Menunggu Tak Pasti Ganti Rugi Lahan Tol Balikpapan-Samarinda
51 keluarga belum mendapatkan kepastian ganti rugi tanam tumbuh di kawasan Tol Balikpapan-Samarinda. Mereka menunggu sejak setahun lalu. Warga berharap pemerintah mengganti tanaman yang jadi tumpuan hidup mereka.
Oleh
SUCIPTO
·5 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS — Sebanyak 51 keluarga belum mendapatkan kepastian ganti rugi tanam tumbuh di kawasan Tol Balikpapan-Samarinda, Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Mereka menunggu sejak setahun lalu. Warga berharap pemerintah memberikan hak pembayaran atas apa yang mereka tanam sebab berkebun adalah tumpuan hidup warga.
Setidaknya 32 hektar lahan terdampak pelebaran proyek Tol Balikpapan-Samarinda di Kelurahan Sungai Merdeka, Kecamatan Samboja. Para penggarap lahan itu saat ini hanya pasrah melihat lahan mereka berubah menjadi jalan tol meski ganti rugi belum mereka terima sepeser pun. Jalan tol itu saat ini sudah difungsikan gratis sejak diresmikan Presiden Joko Widodo pada Desember lalu.
Salah satu warga, Alkhairu Yoyon Sutiono (41) mengatakan, pada mulanya tanah yang terdampak hanya selebar badan jalan tol, yakni 60 meter. Warga yang menggarap lahan itu sudah mendapat ganti rugi. Selanjutnya, pada Januari 2019 terjadi pelebaran proyek mencapai 40 meter di kiri dan kanan badan jalan. Meski belum terjadi kesepakatan ganti rugi dengan warga, pelebaran proyek tetap dilakukan.
"Kami cuma bisa melihat tanaman yang kami tanam untuk hidup dikeruk alat berat. Suara kami tidak didengar," kata Yoyon ketika ditemui, Jumat (17/1/2020).
Kami cuma bisa melihat tanaman yang kami tanam untuk hidup dikeruk alat berat. Suara kami tidak didengar.
Lahan-lahan itu ditanami pohon karet, rambutan, jengkol, dan padi. Yoyon mengatakan, sebagian besar penghasilan warga berasal dari kebun itu. Yoyon sendiri kehilangan lahan 1 hektar yang menjadi sawah dan kebun karet. Sejak saat itu, ia hanya menggantungkan hidup dari gaji tenaga honorer di sekolah.
Lahan yang terdampak pelebaran jalan itu merentang 3 kilometer dari pintu masuk Tol Balikpapan-Samarinda di Samboja. Sebagian lahan sudah menjadi jalan, sebagian lain diratakan di sisi kanan dan kiri badan jalan.
Warga lain, Mirhansyah (60), saat ini hanya mengandalkan penghasilan dari warung kelontong di pertigaan menuju pintu masuk tol. Ia kehilangan pemasukan untuk biaya tambahan anaknya kuliah. "Dari hasil kebun karet, lumayan bisa Rp 2 juta sampai Rp 4 juta sebulan. Itu meringankan untuk biaya kuliah anak," katanya.
Warga sudah bersurat dan mengadu ke Gubernur, DPR, dan Pejabat Pembuat Komitmen Lahan Tol Balikpapan Samarinda. Namun, mereka diminta untuk mengajukan ke pengadilan. Warga tak melakukan itu karena tak mengerti proses di pengadilan.
Tanah warga itu memang masuk kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto, kawasan konservasi yang juga digunakan untuk penelitian, budidaya flora, ilmu pengetahuan, dan rekreasi. Namun, sebagian besar masyarakat sudah berkebun di lahan itu sebelum kawasan itu ditetapkan sebagai tahura.
Sebanyak 51 keluarga yang terdampak memiliki surat perwatasan yang diterbitkan kelurahan sejak 1970-an. Itu adalah surat batas hak guna lahan yang diterbitkan kelurahan. Surat-surat itu diterbitkan jauh sebelum tahura diperluas hingga ke daerah tersebut.
Status dan luas kawasan Bukit Soeharto memang berubah-ubah sejak 1976. Pada mulanya, Gubernur Kalimantan Timur mengeluarkan ketetapan bahwa hutan di sepanjang 36 kilometer di jalan Samarinda-Balikpapan adalah zona produksi dan zona pelestarian lingkungan pada 1976. Pada 1982, terbit Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 818/Kpts/Um/11/1982 tentang Penetapan Hutan Lindung Bukit Soeharto seluas 27.000 hektar.
Perluasan kawasan dan perubahan fungsi tahura terjadi lagi pada 1987 melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 245/Kpts-II/1987 tentang perubahan status kawasan hutan lindung Bukit Soeharto menjadi hutan wisata sehingga luas hutan wisata Bukit Soeharto kurang lebih 64.800 hektar.
Terakhir, pada 2004 terjadi perubahan fungsi Taman Wisata Alam Bukit Soeharto seluas 61.850 hektar menjadi tahura. Perubahan itu termaktub dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 419/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004. Sejak saat itu, pemanfaatan tahura antara lain untuk penelitian, budidaya flora, ilmu pengetahuan, rekreasi, dan konservasi.
"Tetapi, warga tidak diberi tahu untuk pindah atau apa saat terjadi perluasan itu. Maka, kami tetap melanjutkan kegiatan berkebun karena kami juga pegang surat perwatasan dari kelurahan," kata Mirhansyah.
Meski demikian, menurut Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, warga bisa mendapat ganti rugi atas tumbuhan dan tanaman yang mereka rawat meski di tanah milik negara.
Pada Pasal 17 disebutkan bahwa ada delapan pihak yang berhak mendapat ganti rugi atas tanah dan tumbuhan di lahan yang dijadikan untuk kepentingan umum. Salah satunya adalah pihak yang menguasai tanah negara dengan itikad baik, yakni yang secara fisik menguasai, menggunakan, memanfaatkan, dan memelihara tanah negara secara turun-temurun dalam waktu tertentu dan/atau memperoleh dengan cara tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kepala Seksi Pengadaan Tanah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kutai Kartanegara Sudjai mengatakan, dirinya akan melihat lagi dokumen-dokumen tanah di wilayah itu. Pihaknya berjanji akan melakukan cek ke lokasi juga.
"Kebetulan saya juga baru dilantik Januari ini, nanti akan saya kumpulkan data dari pejabat sebelumnya. Saya akan cek juga apakah di sana ada tumpang tindih lahan atau tidak," kata Sudjai di Tenggarong ketika dihubungi.
Jika tahapan pengadaan tanah sudah selesai dilakukan BPN, warga baru bisa mendapatkan pembayaran dari Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Lahan Tol Balikpapan-Samarinda. "Tugas PPK Lahan hanya membayar. Prosesnya di akhir setelah tahapan pengadaan tanah oleh BPN selesai, yakni adanya validasi perintah ke kami untuk membayar," ujar Rabiyatul Adawiyah, petugas PPK Lahan Tol Balikpapan Samarinda.
Terkait proses yang tak runut ini, warga merasa dirugikan. Mereka berharap adanya proses yang sistematis saat pembukaan lahan untuk proyek jalan tol pertama di Kalimantan ini. "Kami tidak menolak pembangunan. Kami hanya butuh kejelasan ganti rugi tanaman yang menghidupi kami," kata Yoyon.
Baca juga; Jalan Tol Dikaitkan dengan Kawasan Ekonomi