Jalan Panjang Mencari Keadilan HAM
Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu masih menjadi utang negara kepada korban dan keluarganya. Upaya itu hingga kini belum menemukan titik terang. Penyelesaian melalui KKR pun masih belum bisa jadi wacana
Upaya pencarian keadilan atas pelanggaran hak asasi manusia di negeri ini masih harus menempuh jalan panjang. Mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tampaknya masih menjadi perdebatan, karena upaya hukum melalui pengadilan pun belum juga bisa ditempuh sekalipun undang-undang telah mengatur hal itu secara eksplisit. Kondisi ini membuat utang sejarah bangsa ini belum juga tuntas.
Pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin di hadapan DPR RI, Kamis (16/1/2020) lalu, yang menyebutkan tragedi Semanggi I dan II bukanlah pelanggaran HAM menyiratkan belum adanya kesepahaman di dalam institusi negara dalam menuntaskan kasus ini. Hal ini menjadi jelas ketika Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), yang juga merupakan lembaga negara keberatan dengan pernyataan itu. Sebelumnya, Jaksa Agung mengutip pendapat Panitia Khusus Kasus Trisakti serta Semanggi I dan II yang melaporkannya dalam rapat paripurna DPR, 9 Juli 2001. Pansus menyebutkan tidak ada pelanggaran HAM dalam peristiwa itu.
Pernyataan itu juga menyakiti perasaan korban. Maria Katarina Sumarsih, ibu kandung korban penembakan Semanggi I Bernardus Realino Norma Irawan, mengungkapkan, hasil Pansus tersebut tak bisa menjadi dasar penentuan terjadinya dugaan pelanggaran HAM berat atau tidak. Mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi yang dibacakan pada 21 Februari 2008 atas uji materi Undang-Undang Pengaadilan HAM disebutkan, DPR tidak boleh menduga sendiri ada tidaknya pelanggaran HAM berat. Dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat didasarkan atas penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Kejaksaan Agung (Kompas, 18 Januari 2020).
Baca juga https://kompas.id/baca/utama/2020/01/17/tragedi-semanggi-i-dan-ii-pelanggaran-ham-berat/
Keluarga korban merasa ada upaya politisasi dalam penembakan mahasiswa saat itu. Mereka menilai Kejagung tidak melakukan suatu hal pun untuk membantu korban memeroleh keadilan.
Mengenai perlu tidaknya pendapat DPR dalam proses penegakan hukum kasus HAM berat masa lalu, Undang-undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tengan Peradilan HAM telah mengaturnya di dalam Pasal 43 Ayat (2). Pasal itu berbunyi, “Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden.”
Pasal itu secara eksplisit mengatakan, sebelum presiden mengeluarkan keppres, terlebih dulu harus ada usulan dari DPR menyangkut peristiwa pelanggaran HAM tertentu tersebut. Namun, apakah itu artinya usulan itu dapat berisi pendapat “hukum” DPR untuk menentukan apakah suatu peristiwa itu merupakan pelanggaran HAM berat masa lalu ataukah tidak, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menjawabnya dalam putusan nomor 18/PUU-V/2007 tanggal 21 Februari 2008.
Putusan tersebut lahir dari permohonan yang diajukan oleh Eurico Guterres, mantan wakil panglima pasukan pejuang integrasi Timor Timur. Pemohon mengajukan uji materi terhadap Pasal 43 Ayat (2), dan penjelasannya. Penjelasannya berbunyi, “Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mendasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dibatasi pada locus dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini”.
Majelis hakim MK yang dipimpin oleh Ketua MK Jimly Ashiddiqie terutama menyoroti frasa “dugaan” di dalam penjelasan Pasal 43 Ayat (2) yang berpotensi ditafsirkan macam-macam, sehingga seolah-olah DPR dapat menyelidiki sendiri, dan mengeluarkan pendapat hukumnya atas suatu “dugaan” pelanggaran HAM. Padahal, DPR adalah institusi politik, bukan institusi penegak hukum.
MK mengatakan, untuk menentukan perlu tidaknya pembentukan Pengadilan HAM ad hoc atas suatu kasus tertentu menurut locus dan tempus delicti memang diperlukan keterlibatan institusi politik yang mencerminkan representasi rakyat yaitu DPR. Akan tetapi, DPR dalam merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc harus memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan dari institusi yang memang berwenang untuk itu. Oleh karena itu, DPR tidak akan serta merta menduga sendiri tanpa memperoleh hasil penyelidikan dan penyidikan terlebih dahulu dari institusi yang berwenang, dalam hal ini Komnas HAM sebagai penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai penyidik sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
Menurut MK, harus dipahami bahwa kata ”dugaan” dalam Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM dapat menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) sebagai akibat dapat ditafsirkannya kata ”dugaan” berbeda dengan mekanisme sebagaimana diuraikan di atas. Dengan demikian sebagian permohonan Pemohon yang terkait dengan Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM sepanjang mengenai kata ” dugaan” beralasan sehingga harus dikabulkan.
Jimly yang dihubungi dari Jakarta, Sabtu, mengatakan, DPR karena itu tidak bisa menentukan sendiri atau menyelidiki sendiri suatu “dugaan” pelanggaran HAM berat. Itu menjadi tugas dari Komnas HAM selaku penyelidik, dan Kejagung sebagai penyidik. Kedua lembaga negara itu merupakan lembaga hukum yang secara jelas dan eksplisit dinyatakan tugasnya berkenaan dengan pembentukan pengadilan HAM ad hoc yang diatur di dalam UU No 26/2000.
“Putusan MK itu kan sebenarnya sudah jelas. Tetapi kasus-kasus ini (pelanggaran HAM berat) sudah lama sekali ditinggal, sehingga ini akan menjadi beban sejarah atau utang yang tidak kunjung tuntas,” kata Jimly.
Masalah kompleks
Mantan hakim MK lainnya ketika itu yang ikut menyidangkan, Maruarar Siahaan, menambahkan, sikap Jaksa Agung yang dimanifestasikan dalam bentuk ucapan itu merepresentasikan persoalan penuntasan kasus HAM berat masa lalu ini dirasakan sangat pelik bagi pemerintah. Akibatnya, Jaksa Agung tidak dapat mengimplementasikan dengan baik isi putusan MK tersebut.
“Ini bukan karena Jaksa Agung tidak paham putusan MK itu. Tetapi ada persoalan lain, kompleksitas lain yang membuat kejaksaan kesulitan mengimplementasikan itu. Ini mengindikasikan masalah ini sangat pelik bagi mereka, begitu halnya dengan konstelasi politik yang saat ini ada,” kata Maruarar.
Namun, baik Jimly maupun Maruarar sepakat untuk segera menuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu. Bentuk penyelesaiannya pun tidak harus melalui pengadilan atau proses yudisial. Maruarar menilai, Kejagung menemukan kesulitan menyelesaikan hal ini melalui jalur hukum yang ditunjukkan dengan sikap Jaksa Agung yang tidak segera menyidik kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
“Kalau indikasi oleh Jaksa Agung ini ditangkap oleh pemerintah, mestinya presiden dan DPR mengambil inisiatif mengembangkan pendekatan baru, sehingga kesulitan dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM berat ini bisa segera dilakukan. Apakah itu nantinya melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang dulu pernah diundangkan, atau cara lain,” katanya.
Pendekatan di luar mekanisme pengadilan, menurut Maruarar, bukan berarti tidak mungkin dilakukan untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu. Namun, ia memberi catatan pada UU KKR yang dulu pernah dibatalkan MK, harus pula didekati dengan seksama, dan diperbaiki kekurangannya.
“Penyelesaian kasus HAM tentu tidak harus melalui peradilan, tetapi boleh juga mellaui proses sosial-politik,” katanya.
Sementara itu, Jimly dari kacamata lain, mempertanyakan mekanisme KKR. Sebab, bila mekanisme itu yang dipilih, ada kunci penyelesaian dalam KKR, yakni telling the truth atau pernyataan kebenaran yang harus dilakukan. KKR tidak bisa dilakukan manakala tidak ada upaya mengungkapkan kebenaran dari para saksi dan korban. Masalahnya, banyak kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang kini saksi dan korbannya sudah sulit ditemukan.
“Bisa tidak kunci KKR itu dijalankan, karena kasus-kasus ini sudah sekian lama tidak dituntaskan, sehingga berlarut-larut. Sementara ini akan terus-terusan menjadi beban sejarah, dan semakin lama ditunda akan semakin sulit dituntaskan,” kata Jimly.
Menurut Jimly, upaya lain bisa dilakukan, yakni melalui “konsiliasi” atau kerukunan. “Bukan rekonsiliasi, tetapi konsiliasi. Bagaimana kita negara memikirkan jauh ke depan, bukan untuk kepentingan politik jangka pendek, tetapi untuk kepentingan bangsa jauh ke depan. Bisa tidak kita menuntaskan persoalan HAM ini dalam kerangka kerukunan,” katanya.
Jimly dan Maruarar sama-sama membuka pintu pada penyelesaian persoalan HAM berat masa lalu melalui mekanisme di luar peradilan. Namun, Komnas HAM di sisi lain menilai mekanisme apapun yang diambil oleh negara, seharsunya itu memberikan rasa keadilan kepada korban.
“Proses yudisial, bagi kami merupakan mekanisme yang tetap bisa ditempuh. Banyak hal yang bisa dilakukan, misalnya dengan meniru Kamboja, yang mengadili Pol Pot dan pengikutnya dengan mekanisme pengadilan HAM internasional yang diadakan di negaranya. Nah, apakah mekanisme hibrida ini bisa dilakukan di Indonesia, kami masih harus mengkajinya,” kata Choirul Anam, anggota Komnas HAM.
Sementara itu, pemerintah melalui Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) mewacanakan penyelesaian persoalan HAM berat masa lalu melalui KKR. Sebelumnya, Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan, pemerintah berusaha menyelesaikannya melalui instrumen hukum yang tersedia. Masalah-masalah yang terkait dengan pelanggaran HAM masa lalu dipandang harus segera diputuskan dengan baik, dan dituangkan melalui hukum.
“Kita harus bersikap ksatria untuk menyelesaikannya berdasar kesepakatan yang harus dituangkan di dalam hukum. Adalah tidak bijaksana jika kita menggantung-gantung masalah hanya karena perbedaan pilihan cara penyelesaian. Apapun perbedaannya harus kita putuskan secara sportif. Jangan kalau tidak setuju lalu saling lempar dan saling menghindar. Itulah sebabnya kita merencanakan membuat UU KKR atau nama lainnya yang nanti disepakati,” kata Mahfud.
Keadilan bagi korban
Koordinator Badan Pekerja Kontras Yati Andriyani mengatakan, sampai hari ini keluarga korban dan kalangan masyarakat sipil belum mendapatkan penjelasan yang komprehensif dari pemerintah.
“Kami tidak bsia begitu saja mendukung KKR ini, karena konsepnya apakah seperti KKR yang dikenal oleh dunia, ataukah ujungnya “kerukunan” seperti yang dulu pernah dibuat oleh Wiranto. Jika ujungnya “kerukunan” maka di mana rasa keadilan bagi korban ditempatkan,” ujarnya.
KKR, menurut Yati, harus tetap mengutamakan pengungkapan kebenaran, pemulihan hak-hak korban, dan pemberian keadilan bagi korban. KKR tidak semata-mata rekonsiliasi atau membangun kerukunan yang tidak didasari pada upaya pengungkapan kebenaran, dan pemberian rasa adil bagi korban.
“Jika KKR tidak memberikan rasa keadilan bagi korban, ujungnya ialah impunitas. Di masa depan, pelanggaran HAM berat akan berpotensi kembali terjadi, karena pelanggaran itu rupanya juga mendapatkan pengampunan, dan tidak ada hukuman bagi pelaku,” katanya.