Kepedulian publik terhadap isu demokrasi dan antikorupsi di Indonesia tergolong tinggi sepanjang 2019.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepedulian publik terhadap isu demokrasi dan antikorupsi di Indonesia tergolong tinggi sepanjang 2019. Hal ini terlihat dari partisipasi masyarakat dalam membuat dan menandatangani petisi daring untuk mengkritisi isu tersebut.
Platform petisi digital Change.org mencatat, ada lebih dari 2,3 juta orang yang bergabung dalam delapan petisi bertajuk #ReformasiDikorupsi. Petisi itu merupakan penolakan masyarakat terhadap rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) oleh pemerintah, September 2019. Gerakan ini juga menyoal revisi UU KPK.
”Gerakan sosial terkait demokrasi dan antikorupsi tinggi karena situasi politik di Indonesia sedang diuji, baik dari pergantian masa jabatan wakil rakyat maupun dinamika pemilihan presiden,” kata Direktur Kemitraan Change.org Indonesia Desmarita Murni di Jakarta, Jumat (17/1/2020).
Menurut catatan sejumlah kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP, ada lebih dari 20 pasal bermasalah di RKUHP. Beberapa di antaranya yang mengatur tentang kesusilaan (Pasal 417 dan Pasal 419) dan kriminalisasi perempuan yang melakukan pengguguran kandungan (Pasal 470-472).
Penolakan yang sama juga terjadi melalui petisi #SemuaBisaKena. Petisi ini berhasil menggalang lebih dari 1 juta tanda tangan masyarakat. Petisi kemudian dibawa ke DPR untuk menunjukkan penolakan masyarakat terhadap RKUHP.
Presiden turut menyarankan agar DPR menunda pengesahan RKUHP yang dijadwalkan seusai rapat paripurna, 24 September 2019. Akhirnya, RKUHP batal disahkan dan akan dibahas lebih lanjut oleh DPR periode 2019-2024.
”Upaya kami tidak hanya berhenti dengan tanda tangan online (daring), tetapi juga dengan upaya offline (luring), misalnya mendatangi DPR. Hal yang dicapai melalui petisi merupakan hasil kerja kolektif banyak pihak,” kata inisiator petisi #SemuaBisaKena, Tunggal Pawestri.
Gerakan terpopuler selanjutnya adalah tentang kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan. Ada lebih dari 762.000 orang yang berpartisipasi melalui empat petisi besar di Change.org.
Raihan kemenangan
Change.org mencatat, satu dari empat orang di platform tersebut meraih kemenangan di 2019. Total ada 2.514.703 orang yang berhasil menuai hasil positif dari petisi yang dibuat.
Salah satu contoh kasus kemenangan adalah petisi #AwasDigusur yang diinisiasi Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA). Petisi itu meminta DPR meninjau ulang draf RUU Pertanahan yang dinilai bermasalah dan RUU akhirnya batal disahkan.
Contoh lain adalah petisi #AmnestiuntukNuril. Petisi itu berisi permintaan amnesti Presiden Joko Widodo terhadap Baiq Nuril, korban pelecehan seksual yang terancam hukuman penjara karena merekam percakapan tidak senonoh dari atasannya.
#AmnestiuntukNuril menggalang simpati lebih dari 300.000 orang. Presiden pun memberi amnesti terhadap Nuril.
Selain itu, petisi dengan kategori hak anak juga mendapat perhatian dari masyarakat, yakni lebih dari 4,4 juta orang. Salah satu contoh adalah saat publik ramai mendukung kakak-beradik di bawah umur yang menjadi korban perkosaan. Dukungan diberi karena pelaku dibebaskan Pengadilan Negeri Cibinong.
”Keberadaan platform petisi digital sangat membantu kami. Sebab, ini membuka kesempatan bagi publik untuk melaporkan sesuatu kepada kami. Sebagai lembaga negara, pekerjaan kami tidak lepas dari laporan publik,” kata komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti.
Kendati demikian, Retno menyoroti cepatnya reaksi publik terhadap sebuah isu, terlebih di ruang maya internet. Jika tidak cermat, yang akan terjadi adalah penghakiman sepihak dari masyarakat terhadap hal yang belum diverifikasi kebenarannya.
Terkait hal ini, Change.org memindai konten dengan yang ada berdasarkan pantauan pihak internal dan laporan pengguna. Tombol Flag bisa digunakan untuk melaporkan petisi yang dinilai menyimpang dari substansi isu terkait.