Mediasi Dikedepankan untuk Selesaikan Perselisihan
Perselisihan balai pengobatan tradisional Tionghoa dengan warga di Jalan Selam VI, Medan, Sumatera Utara, diselesaikan dengan mediasi. Sebelumnya, sekelompok warga menolak karena aktivitas di balai dianggap ibadah.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Mediasi diharapkan menyelesaikan perselisihan balai pengobatan tradisional Tionghoa dengan masyarakat di Jalan Selam VI, Medan, Sumatera Utara. Sejumlah masyarakat sempat memasang spanduk penolakan kelenteng karena tidak ada izin mendirikan rumah ibadah. Pemilik menyebut bangunan itu merupakan balai pengobatan, bukan tempat ibadah.
”Kami sudah membangun komunikasi dengan pemilik balai pengobatan dan masyarakat yang menolak. Ini hanya masalah komunikasi saja. Sebagaimana di Kota Medan, di lingkungan ini kerukunan antarumat selama ini baik-baik saja,” kata Kepala Lingkungan 9 Kelurahan Tegal Sari Mandala I, Said Bahri Pohan, di Medan, Jumat (17/1/2020).
Said mengatakan, bangunan itu dibangun pada awal 2019 dengan izin mendirikan bangunan tempat tinggal. Belakangan, sejumlah masyarakat di sekitarnya protes karena melihat ada kegiatan ibadah di rumah itu. ”Masyarakat menolak karena tidak ada komunikasi dengan masyarakat di sekitarnya tentang kegiatan tersebut,” katanya.
Masyarakat menolak karena tidak ada komunikasi dengan masyarakat di sekitarnya tentang kegiatan tersebut.
Said mengatakan, beberapa orang sempat memasang spanduk penolakan kelenteng di seberang balai pengobatan itu, Rabu (15/1). Penolakan itu mengatasnamakan salah satu masjid di sekitar itu. Namun, Said yang juga merupakan Ketua Badan Kemakmuran Masjid (BKM) di masjid tersebut menyatakan bahwa penolakan itu hanya dari beberapa orang saja. ”Karena itu, besok harinya, kami langsung menurunkan spanduk itu,” ujarnya.
Said mengatakan, mereka akan memediasi balai pengobatan dengan masyarakat sekitarnya agar perselisihan bisa diselesaikan. ”Mediasi akan dilakukan pada Senin (20/1) dengan dihadiri perwakilan dari balai pengobatan, masyarakat sekitar, Pemerintah Kota Medan, Polrestabes Medan, dan Forum Kerukunan Umat Beragama,” kata Said.
Menurut Said, balai pengobatan itu memiliki formulir pendataan pengobatan tradisional dari Kejaksaan Tinggi Sumut. Mereka pun sudah meminta agar balai pengobatan juga melengkapi izin dari dinas terkait lainnya.
Pemilik balai pengobatan, Edy Burhan (41), mengatakan, ia sudah membuka balai pengobatan tradisional Tionghoa sejak 1998, tetapi baru pindah ke tempat itu pada akhir 2019. ”Ini adalah balai pengobatan, bukan tempat ibadah. Karena itu, kami tidak mengajukan izin mendirikan rumah ibadah,” kata Edy.
Edy mengatakan, pengobatan dilakukan berdasarkan kepercayaan kepada leluhur. Dalam proses pengobatan dilakukan beberapa ritual, seperti bersemedi, memanggil roh, membakar hio, kertas putih, merah, dan lilin. Pantauan Kompas, beberapa pasien melakukan ritual pengobatan dengan didampingi beberapa petugas balai pengobatan.
Edy mengatakan, ia siap membuka komunikasi dengan masyarakat sekitarnya untuk menjelaskan kegiatan mereka. ”Saya berharap masyarakat bisa menerima keberadaan kami di lingkungan ini. Ini kegiatan sosial,” katanya.
Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Kota Medan Ilyas Halim mengatakan, mediasi antara kedua belah pihak akan terus dilakukan agar tidak muncul gejolak di tengah masyarakat. ”Kami juga mengingatkan agar jangan ada provokasi apalagi melalui media sosial. Kita harus mengutamakan kerukunan antarumat beragama,” katanya.
Ilyas mengatakan, berdasarkan hasil pantauan mereka, bangunan itu memang merupakan balai pengobatan atas kepercayaan kepada leluhur. Mereka melakukan sejumlah ritual untuk proses pengobatan. Ilyas menyebut, tidak perlu izin mendirikan rumah ibadah untuk balai pengobatan.