berutang.
”Jangankan untuk membayar uang keanggotaan KAS, untuk kehidupan sehari-hari saja saya harus berhutang,” ujarnya.
Baca juga: Korban Keraton Agung Sejagat Tertutup, Pendampingan Pemerintah Terhambat

Setyono Eko Pratolo termenung di rumahnya di Desa Pogung Jurutengah, Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo
Upahnya sedikit membaik dua bulan terakhir, saat kebijakan baru pemerintah memungkinkan perangkat desa seperti dirinya bisa mendapatkan gaji Rp 2 juta per bulan. Di luar insentif, sama seperti perangkat desa lainnya, Eko juga mendapatkan jatah tanah bengkok sekitar 2.800 meter persegi. Namun, hasil itu tidak bisa diandalkan sepanjang tahun karena merupakan lahan tadah hujan.
Daya tarik uang ini juga diakui oleh Sri Utami (40), salah seorang warga Desa Pogung Jurutengah, yang sempat terlibat menjadi anggota Purworejo Development Committee (Dec). Purworejo Dec adalah cikal bakal pendirian KAS, di mana organisasi ini juga melibatkan Totok Santoso sebagai penggeraknya.
Sri bergabung dalam Purworejo Dec pada 2014-2016. Awalnya, dia diajak oleh salah seorang kerabatnya, Chikmawan, yang juga menjadi salah satu pimpinan KAS dan menjadi penyedia tanah berdirinya KAS. Ketika itu, Chikmawan mengatakan bahwa dengan bergabung dalam Purworejo Dec, Sri akan memiliki pekerjaan tetap dan mendapatkan gaji dalam nominal dollar AS.
Sri yang sehari-hari hanya berjualan lotek dan sesekali terlibat sebagai tenaga honorer dalam sejumlah kegiatan tertentu seperti sensus atau pemilu, langsung menyetujuinya. Ia pun mau terlibat aktif mengikuti pelatihan dan membeli seragam. Namun, ia akhirnya berhanti karena semua yang dijanjikan tidak kunjung terealisasi.
Baca juga: Mengintip Keraton Agung Sejagat

Pengunjung berswafoto menggunakan sebagian benda-benda milik KAS, Kamis (16/1/2020).
Dia juga sempat diajak bergabung bersama sesama rekannya, mantan anggota Purworejo Dec untuk bergabung dalam KAS. Namun, mengingat pengalamannya terdahulu, dia akhirnya menolak.
Sarwono, salah seorang warga yang terlibat dalam KAS, juga mengaku tergiur uang yang dijanjikan pimpinan KAS guna memperbaiki taraf hidupnya. Hal itu, pernah disampaikannya kepada salah satu tetangga, Rani. Namun, pada akhirnya, dia pun terkejut dan kecewa karena ternyata KAS hanya merupakan modus penipuan belaka.
”Kasihan, sekarang dia jadi seperti orang linglung,” tutur Rani. Sebelumnya, Sarwono yang memiliki empat anak, bekerja sebagai pengumpul dan penjual barang bekas. Setelah sempat diperiksa polisi, Sarwono menolak untuk ditemui dan diwawancara.

Salah satu anggota KAS memberikan penjelasan kepada pengunjung, Selasa (14/1/2020).
Kepala Desa Pogung Jurutengah Slamet Purwadi mengatakan, pihaknya memang menyesalkan keterlibatan warganya dalam KAS. Namun, dia pun pada akhirnya harus memaklumi karena aksi penipuan dengan janji imbalan uang memang rentan menyasar warga yang kurang sejahtera dan berpenghasilan rendah.
Rata-rata perangkat desa, menurut dia, memang berpenghasilan rendah. Sebelum November 2019, rata-rata perangkat Desa Pogung Jurutengah hanya menerima sekitar Rp 300.000 per bulan.
Tidak hanya itu, rata-rata perangkat desa juga mendapatkan jatah tanah bengkok yang sempit. Bahkan, jauh lebih sempit dibandingkan dengan perangkat desa-desa lain. Jika rata-rata perangkat desa lain bisa mendapatkan tanah bengkok lebih dari 500 ubin atau sekitar 7.000 meter persegi, di Desa Pogung Jurutengah hanya berkisar 2.000-3.000 meter persegi.
Karena minimnya penghasilan tersebut, lanjut Slamet, banyak perangkat Desa Pogung Jurutengah mencari penghasilan lain seperti berdagang atau bertani dengan menyewa lahan tambahan.

Petugas dari Keraton Agung Sejagat memberikan penjelasan kepada pengunjung, Selasa (14/1/2020).
Untuk mengatasi kondisi tersebut, Slamet mengatakan, dirinya sempat mengusulkan kepada para perangkat Desa Pogung Jurutengah untuk membuat usaha bersama. Namun, hal itu gagal diwujudkan.
”Kami sempat berencana membuat peternakan kambing bersama, tetapi hingga saat ini terkendala modal,” ujarnya. Slamet berharap, kasus KAS ini juga menjadi sentilan bagi pemerintah untuk lebih memperhatikan kesejahteraan warga miskin termasuk perangkat di desa tertinggal.
Setidaknya, kasus ini bisa diperhatikan oleh pemerintah agar membantu menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan di desa. Dengan memberikan kesempatan dan fasilitas untuk hidup lebih layak, barangkali warga bisa terselamatkan dari penipuan….