Gas Beracun Hilang, Pengunjung Tetap Diimbau Tidak ke Kawah
Pos Pengamatan Gunung Api Ijen sudah tidak lagi menemukan adanya aktivitas vulkanik yang memicu terjadinya bualan gas beracun.
Oleh
ANGGER PUTRANTO
·4 menit baca
BANYUWANGI, KOMPAS –Pos Pengamatan Gunung Api Ijen sudah tidak lagi menemukan adanya aktivitas vulkanik yang memicu terjadinya bualan gas beracun. Kendati demikian, Balai Konservasi Sumber Daya Alam selaku pengelola Taman Wisata Alam Kawah Ijen mengimbau wisatawan tidak turun ke dasar kawah.
Gunung Ijen yang berada di perbatasan Kabupaten Banyuwangi dan Bondowoso sempat mengeluarkan gas beracun sejak tanggal Senin, (13/1/2020). Peristiwa ini merupakan fenomena alam yang umum dan bukan kali pertama terjadi.
“Saat ini status Gunung Api Ijen masih normal atau berada di level I. Beberapa hari lalu memang sempat ada kenaikan aktivitas vulkanik yang tampak dari aktifitas kegempaan. Namun saat ini kegempaan relatif menurun dari beberapa hari yang lalu,” ungkap Ketua Pos Pengamatan Gunungapi Ijen Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Suparjan, di Banyuwangi, Jumat (17/1/2020).
Suparjan mengungkapkan, pihaknya sempat merekam ada tiga kali aktivitas vulkanik yang menyebabkan bualan gas beracun. Ketiga bualan tersebut terekam dalam getaran seismik yang tercatat seismograf di Pos Pengamatan Gunungapi Ijen.
PVMBG sebenarnya telah memiliki alat pendeteksi gas di sekitar Kawah Ijen. Namun saat ini alat-alat tersebut rusak. Fenomena getaran seismik yang terjadi di danau Kawah Ijen menjadi indikator munculnya bualan gas beracun tersebut.
“Saat ini sudah tidak terekam ada bualan gas beracun dalam bentuk getaran seismik. Selama ini hanya ada tiga kali getaran yang terekam yaitu pada Senin (13/1/2020) pukul 00:44, Selasa (14/1/2020) pukul 15.00 dan Rabu (15/1/2020) pukul 16:45,” tutur Suparjan.
Saat ini sudah tidak terekam ada bualan gas beracun dalam bentuk getaran seismik
Suparjan mengatakan, saat kejadian gas beracun hanya terdapat di sekitar kawah saja. Pos Pengamatan Gunungapi Ijen, lanjut Suparjan terus berkoordinasi dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Resort Taman Wisata Alam Kawah Ijen. Segala aktivitas vulkanik akan diinfokan kepada pengunjung melalui BKSDA Resort Taman Wisata Alam (TWA) Kawah Ijen.
Kendati aktivitas vulkanik yang memicu bualan gas beracun sudah tidak terjadi, BKSDA Resort TWA Ijen tetap mengimbau agar wisatawan tidak turun ke dasar kawah. Hal itu disampaikan Kepala Resort TWA Kawah Ijen Sigit Haribowo.
“Saat ini pendakian sudah kembali normal. Tetapi kami masih tidak mengizinkan wisatawan dan penambang turun ke dasar kawah. Potensi bualan gas beracun masih bisa muncul,” ujarnya.
Sigit mengatakan, peristiwa ini tidak berpengaruh dengan jumlah kunjungan wisatawan. Namun ia mengakui, tingkat kepuasan wisatawan menurun karena wisatawan tidak dapat melihat fenomena api biru yang menjadi ikon Kawah Gunung Ijen.
Munculnya bualan gas beracun juga memaksa PT Candi Ngrimbi sebagai perusahaan pengumpul belerang, sempat berencana meliburkan petambangnya. Namun rencana itu dibatalkan karena aktivitas vulkanik sudah menurun.
“Semula kami kami berencana meliburkan para petambang sejak Jumat hingga batas waktu yang ditentukan. Namun setelah mendapat info dari Pos Pengamatan Gunungapi Ijen, kami pastikan kami tetap beroperasi,” ujar Pimpinan PT Candi Ngrimbi 1 Cung Lianto.
Sedikitnya ada 161 petambang yang biasa mengambil belerang di Kawah Ijen. Namun hanya 151 petambang yang terdaftar resmi bekerja untuk PT Candi Ngrimbi. Per hari ada 60 petambang yang beroprasi. Dengan jumlah tersebut, PT Candi Ngrimbi mampu mendapat 7 ton belerang per hari.
Fenomena gas beracun di Gunung Ijen bukan kali pertama terjadi. Catatan Kompas, Sebaran Gas Beracun terparah terakhir kali terjadi pada Maret 2018. Saat itu, gas karbondioksida (CO2) keluar dan menyebar hingga ke perkebunan dan pemukiman warga. Gas menyebar mengikuti aliran sungai Kali Pait yang mengarah ke Desa Sempol, Kabupaten Bondowoso.
Sebaran gas yang tidak disertai bau dan warna tersebut membuat sejumlah warga tiba-tiba pingsan. Selain itu, sebaran gas juga membuat sejumlah tanaman sayur dan komiditas perkebukan rusak, Bahkan sebagian besar warga desa harus diungsikan selama beberapa hari dan pendakian ditutup 2 minggu.
Ahli Geokimia PVMBG Sofyan Primulya mengatakan, munculnya gas berbahaya merupakan hal yang wajar di kawasan gunung api. Ia juga memastikan, apa yang terjadi saat ini tidak separah peristiwa Maret 2018.
“Munculnya gas C02, Sulfurdioksida (S02) dan Asamsulfida (H2S) merupakan hal wajar. Gas berbahaya tersebut dianggap meracuni tubuh bila jumlahnya sudah di atas ambang batas,” ujarnya.
Munculnya gas C02, Sulfurdioksida (S02) dan Asamsulfida (H2S) merupakan hal wajar. Gas berbahaya tersebut dianggap meracuni tubuh bila jumlahnya sudah di atas ambang batas
Sofyan mengatakan, kandungan gas tersebut biasa ada di area bibir kawah. Beberapa saat lalu jumlahnya memang di atas ambang batas, sehingga pengamat gunung api dari PVMBG melaporkan kondisi tidak normal tersebut ke BKSDA TWA Kawah Ijen selaku pengelola.
Munculnya gas berbahaya dalam kadar yang tinggi tersebut, lanjut Sofyan, dipicu oleh aktivitas vulkanik. Hal itu bisa ditandai dengan berbagai tanda misalnya, ada perubahan air kawah dari yang semula biru kehijauan menjadi putih, adanya gelembung udara, dan peningkatan suhu air.
“Terjadinya perubahan air menjadi putih tersebut sebenarnya karena ada tekanan yang sangat besar dari gas di dasar danau. Bualan gas tersebut mendorong endapan-endapan yang ada naik ke permukaan sehingga air menjadi keruh dan berwarna putih,”
Fenomena gas beracun biasanya terjadi di awal musim penghujan. Sofyan menduga hal ini terjadi karena ada peningkatan volume air danau. Kondisi ini membuat gas menjadi tertekan, sehingga saat terjadi ketidaksetimbangan, gas berhasil mendesak keluar dan menghasilkan bualan.