BPBD DKI Jakarta mengklaim perangkat pengeras suara atau toa untuk peringatan dini banjir tidak seperti toa pada umumnya. Toa dilengkapi pemancar. Maka biayanya pun besar.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Penanggulangan Bencana Daerah atau BPBD DKI Jakarta menjawab isu pengadaan enam perangkat pengeras suara atau toa guna sistem peringatan dini banjir yang dikritik sejumlah pihak karena dinilai kuno dan anggarannya terlalu besar atau mencapai miliaran rupiah. BPBD DKI mengklaim perangkat itu bukan seperti toa pada umumnya.
Berdasarkan informasi dari BPBD DKI Jakarta, Jumat (17/1/2020), anggaran yang dialokasikan untuk pengadaan enam perangkat pengeras suara itu persisnya sebesar Rp 4.073.901.441. Anggaran tersebut belum termasuk biaya perawatan selama satu tahun sebesar Rp 165 juta.
Setiap perangkat memiliki empat toa yang dipasang di satu tiang. Perangkat akan dipasang di lokasi rawan banjir. Nantinya, informasi soal peringatan bencana banjir akan diumumkan oleh BPBD DKI melalui perangkat tersebut.
Peringatan bencana disampaikan ketika pintu-pintu air di DKI Jakarta sudah berstatus Siaga 3 atau Waspada bencana banjir.
”Memang kebutuhannya di 2020 hanya enam dan sudah meng-cover semua aliran DAS (daerah aliran sungai),” ujar Kepala Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi BPBD DKI M Ridwan di Jakarta, Jumat (17/1/2020).
Dia menjelaskan, suara dari perangkat pengeras suara mampu didengar hingga radius 500 meter. ”Pengeras suara ini kami gunakan untuk melengkapi informasi peringatan yang kami kirim melalui WAG (Whatsapp Group) ke camat dan lurah,” katanya.
Sebelumnya, pada 2019, BPBD DKI telah memasang perangkat DWS di 14 lokasi. Lokasi-lokasi tersebut tersebar di empat wilayah kota administrasi, seperti di Jakarta Selatan (Ulujami, Petogogan, Cipulir, Pengadegan, Cilandak Timur, Pejaten Timur), Jakarta Barat (Rawa Buaya, Kapuk, Kembangan Utara), serta Jakarta Timur (Kampung Melayu, Bidara Cina, Cawang, Cipinang Melayu, dan Kebon Pala).
Sementara itu, untuk enam lokasi pemasangan DWS pada 2020 ini ada di Tegal Alur, Rawajati, Makasar, Jati Padang, Kedoya Selatan, dan Cililitan.
Kepala Pusat Data dan Informasi BPBD DKI Jakarta Mohammad Insaf menjelaskan, perangkat suara itu tidak seperti toa pada umumnya. Setiap perangkat memiliki empat toa dan dilengkapi alat pemancar.
”Jadi, bukan kayak toa biasa karena dia ada transmiter (pemancar). Dan, (alat) itu tidak dihubungkan dengan kabel, cukup jarak jauh. Sensor. Itu makanya yang buat mahal, sementara orang tahunya hanya toa seperti di masjid-masjid gitu,” ujar Insaf.
Dengan adanya alat pemancar, peringatan bisa disampaikan jarak jauh atau dari kantor BPBD DKI. Namun, dalam kondisi darurat, pengeras suara bisa dioperasikan secara manual. Warga setempat, misalnya, bisa secara mandiri naik ke atas tiang untuk membuka kotak DWS dan menyalakan sirenenya. Pola ini bisa dilakukan jika ada masalah kelistrikan di BPBD DKI.
Insaf mengklaim, berdasarkan hasil kunjungannya ke sejumlah kawasan yang telah dipasang perangkat DWS, warga merespons positif. Pada banjir yang terjadi di banyak wilayah di DKI Jakarta awal tahun 2020, alat itu mampu memperingatkan warga.
”Kemarin saya ke Cipinang Melayu dan Cawang, respons warga baik. Saya ingin langsung cek, apakah berfungsi atau tidak, dan masyarakat bilang, berfungsi. Saya juga tes, langsung video call dengan yang di BPBD (DKI), mengetes ada suara sirenenya tidak, ternyata ada,” kata Insaf.
Secara terpisah, Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah menyampaikan, sekalipun anggaran dari APBD DKI Jakarta, urusan penganggaran sepenuhnya diserahkan kepada satuan kerja perangkat daerah (SKPD).
Oleh karena itu, apabila kelak terjadi masalah dalam penganggaran perangkat pengeras suara, SKPD tersebut juga harus mampu bertanggung jawab dan menanggung risikonya.
”Isi kegiatan itu menjadi wewenang dan tanggung jawab SKPD. Kamu perlu apa, adain apa. Mereka yang tanggung jawab, termasuk nilai, proses pengadaan mark-up apa enggak, wajar apa enggak. Itu jadi tanggung jawab SKPD. Kami tidak pernah intervensi. Kalau saya intervensi, salah,” ucap Saefullah.
Namun, pada prinsipnya, Saefullah memercayakan semua itu kepada BPBD DKI karena instansi tersebut yang mengetahui masalah di lapangan. ”Dia (BPBD DKI) yang merencanakan, dia yang melaksanakan,” kata Saefullah.
Sebelumnya, sejumlah pihak menyoroti anggaran miliaran rupiah untuk pengadaan perangkat toa tersebut. Salah satunya anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia, William Aditya Sarana.
William menilai, sistem peringatan dini dengan toa itu mengalami kemunduran dari yang sudah pernah dimiliki Jakarta. ”Saya melihat sistem ini mirip seperti yang digunakan pada era Perang Dunia II. Seharusnya Jakarta bisa memiliki sistem peringatan yang lebih modern,” ujarnya.
Sistem peringatan yang jauh lebih maju, menurut William, pernah dimiliki oleh Jakarta.
”Pada 20 Februari 2017, Pemprov DKI meluncurkan aplikasi Pantau Banjir yang di dalamnya terdapat fitur Siaga Banjir. Fitur itu memberikan notifikasi ketika pintu air sudah dalam kondisi berbahaya serta berpotensi mengakibatkan banjir pada suatu wilayah,” katanya.
Sayangnya, fitur Siaga Banjir justru tidak ada lagi pada aplikasi Pantau Banjir versi 3.2.8 hasil update 13 Januari 2020.
”Saya tidak tahu pasti kapan fitur ini dihilangkan, yang jelas pada versi terbaru saat ini sudah tidak ada lagi,” ujarnya. Pada versi terbaru, pengguna hanya bisa melihat ketinggian air di tiap RW, kondisi pintu air, dan kondisi pompa air.
William menyarankan Pemprov DKI Jakarta kembali mengembangkan dan memanfaatkan fitur Siaga Banjir sebagai sistem peringatan dini. ”Hampir semua warga Jakarta sudah memiliki telepon seluler dan kebanyakan di antaranya adalah smartphone. Aplikasi berbasis internet gawai seharusnya lebih efektif dan lebih murah ketimbang memasang pengeras suara yang hanya dapat menjangkau radius 500 meter di sekitarnya,” tambah William.
Untuk warga yang tidak memiliki gawai smarphone, William menyarankan Pemrov DKI memanfaatkan fitur broadcast SMS bekerja sama dengan operator seluler. ”Pemprov dapat mengirimkan SMS kepada semua pemilik ponsel terbatas di wilayah yang akan terkena banjir saja,” ujarnya.
William pun tidak sepakat dengan Gubernur Anies Baswedan yang menyebut sistem peringatan berbasis gawai tidak efektif digunakan pada malam hari. ”Peringatan tentu harus disampaikan bertahap, bukan tiba-tiba diberikan saat banjir akan melanda 5 menit kemudian,” katanya.
Pesan yang disampaikan melalui aplikasi dan SMS harus dimulai saat ada potensi hujan deras atau ketinggian air di hulu mencapai titik yang membahayakan.
”Warga mulai diberi peringatan beberapa jam sebelumnya bahwa ada pontensi banjir di wilayahnya. Dengan itu, warga sudah bersiap-siap sejak sore jika diprediksi bakal ada banjir di dini hari,” ujar William.
Menurut dia, sistem peringatan berbasis aplikasi dan SMS sudah lama digunakan di banyak negara dan efektif memberikan peringatan pada warga yang akan terkena bencana. ”Masak kota metropolitan seperti Jakarta dengan anggaran IT mencapai triliunan rupiah masih menggunakan sistem peringatan kuno seperti itu?” ujarnya.